Taman kecil di dekat pusat kota ini ketika senja memang terlihat ramai. Banyak muda-mudi yang berjalan bersama pasangannya dengan raut bahagia. Tapi itu tidak berlaku untuk Zahfa dan seorang laki-laki di depannya.
Zahfa masih ingat betul, bagaimana senyuman hangat laki-laki itu. Laki-laki itu selalu tau bagaimana menenangkan emosi Zahfa. Tapi semua itu telah tak sama. Laki-laki itu berbuat kesalahan dan selalu menguji kesabaran Zahfa.
Laki-laki itu menatap Zahfa dengan nanar. Zahfa diam, sampai akhirnya laki-laki itu memecah keheningan diantara mereka.
"Bagaimana bisa kamu masih memaafkan aku, Zahfa?" Tangan laki-laki itu menggenggam erat lengan Zahfa. Matanya masih menatap lekat Zahfa. Laki-laki itu diliputi rasa marah dan menyesal.
"Entahlah, aku juga tidak mengerti tentang ini. Aku tidak mengerti tentang aku sendiri, tentang kamu dan bahkan tentang kita."
Laki-laki itu menutup matanya dan menghembuskan nafas pelan. Ia melepaskan genggamannya dan tersenyum menatap Zahfa yang masih memandanginya dengan tatapan bertanya.
"Maaf," ucapnya dengan menatap Zahfa.
"Tak apa, aku tahu ini terasa salah. Tapi aku yakin mencintaimu memang butuh kesabaran ekstra." Ucap Zahfa yang diiringi dengan menetesnya air mata Zahfa.
Lelaki itu menunduk, diam tanpa pergerakan sedikitpun.
Zahfa mengusap air matanya dan tersenyum menatap laki-laki itu. "Aku tahu, ini pilihanku. Aku selalu menunggu kamu dengan rasa yang sama, meski aku tahu waktu tak pernah memihak segalanya."
Laki-laki itu mengusap lembut pipi Zahfa, "terima kasih telah menungguku dengan sabar, dan bahkan ketika di dekatku jantungmu masih berdebar, untukku."
Zahfa memegang kedua tangan laki-laki yang berada di pipinya saat itu, "aku tak tahu apakah kamu masih pantas untukku atau tidak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Feeling
Teen FictionAku tahu ini terasa salah, mencintaimu memang butuh kesabaran ekstra. Aku tahu, Akalku mengatakan tinggalkan, tapi rasaku mengatakan jangan lepaskan.