Masih ingat dengan perkataan Rana mengenai dirinya yang tidak akan menyentuh satu gelas minuman pun?
Well, persetan dengan itu semua. Karena saat ini, omongannya berbanding terbalik dengan kelakuannya.
Rana meneguk satu gelas bir yang barusan disodorkan oleh bartender kepadanya. Suara dentuman musik yang menghentak di telinga tidak menjadi alasan bagi Rana untuk berhenti. Malahan, perempuan itu semakin asik mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama. Nada yang duduk di sebelahnya lantas mendecak jengah. Memerhatikan Rana yang sudah mabuk. "Tadi lo bilang gak mau minum. Dasar kampret lo emang."
"Cuma satu gelas." sahut Rana sambil menyengir lebar. Yang tentu saja dibalas oleh Nada dengan menyentil kepalanya dengan keras, karena apa yang perempuan itu katakan jelas-jelas merupakan suatu kebohongan. Bahkan, Nada tidak bisa menghitung sudah berapa gelas bir yang perempuan itu habiskan.
"Sakit, tai." Rana meringis seraya mengusap-usap dahi.
"Na, kalo lo mabok begini, gimana gue nganterin lo pulang? Bisa mampus gue dimutilasi adik lo yang sangarnya macam bulldog itu."
"Tenang, tenang." Rana mengangkat telapak tangan ke depan, mengibas-ngibas. "Gue gak mabok kok."
Nada memutar mata. "Gak mabok pala lo peyang." Ia lalu mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara. "Sekarang lo liat, ada berapa jumlah jari gue saat ini?"
Sontak saja, Rana memandangi jari Nada dengan kedua mata yang disipitkan, sesekali kepalanya ia gelengkan karena rasa pusing yang menjalar, kemudian ia menyengir seraya mengangkat tiga jari. "Bego, masa gitu aja gak tau. Ya tiga lah. Hehehe."
"See? Bahkan untuk menebak berapa jari yang gue angkat aja lo udah nggak bisa. Itu artinya lo mabuk berat, anjir. Gue jadi gak tega ngeliat lo sampai se-desperate ini gara-gara dipecat sama om gue."
Mendengar hal itu otomatis meningkatkan tingkat kesadaran Rana sebanyak sepuluh persen. Sialan, benar juga apa yang Nada katakan barusan. Ia baru saja kehilangan pekerjaan, dan itu semua karena cowok brengsek yang ditemuinya tadi siang.
"Lo dipecat, Na?" Sebuah suara tiba-tiba muncul diantara dentuman musik yang menggema, membuat kedua perempuan itu menoleh. "Kenapa? Kok bisa?"
"Hai, Dimi." Rana menyapa sambil melambai-lambaikan tangan asal, ia menopang dagu dan menyengir lebar.
"Dimas, nama gue Dimas. Tolong jangan mencoreng nama baik gue dengan panggilan lo yang terdengar menye-menye itu." Dimas, seorang barista yang bekerja paruh waktu di tempat tersebut menghela napas. Kemudian matanya beralih menatap Nada. "Kok bisa dipecat?"
"Sebenernya gue juga kurang tahu jelas masalahnya," Nada menjauhkan gelas yang ingin diraih Rana, kemudian menghabiskan isinya dalam satu teguk. "Katanya Rana gak sengaja nabrak cowok-- Err siapa tuh namanya, Na?" Nada menoleh pada Rana yang tidak kunjung menjawab. "Tepan?"
Dimas mendengus. "Lo kira restoran teppanyaki apa. Nggak sekalian aja lo sebut papan?"
"Ya mana gue ingetin namanya, tai. Itu loh, pengusaha muda yang namanya lagi booming itu, katanya sih pewaris dari Paramaditya group. Lo tau gak sih, Dim?"
Dimas lantas mengernyit, menaikkan sebelah alis. "Nevan Paramaditya?"
Nada menjentikkan jari ke udara dengan semangat. "Nah! Iya namanya Nevan. Rana gak sengaja nabrak dia waktu mau nganter makanan ke gedung Paramaditya. Ya lo tahu lah, pengusaha songong kayak gitu mana mau ganti rugi. Makanya dia dimarahin habis-habisan sama om gue sampai dipecat."
Rana mencibir. "Gue gak nabrak dia. Dia yang jalannya gak pakai mata."
Dimas sontak saja melotot lebar. "Lo nabrak Nevan Paramaditya dan lo masih hidup? Wah anjir. Hebat bener lo, Na."
KAMU SEDANG MEMBACA
Trouvaille
TienerfictieSemenjak kehilangan kedua orang tua, Abriella Kirana tidak pernah lagi memandang kehidupan dengan cara yang sama. Baginya, hidup adalah abu-abu yang bergumam sendu. Ia lupa caranya bahagia, lupa bagaimana cara mengeja tawa, lupa bagaimana cara berha...