Puluhan siswa pulang dari pemakaman salah satu teman mereka yang baru saja meninggal dunia, Aldo tewas karena dibunuh, puluhan tusukan pisau melukai tubuhnya, sekolah mereka kini kembali berduka, Aldo adalah siswa kelima yang tewas dibunuh di sekolah ini, tidak ada yang tau siapa pembunuhnya, polisi bahkan tidak dapat
menemukan sidik jari pelaku di tubuh korban, sepertinya pembunuh itu sangat profesional, entah pembunuh bayaran atau hanya sekedar dendam, pusat perhatian tertuju kepada Alia, salah seorang siswi cantik yang duduk dikelas 11, semua korban pembunuhan berkaitan dengannya, bagaimana tidak? Kelima siswa yang terbunuh adalah mantan kekasihnya, siapa saja yang berani memacarinya akan mati mengenaskan, pihak guru berkali-kali menanyakan kepada Alia, apakah ada seseorang yang menyimpan dendam asmara kepadanya sehingga membunuh siapa saja yang mendekatinya, namun Alia bilang tidak ada, ia sendiri merasakan kepedihan setiap kali ditinggal mati oleh sang kekasih, sampai sekarang belum ada yang dapat mengupas kebenaran kasus ini.Dia duduk disana, di atas bangku kayu di depan kelas, menunduk memandangi susunan keramik putih, ratapannya mengisyaratkan tekanan bathin, duduk sendirian dijauhi semua orang, di cap sebagai orang aneh dan pembawa sial, dia tidak tau apa-apa, tetapi harus menanggung cibiran-cibiran dari mulut ke mulut, rambutnya yang diikat kuncir kuda dibiarkan jatuh di bahu kanannya, aku memandangnya dari kejauhan, itulah yang biasa kulakukan, jika aku jadi dia mungkin aku akan mengalami depresi dan ketakutan yang mendalam, tetapi dia tampak kuat walau sebenarnya bathinnya rapuh.
Dia masih duduk disana, dan aku masih memandanginya, memandangi Alia yang terlalu cantik, terlalu anggun dan terlalu kucintai, cinta yang sengaja ku kubur karena ketakutanku, ketakutan atas kasus-kasus yang selama ini berkaitan dengannya. Entah cinta apa ini? Yang membuatku larut di dalamnya, entah sejak kapan aku mencintainya, yang kurasa cinta yang sudah dilahirkan sejak lama, yang sudah ditakdirkan sebelum aku bertemu Alia, bahkan sebelum dunia ini diciptakan.
"Alia..!!" aku menyebut namanya dengan keras saat melihat Alia tiba-tiba saja pingsan di atas bangku kayu itu dan terjatuh ke lantai, langkahku terhenti saat siswa-siswa lain bergerombol melihatnya, berselang beberapa detik, yang ku lihat tak ada seorang pun yang berniat menolongnya, mereka hanya menjadikan Alia sebagai tontonan, mereka semua takut, takut untuk menyentuhnya, takut karena kasus-kasus itu. Kali ini aku memberanikan diri, melangkah mendekatinya, Alia juga makhluk sosial yang membutuhkan individu lain disaat dia tergeletak seperti itu, aku tak peduli pandangan-pandangan yang mencibir di lorong-lorong sekolah, yang aku tau sekarang aku akan membawanya ke ruang UKS dan setelah itu Alia siuman.
*****
"kau sudah gila Bar??" dia menepuk pundakku dari samping, maksudku Hendri teman sebangkuku, "aku tidak gila" bantahku membuang pandangan membuka halaman buku biologi yang ada di atas mejaku. "Bara.. Bara.. jelas saja kau sudah gila, kau nekad menggendong gadis pembawa sial itu barusan, bagaimana jika kau menjadi korban pembunuhan yang ke-6" perkataan Hendri setengah mencibir, membuatku sedikit tersinggung. Aku tak membalas cibirannya. Hendri mengambil posisi berdiri dan beranjak pergi, sepertinya ia tak suka dengan sikapku tadi, entahlah dimataku Alia adalah gadis yang lemah yang harus dilindungi.
Aku sengaja memilih tempat duduk paling belakang, bukan karena alasan agar mudah mencontek ketika ulangan atau motif yang serupa, tetapi agar aku dekat dengan dinding belakang kelas, aku mencintai dinding itu, bukan karena aku tak waras, tetapi karena ada dia yang kucintai dibaliknya, Alia ada disana, kelas kami bersebelahan, dinding biru muda yang memisahkan pandanganku dari Alia sekaligus membuatku terasa dekat dengannya, setiap kali aku mendekati dinding itu setiap kali itu juga ku hirup kesejukan pesona Alia.