7. Lost control

289 56 33
                                    

Ayden menggeram tertahan sesaat setelah melihat Arsa naik ke boncengan motor sport berwarna hitam milik laki-laki berjaket denim itu. Matanya memancarkan sorot mengerikan yang membuat siapa pun tidak akan menyangka jika itu berasal dari mata obsidian milik Ayden.

Laki-laki itu berpikir keras. Memikirkan apa yang ada di otak Arsa sampai-sampai gadis itu mau ikut pulang bersama Ethan.

"Shit! Apa sih, yang ada di pikiran Arsa? Bisa-bisanya, dia mau diajak balik bareng sama si Cowok Psycho itu." Ayden menggeleng tak percaya. Mencengkeram stir mobilnya kuat sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikuti kemana arah motor sport hitam itu pergi.

Tidak begitu jauh dari lokasi sekolahnya, ia membelokkan mobilnya di salah satu restoran cepat saji yang Arsa dan laki-laki tadi masuki.

Ayden menunggu lama di parkiran. Hampir satu jam dan belum ada tanda-tanda jika Arsa serta Ethan akan keluar dan kembali melanjutkan perjalanan pulang.

Ayden yang kesal, akhirnya memilih untuk pergi meninggalkan parkiran restoran cepat saji itu dan mengarahkan mobilnya menuju arah rumah Arsa. Ya, lebih baik Ayden menunggu Arsa pulang ke rumahnya daripada harus berpanas-panasan di parkiran restoran sendirian—apalagi, sedari tadi ia terus melihat beberapa pasang kekasih yang wara-wiri di sekitar restoran, membuat matanya terasa gatal saja.

Ayden ingin mendapat jawaban dari pertanyaan yang membuat kepalanya pusing.

***

Motor sport itu berhenti di sebuah rumah kala langit sudah menunjukkan warna oranye bercampur merah yang kentara.

Seorang gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya lebih dahulu turun dari boncengan motor hitam itu. "Makasih, Ethan," katanya setengah tersenyum. Jelas sekali jika gadis itu tersenyum dengan terpaksa.

"Sama-sama, Sayang." Setelah mengatakan hal itu. Ethan kembali menghidupkan motornya. "Aku pulang duluan, ya. Dah..." Kemudian laki-laki itu melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah bercat abu-abu dengan gerbang hitam yang menjadi pelindungnya.

Arsa menghembuskan napasnya lelah. Harus bagaimana lagi ia agar Ethan tidak lagi mengusik kehidupannya?

Harus bagaimana lagi ia agar Ethan tidak lagi menganggapnya sebagai kekasih selayaknya Arsa yang sudah menganggapnya sebagai mantan?

"Arsa!" Seseorang turun dari mobil yang sedari siang terparkir tepat di samping pagar rumah Arsa. Membuat niat Arsa yang semula ingin masuk rumah menjadi terhenti.

"Ayden? Ngapain lo ke rumah gue?"

Bukannya membalas pertanyaan Arsa, Ayden justru balik bertanya. Pongah. "Dari mana aja lo?" Ada raut tidak suka yang tertera jelas di wajahnya.

"Kenapa emangnya?" tanya Arsa yang justru bingung.

Ayden tersenyum miring. Menatap sinis gadis yang masih menggendong ransel abu-abu di pundaknya itu. "Habis jalan sama si Kamandaka itu, hm?"

"Ethan? Lo tahu namanya dari mana?"

"Dari nametag-nya. Pas gue nonjok pipi tuh cowok setelah gue melihat lo teriak karena leher lo dicekik sama dia," Ayden memberi jeda beberapa detik di akhir kalimatya. "Lo lupa sama kejadian itu?"

"Oh dan nggak. Gue nggak lupa sama kejadian itu, Ayden." Arsa menatap Ayden dengan pandangan tak mengerti. "Lo kenapa sih? Nada lo ngomong sama gue sekarang jadi beda gitu?"

Ayden mengedikkan bahunya tak acuh. "Gue nggak kenapa-kenapa." Ia lebih mendekat ke Arsa. Matanya masih menatap Arsa dengan sorot yang mampu membuat Arsa merasa terhakimi. "Justru, lo yang kenapa?"

"Gue nggak kenapa-kenapa. Lo apaan sih, Ay?"

"Lo yang apaan?"

Arsa semakin bingung. Benar-benar tidak tahu dengan maksud perkataan Ayden. Raut wajah laki-laki itu terlihat lebih datar ketimbang biasanya. "Ayden, gue nggak ngerti, ya, lo ngomongin apa?"

"Kenapa lo jalan sama si Cowok Psycho itu, Sa? Otak lo dimana?!" teriak Ayden tiba-tiba dengan sorot mata yang tidak Arsa kenali.

"Lo bilang dia mantan lo. Lo bilang dia udah nyakitin lo dulu. Lo ngelakuin self-harm dan penyebabnya itu dia. Dia udah nyakitin lo Sa, dan lo masih mau balik sama dia? Lo mikir dong, Sa!"

Arsa menatap Ayden tak percaya. "Ayden .... "

"Gue pikir lo beda, Sa. Ternyata lo sama aja." Ayden masih dikuasai oleh rasa amarah yang merasuk dalam hatinya. Membuat ego dalam dirinya mengalahkan otaknya untuk tidak berpikir jernih. "Tuh cowok ngasih lo apa sampai lo mau balik ke dia lagi setelah lo disakitin?"

"Semurah itu lo, Sa?" katanya lagi.

Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kanan Ayden. Cukup keras sampai mengeluarkan darah segar yang perlahan muncul ke permukaan kulitnya. Menguarkan bau amis dan besi berkarat yang khas.

"Ayden, gue nggak nyangka, ya, mulut lo bisa sejahat itu?" Arsa masih menarik napasnya rakus. Dadanya naik turun. Matanya kini mulai berair.

Ayden mengusap darah di sudut kanan bibirnya pelan. Merasakan perih di sana. Ia memilih bungkam setelah mendapat tamparan keras dari Arsa. Yang tidak hanya menampar pipinya, namun juga batinnya.

Gila! Ayden lo baru aja ngomong apa?

"Asal lo tahu, Ay. Gue nggak sekali pun berpikir untuk balikan sama Ethan." Arsa menatap lurus ke arah mata Ayden. Tatapan yang juga belum pernah Ayden lihat. Gadis itu selalu menampilkan tatapan kosong setiap kali ia melihat matanya. Namun, kali ini berbeda. Ada sorot yang mengisyaratkan amarah dan rasa tidak terima di sana.

"Ah, kalau tadi lo tanya, gue masih inget nggak sama kejadian dimana Ethan nyekik gue, sekarang gue yang mau lo untuk coba tebak kenapa dia nyekik gue waktu itu."

Ayden masih bungkam. Tidak berniat untuk membalas ucapan Arsa. Hal yang membuat Arsa semakin benci lama-lama berdiri di depan Ayden yang setelah mendapat tamparannya hanya diam. "Lo pikir, Ethan nyekik gue nggak pakai alasan, Ay? Lo salah. Dia nyekik gue karena waktu itu gue nolak diajak pulang bareng sama dia. Dia marah, Ay. Dia terus maksa dan gue terus nolak. Dan dengan tiba-tiba, dia nyekik gue. Beruntung lo datang sebagai penyelamat dan nganterin gue pulang, saat itu."

"Ethan akan selalu kalap setiap apa pun yang dia mau nggak dituruti. Gue cuman nggak mau hal itu keulang lagi. Dengan gue nurutin apa maunya, disitu gue aman. Dia nggak bakal macem-macem sama gue," tambahnya. Kemudian berlalu menuju rumahnya begitu saja.

Meninggalkan Ayden yang tetap bergeming dengan sebuah penyesalan yang menghinggapi dirinya.

Bodoh. Nih mulut nggak bisa banget dikontrol.

-Wish to be Saved-

Wish to be Saved Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang