04 | Saat Kewarasan Menghampiri

14.6K 2.6K 458
                                    

Jadi, ingatkan saya kalau cerita Bima dan Arimbi ini sudah melenceng jauh dari kenyataan ya? Saya takut, ini akan jadi nggak logis ke depannya. 😢😢

Tandai juga typonya, saya masih eror-eror gitu.

⬛⬛⬛⬛

"Kita pulang sekarang."

Tangan Bima seketika menggantung di udara. Niatnya untuk segera masuk dan memberikan martabak manis kesukaan sang Mama mendadak harus ditunda karena mendengar suara rendah serupa dengan desisan.

Bima sudah dua puluh delapan tahun menjadi anak sepasang keras kepala dengan cara mereka yang khas. Pertengkeran seperti ini tidak melulu membuatnya shock dan berpikir ke mana-mana. Bukan kali pertama, sudah sangat sering Bima mendengar kedua orang tuanya beradu suara rendah maupun tinggi.

Bagi Bima, wajar jika dua orang yang saling mencintai itu salah paham. Itu artinya mereka masih berkeinginan untuk mengeluarkan apa yang mereka suka dan tidak suka pada pasangan. Andai keduanya sama-sama memendam diam, Bima yakin suatu saat hubungan semacam itu akan kandas tanpa tercium badainya.

"Besok, Pa. Atau lusa. Mama belum selesai."

"Apanya yang belum selesai?"

"Apalagi, kalau bukan deketin Bima sama Arimbi."

"Kalau niatmu sudah sesesat itu, ayo pulang sekarang."

"Sesat apanya? Bima suka kok sama Arimbi. Apa yang salah dengan niat Mama untuk membuat mereka berdua dekat? Papa ini yang diurusin emang grosir terus. Mana sempat mikirin anaknya yang lagi jatuh cinta sama gadis cantik."

Tahu bahwa dialah akar dari pertengkaran Papa dan Mamanya, membuat Bima spontan melebarkan telinga. Terlebih ada nama Arimbi yang disebut-sebut. Makin tak berbatas rasa penasaran Bima.

"Itu pun sebenarnya bukan jadi urusanmu, Ma." Bisa didengar Agung menahan separuh emosinya. "Biarin Bima memilih pendampingnya sendiri. Dan jikapun ternyata pilihannya adalah Arimbi, lupakan saja. Papa tidak akan memberi restu."

Dan mendengarnya membuat Bima memejamkan mata. Serupa balon yang meledak di tengah keriuhan hati, seperti itulah kerja suara Papa saat membuat jantung Bima mendadak berhenti berdetak. Batin dan otaknya berperang hebat kini. Masih ia ingat senyum ramah, juga sambutan renyah dari Papa untuk Arimbi pagi tadi, lantas apa gerangan yang sukses membuat Papa segeram ini hanya dengan menyebut nama gadis cantik itu?

"Kenapa memang? Arimbi baik. Dari sekian banyak wanita, cuma dia yang bisa membuat Bim—"

"KARENA DIA AMNESIA!" Papa membentak. Emosinya mungkin sudah dilalap habis oleh keberanian Mama yang membantah sana-sini. "Apa yang bisa diharapkan sama gadis yang bahkan tidak jelas asal-usulnya kayak gitu?"

"Amnesia bisa sembuh, Pa. Selama itu, biarin Bima mendapatkan hati Arimbi—"

"Dan jika ternyata Arimbi mengingat semua masa lalunya bagaimana?"

"Ya—ya nggak apa-apa. Bagus dong, dengan begitu kita bisa langsung ngela—"

"Bagaimana kalau ternyata Arimbi itu sudah menikah, punya suami, punya anak. Bagaimana dengan Bima? Mikirin nggak kamu nasibnya anakmu nanti?" Sembur Papa tanpa teding aling-aling. "Mikir itu yang jauh, Ma. Kamu sudah tua, bukan lagi anak kecil. Kamu sedang jadi Mama, bukan lagi main boneka yang bisa kamu jodohkan sesukamu. Berhenti, Ma. Demi Bima, berhenti."

Suasana di dalam sana mendadak senyap. Berbeda dengan keadaan di dalam hati Bima yang mendadak bising. Mama mengunci bibirnya rapat, barangkali tengah tertampar hebat oleh kenyataan yang Papa sajikan. Pernyataan demi pernyataan Papa mulai berdengung-dengung di telinga Bima.

Kotak MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang