C17 Hari Tenang

22 3 2
                                    

***

Oke, ini sudah hari ketiga, hari terakhir kesempatan untuk menggombali Nadya, dan aku sendiri masih belum memulai jalan apapun. Padahal Rai sudah berkali-kali melontarkan kata-kata yang bisa membius Nadya itu.

Ya sudahlah, kalau aku kalah dari Rai, itu kodrat.

Seperti biasa, Rai sudah sampai di sekolah bahkan ketika gerbang sekolah baru dibuka, yang nggak biasa itu karena aku ikut. Pak Dir, satpam sekolahku, sampai hafal dengan Rai. Denganku juga, sih, karena sering berurusan kalau aku telat. Makanya beliau shock melihatku yang datang awal bersama Rai.

"Pagi Saka, Rai. Nak Saka tumben nggak telat?"

"Lagi pengen Bu Age istirahat, pak. Kasihan pidato terus, nanti suaranya hilang."

"Hahaha. Sip dah. Selamat belajar."

"Makasih Pak."

Kami langsung menuju kelas dan menuju tempat duduk masing-masing. Meski dibilang begitu, kami duduk bersebelahan, sih. Sebenarnya, aku ingin berkonsultasi dengan Rai tentang gombal, tapi mengingat reaksi terakhir yang diberikan Rai, yaitu penyerangan terhadap Nadya, aku memutuskan untuk mencari sendiri apa yang akan menjadi bahan dasar dalam gombalanku.

Aku membuka tasku untuk mengambil buku, apapun itulah yang bisa kuraih dan kubaca. Dan ternyata yang terambil adalah, buku Fisika!

Jujur saja, membuka buku Fisika bisa membuatku tenang. Namun aku nggak yakin apa yang kucari bakal ada disitu. Newton, Keppler, Archimedes, Faraday, dan ilmuwan-ilmuwan lain tidak pernah mencantumkan rumus tentang menggombal. Selama aku dan Rai terlarut dalam keasyikan masing-masing, kelas mulai terisi dengan teman-temanku. Dan akhirnya, 30 menit sebelum bel masuk, Nadya dan Lussi datang.

"Wah, tumben banget nih, Saka dateng pagi. Habis kepentok apa kemarin?" Lussi dan Nadya menempati meja di belakang kami. Kemudian menghampiri meja kami.

"Huh, pagi-pagi udah dapet gangguan." Rai meletakkan buku di mukanya, kemudian bersandar pada kursi. Nadya yang kesal melihat tingkah Rai, memukul pinggangnya. "Katanya menjunjung tinggi kesopanan wanita, omongannya kasar mulu kalo sama kita berdua."

"Sakit woy! Wanita nggak ada yang mukul pinggang cowok sampe sakit begini." Rai memegangi pinggangnya, tapi tanpa membuka buku dari wajahnya

"Hiperbola, dasar lemah." Lussi tertawa licik.

"Sak, lagi baca apa?" aku yang mencoba memfokuskan kembali ke buku, menoleh ke arah Nadya. "Ah, Fisika, kaya' biasanya." tunggu, kok ada yang aneh dari Nadya?

Aku bangkit berdiri, kemudian mendekatinya. "Nad"

"He, iya?"

"Kamu.."

"Eh, kenapa Sak?"

"Potong rambut, ya?" aku mengamati lebih dekat wajahnya, meletakkan tangan kananku diatas kepalanya, dan tangan kiriku di saku celanaku.

"Oh, iya nih. Kenapa?" dari senyuman yang diberikan Nadya, sepertinya ada yang dia sembunyikan

"Perasaan kemarin nggak ada angin, nggak ada hujan. Kenapa tiba-tiba?" masih dengan mengamati rambutnya yang kini benar-benar mirip cowok. Bahkan rambutku saja kalah pendek dengan rambutnya

"Ah, kemarin udah kepanjangan, aku gerah. Jadi kupotong?" Nadya mengalihkan pandangannya dariku. Tuhkan, pasti ada apa-apa

"Hei Nad." aku menegakkan badanku "Biasanya kalo cewek potong rambut tiba-tiba, apalagi jadi gaya cowok, dia pasti sedang ada masalah atau terlarut dalam kesedihan. Pipimu juga kelihatan biru. Jangan bohong deh. Ada apa?" Nadya langsung salah tingkah karena kutodong pertanyaan seperti itu. Rai juga jadi antusias mendengarkan. Seisi kelas sepertinya menoleh kearah kami juga.

HUJAN DI MUSIM PANASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang