Rasa yang Terungkap dan Diungkapkan

243 34 1
                                    

"serius amat tu muka" Aryo menaikkan satu alisnya

"Apaan emang apaan?" Bima meletakkan stick PS diatas meja lalu fokus memperhatikan Arka

"Ibu Rein sakit" jawab Arka sambil menatap Aryo dan Bima secara bergantian

"Jenguklah kalau gitu" jawab Bima bingung

"Kanker" kata Arka melanjutkan, mereka bertiga terdiam. Sibuk pada pikiran satu sama lain, tak ada yang bersuara.

"Ka gak lucu kali becanda beginian" jawab Bima sambil tertawa kecil, yakin bahwa Arka hanya sedang bercanda.

"kaga bercanda bim. serius ini" kata Arka dengan tampang serius, membuat suasana di ruangan itu mulai sunyi senyap.

"kanker apaan ka?" tanya Aryo kemudian

Arka menghela napas panjang, "Kanker Otak. Stadium akhir"

Bima berdiri dari sofa, menutup wajahnya dengan tangan, berjalan kekanan dan kekiri, berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Arka. Aryo tak mengalihkan sedetikpun pandangannya dari Arka, berharap Arka akan tertawa dan mengatakan bahwa ia hanya sedang mengerjai mereka berdua. namun Arka tak mengucapkan apapun.

"Dari kapan lo tau? Rein sendiri yang bilang?" Tanya Bima kemudian, Arka menghela napas menceritakan bagaimana ia bisa tau segala yang terjadi. Bima dan Aryo saling pandang.

...

"Dok, ibu saya.. ibu saya sempat tak mengenali saya" kata Rein dengan gemetar pada seorang pria paruh baya yang duduk dihadapan Rein. Lelaki itu menatap Rein, memikirkan apa yang harus ia katakan pada seorang anak lelaki di depannya.

"Kanker ibumu pada stadium akhir Rein, kanker ini sudah ada di seluruh bagian tubuh ibumu. Hilang ingatan hanya salah satu dari gejalanya, kamu harus siap menghadapi kemungkinan buruk lainnya." Jawab lelaki itu pelan.

"Kemungkinan? Sampaikan pada saya hal yang pasti"

"Halusinasi, kemunduran mental, mimisan, kejang dan satu hal terburuk.." dokter tak melanjutkan kata-katanya, ia tau bahwa Rein sudah mengerti kata katanya. Rein menundukan kepalanya, menahan seluruh emosi kesedihan yang berkumpul di hatinya.

"Saya dengar, dokter sudah merawat ibu saya sejak ibu tervonis mengidap kanker?"

"Iya"

"Bukankah ada kemoterapi dok? Bukankah ibu seharusnya bisa sembuh jika ia kemoterapi?"

"Tentu, kemungkinan sembuh ada. Tapi ibumu menolaknya"

"Kenapa?"

"Kemoterapi juga memiliki efek sampingnya sendiri. Ibumu takut kamu melihatnya ketika rambutnya rontok atau ketika ia tampak sangat lemah, ibumu tidak mau kamu tau"

"Ibuku adalah orang paling lucu yang pernah aku tau. lalu anda sebagai dokter bukannya menyembuhkan ibu saya, malah mengikuti keinginan ibu saya yang konyol dok?" Rein mengarahkan pandangannya pada langit langit putih, berusaha tak menampakan raut mukanya yang mulai berubah.

"semua dokter memiliki kewajiban untuk memberi tahu dan menyarankan cara untuk kesembuhan pasien mereka Rein. tapi hak pasien tetaplah milik mereka.. saya tak bisa memaksakan ibumu untuk melakukan kemoterapi jika ibumu tidak menginginkannya" kata dokter berusaha untuk menenangkan Rein.

"saya tau perasaanmu, tapi cobalah juga untuk mengerti..."

"Tau tidak berarti ikut merasakan dok" Rein memotong pembicaraan dokter dan segera berdiri lalu meninggalkan ruangnya. Rein mengambil telpon di dalam kantong celananya dan terdiam melihat nama Sunny muncul.

Hujan & MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang