/dear no one, this is your love song/
💠💠💠"Gue Sebastian Orion. Sepupunya Karin. Harusnya gue ngomong dari awal biar lo nggak salah paham, tapi lo-nya sibuk nyentak-nyentak mulu tiap gue mau ngomong. Gue juga kenal sama Kevin, kok. Ya kan, Vin?"
Sheryl memejamkan mata begitu teringat perkataan cowok berkulit pucat tadi. Betapa malunya ia saat mengetahui bahwa laki-laki yang secara tak langsung dituduhnya dengan kasar beberapa waktu yang lalu, tak lain adalah sepupu Karin. Ia merutuki kebodohannya dalam hati kala Kevin terus saja menatapnya dengan tatapan tak habis pikir. Setelah mengucapkan kata 'maaf' yang super singkat dan super pelan, Sheryl berlari menjauhi kerumunan di dekat taman tadi dan berakhir terduduk di gudang belakang seperti sekarang.
Sheryl tersadar dari lamunan ketika tangan Leon tiba-tiba saja sudah bertengger di rambutnya untuk merapikan helai-helai yang berantakan akibat perangnya tadi. Ia tak ingat kapan lelaki itu datang menyusulnya karena terlalu sibuk merenung.
"Lain kali, lo jangan langsung emosian gini ya? Nggak baik, tahu," ceramah cowok itu.
"Lo kalau ke sini cuman buat belain cewek kesukaan lo itu dan nyalahin gue, mending nggak usah," Sheryl melirik Leon nyalang.
"Gue nggak ngebela atau nyalahin siapa-siapa, Sher. Cuman kelakuan lo tadi itu nggak baik. Harusnya lo tanya dulu cowok itu siapanya Karin, jangan langsung main hakim sendiri,"
"Cukup, Leon! Nggak usah nyeramahin gue, oke?"
Leon terhenyak mengamati gadis yang kini mulai terisak itu.
"Lo nangis, Sher?" Perlahan, diusapnya bahu kecil Sheryl. "Jangan nangis, dong. Lo 'kan biasanya tangguh gitu, nggak cocok kalau nangis cuman gara-gara kalah perang," Leon mencoba bergurau.
"Nggak cocok, kata lo?" Sheryl menoleh sambil menyeringai sinis, membuat Leon terdiam seketika. "Lo sendiri yang bilang kalau gue boleh nangis kalau gue kesakitan, dan sekarang lo bilang gue nggak cocok nangis gara-gara masalah beginian? Gue sama sekali nggak peduli sama Karin atau sepupunya itu. Yang bikin gue nangis itu tatapannya Kevin tadi, seolah-olah bilang kalau dia nggak ngerti lagi sama gue. Lo tahu rasanya? Sakit, Le..." ia tak mampu meneruskan kalimatnya karena sesenggukan.
"Iya, iya, gue ngerti. Maafin gue, ya?" Leon beringsut untuk merangkul teman sebangkunya itu, namun ditepis Sheryl dengan kasar.
"Nggak! Kevin yang notabennya sahabat gue dari kecil aja nggak ngerti, gimana lo? Lo nggak tahu apa-apa, Leon!"
Leon terperangah untuk beberapa saat. "Maaf..." lirihnya nyaris tak terdengar.
"Kalau lo merasa bersalah, tolong tinggalin gue. Gue mau sendiri dulu," ujar Sheryl setelah sedikit-banyak berhasil meredakan tangisnya.
"Oke, tapi lo jangan marah ya?" pinta Leon memelas.
Sheryl bergeming. Karena tak kunjung mendapat jawaban dari gadis itu, Leon akhirnya beranjak dari gudang. Meninggalkan gadis yang kini tengah melayangkan lamunannya kembali. Air mata yang tadinya sudah berhenti keluar kembali mengucur tanpa dikomando. Sheryl tak pernah merasa serapuh ini sebelumnya. Ia butuh tempat bersandar, tapi siapa? Bahkan Leon yang biasa memahami perasaannya, malah bertingkah seolah-olah cowok itu membela Karin di depannya. Menyebalkan. Sheryl benci Leon yang sudah seperti budak cinta, walau sebenarnya ia juga begitu.
"Uhuk... uhuk..." Sheryl tiba-tiba terbatuk karena menghirup asap rokok yang entah darimana datangnya. "Siapa sih yang ngerokok di sekolah? Nyari mati apa?" ia beranjak dari duduknya untuk melihat siapa yang merokok di sekitar gudang belakang. Baru beberapa langkah, asap rokok semakin menusuk indra penciuman Sheryl. Ia berhenti begitu menemukan si pelaku yang tengah menjepit sebatang rokok menyala dengan dua jarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pandora✔
Teen FictionSelalu ada hati yang merindukanmu untuk pulang. Menyiapkan segalanya agar kamu nyaman untuk tinggal. ©2019 • oldelovel