Hujan Membuatku Rindu :: 1

162 11 8
                                    

Hari pertama OSPEK setelah liburan, Aliyya berjalan cepat-cepat diantara orang-orang yang tak dikenal. Menapaki trotoar dengan lengkap kemeja putih lengan panjang, rok hitam di bawah lutut, dan sepatu hitam serta kaos kaki putih membungkus kaki. Tak lupa, rambut yang ditata rapi, lalu membentuk 'kelabang' dengan pita merah mengikat.

Anak-anak kecil berseragam merah putih, bergandeng tangan dengan ibunya yang sesekali menggerutu karena kemacetan di setiap ruas jalan. Suara klakson mobil maupun sepeda motor memekakkan telinga siapa saja. Semuanya cukup menghiasi pagi hari Senin Aliyya. Hari senin yang sebagian dibenci orang, hari Senin yang selalu macet, dan hari Senin bagai diteror waktu.

"Gimana, nih?" tanya Aliyya pada dirinya sendiri dengan raut wajah gelisah.

Aliyya menoleh kesana-kemari, mencari angkutan umum yang searah dengan tempat tujuannya. Dalam diam, Aliyya berharap agar kendaraan beroda empat itu segera lewat sebelum 15 menit acara OSPEK dimulai. "Angkot, lewatlah. Gue butuuuuuh."

Menyesal dan kesal menggelayuti hati Aliyya. Menyesal karena bangun kesiangan, lebih tepat ketika cahaya masuk melalui jendela kamar. Kesal karena akan telat ke kampus di hari pertama OSPEK. Mamanya telah membangunkannya, tetapi tidak mempan. Parahnya, alarm dari ponsel juga tak berhasil.

"Pasang lima alarm, waktunya beda lima menit doang, tapi engga kedengeran semua. Yang salah, gue atau alarm? Au ah, terang!", gerutu Aliyya ketika di dalam kamar mandi.

Aliyya yang membawa tas ransel, hendak melangkahkan kaki. Namun, terdengar teriakan seseorang memanggil namanya.

"Liyya ...! Liyya...!"

Aliyya celingak-celinguk mencari sumber suara. Di samping kanan, orang-orang sibuk dengan urusannya sendiri. Sementara di kiri, jalan raya. Di atas atau bawah, tentu bukan! Lalu? Kemudian Aliyya membalikkan badan, matanya menyipit ketika melihat seorang lelaki berlari ke arah tempatnya berdiri.

Familiar, pikirnya dalam hati. Loh? Rangga?

Dan benar! Itu Rangga, sahabat Aliyya. Aliyya mengernyit bingung ketika Rangga telah berdiri di hadapannya sambil mengatur napas agar kembali normal. Bingung bukan karena Rangga yang berlari. Tapi ... bingung dengan apa yang dipakai Rangga sekarang.

"Rangga, kenapa lo la--" Aliyya geleng-geleng kepala pelan. "Bukan ... bukan! Kenapa kita bisa seragaman, yak?"

Rangga terkekeh. "Beda, kok. Lo pake rok, sedangkan gue pake celana. Beda, kan?"

"Bukan itu maksud gue." Aliyya berdecak kesal. Lalu menatap sahabatnya itu dengan tatapan curiga. "Apa jangan-jangan--"

Ucapan Aliyya terpotong ketika Rangga berjongkok, lalu tangannya terangkat untuk mengikat tali sepatu aliyya yang lepas.

"Rangga?"

"Bahasnya nanti, kalo engga mau telat. Tuh ada angkot, ayo!" Rangga berdiri, kemudian berlari melewati Aliyya yang masih bingung.

"Ranggaaa!" teriak Aliyya kesal sebelum akhirnya berlari menyusul Rangga. Lebih baik mendapat tatapan aneh dari orang-orang daripada ketinggalan angkutan umum.

☔☔☔

Aliyya menghela napas lega. Berawal pergi ke tempat yang sudah dikatakan saat briefing dan berkumpul bersama teman-teman satu kelompok. Lalu dikenalkan dengan senior yang akan membimbing selama OSPEK, upacara, berkeliling kampus, dan lainnya. Hingga jam menunjukkan pukul lima sore.

Aliyya berjalan keluar dari gerbang kampus. Masih ada lima hari. Setelah itu dirinya akan resmi menjadi mahasiswa di universitas pilihannya ini. Bayangan menggunakan almamater dengan makara di dada kiri.

Kok lebay, sih? Rapopo, yang penting happy.

Senyuman terukir di wajah Aliyya. Namun, memudar ketika seseorang datang, lalu berjalan beriringan dengannya.

"Kenapa lo engga beritahu gue, sih?" tanya Aliyya memecah keheningan tiga menit lalu.

"Beritahu apa?" tanya balik Rangga membuat Aliyya kesal. Ini beneran lemot atau sengaja?

"Kalo lo diterima di kampus."

"Biar surprise," jawab Rangga.

"Gue biasa aja, tuh," ejek Aliyya.

Rangga menoleh seraya menjawab, "Bukan buat Aliyya Rahma, tapi buat Rafly Wijaya."

Aliyya terdiam karena malu, lalu memilih kata yang cocok untuk dikeluarkan. "Bego."

Rangga tertawa tipis. "By the way, lo pilih jurusan apa? Kayak dulu atau berubah?"

"Kayaknya jurusan kesehatan masyarakat, deh. Lo sendiri? Tetep? Atau yang lain?"

"Gue tetep pilihan pertama. Jurusan hukum."

Aliyya manggut-manggut. "Maka dari itu, Rangga Mahendra haruslah adil dan bijaksana. Jangan egois dan sembarangan."

Rangga mendengus. "Egois teriak egois."

"Gue engga egois!" sahut Aliyya.

"Iya!" balas Rangga.

"ENGGAK!"

"IYA!"

"ENGGAK!"

"IYA!"

"ENG--" Bibir Aliyya terkatup ketika titik-titik air jatuh di atas rambut hitamnya. "Eh-eh ... gerimis, nih. Ke sana, yok! Sebelum deres."

Aliyya dan Rangga cepat-cepat menuju halte sebelum diguyuri hujan. Pejalan kaki juga melakukan hal yang sama. Ada yang duduk dan berdiri sambil memandang hujan.

Aliyya yang berdiri, sesekali menggosokkan kedua tangannya untuk mendapatkan kehangatan. Yang tanpa disadari, Rangga memperhatikan gadis itu, lalu membuka jaket, dan menyodorkan di hadapan Aliyya.

"Hah? Lo gimana?" Aliyya menatap Rangga.

"Gue cowok, dan lo engga boleh kedinginan."

"Jaket lo gimana?"

"Rumah sebelahan juga. Susah amat."

"Tapi--"

"Pertanyaannya cukup." Rangga yang mulai kesal, lantas memakaikan jaketnya kepada Aliyya. "Udah biasa juga."

Aliyya menyengir. "Thanks." Ucapan Rangga sepenuhnya benar, ini sudah biasa dilakukan oleh sahabat. Dan membuatnya senang juga.

Namun, berbeda dengan Rangga. Ini bukan hanya sekadar hal biasa yang dilakukan. Tapi, perhatian yang diberikan tanpa disadari.
.
.
.
Bersambung ...

Hujan Membuatku Rindu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang