#1 Galih Kayuwangi

132 21 8
                                    


Di tepian sungai, jauh di dalam kerimbunan rimba ketika langit baru saja menjadi gelap sepenuhnya, dia yang disebut Putra Sang Amurwabhumi melepas penat. Dia biarkan kuda hitamnya meneguk air sungai hingga puas. Dia sendiri menciduk air dengan kedua tangannya, meminumnya, lalu membasuh mukanya. Ah, akhirnya wajah itu terlihat segar kembali setelah debu-debu luruh. Rahang keras, mata yang elang dengan alis tajam, tak ada bagian dari wajahnya yang tidak menunjukkan kelurusan pribadi dan ketetapan tekad.

Sementara sang kuda hitam merumput, Putra Sang Amurwabhumi, lembu peteng yang tak dikenal itu mengambil tempat di bawah pohon sana kembang. Menghirup napas, memenuhi paru-parunya dengan udara beraroma dedaunan, pemuda itu duduk bersila, memejamkan kedua mata, dan memasuki alam keheningan.

Gambaran-gambaran waktu yang telah dia lalui berkelebat dalam benaknya. Bagaimana dirinya ketika kanak-kanak, dia yang tumbuh di lingkungan istana, di bawah asuhan Mpu Seta Saraba. Dia yang tak pernah dikenali bahkan oleh Sang Amurwabhumi yang-kata Mpu Seta Saraba-adalah ayahnya sendiri.

Ah, lembu peteng, begitulah Mpu Saraba menyebutnya. Anak dari selir kesekian atau dayang yang entah siapa, Mpu Seta Saraba tak pernah menerangkan siapa ibunya. Bahkan sesungguhnya, hanya Mpu Saraba-lah yang memanggilnya Putra Sang Amurwabhumi. Hanya Mpu Saraba yang mengetahui dengan benar siapa ayahnya, juga ibunya yang etah siapa itu. Dan, hanya ketika mereka tengah berdua saja sang empu memanggilnya demikian.

Sekali lagi Putra Sang Amurwabhumi menghirup napas dalam-dalam, melepaskannya, dia menyisihkan potongan-potongan ingatan dan membuat dirinya kosong. Namun, tidak. Suara kerosak membuatnya kembali siaga. Seketika dia membuka mata, mewaspadai setiap gerakan di sekitarnya, juga suara-suara.

Seorang anak laki-laki, Putra Sang Amurwabhumi menaksir bocah itu belum mencapai usia satu dasawarsa, keluar dari balik semak-semak. Tampak lusuh, tetapi tatapannya begitu tajam.

"Siapa kau?" tanya bocah itu lantang. Kentara sekali dia bukan anak desa dari caranya menatap dan berbicara dengan orang yang lebih dewasa darinya. Lagi pula, anak desa mana yang berani berkeliaran di dalam kerimbunan hutan malam-malam begini?

Putra Sang Amurwabhumi tersenyum. Katanya, "Mendekatlah, Tole, agar aku dapat lebih jelas melihatmu."

"Mau apa kau masuk ke hutan ini?" Alih-alih mendekat, bocah itu melontarkan satu pertanyaan lain. Masih dengan suara keras, tanpa unggah-ungguh.

Putra Sang Amurwabhumi menghela napas. "Bagaimana denganmu, Tole? Bukankah kau pun berada di sini? Di tengah rimba ini?"

"Aku tinggal di sini!" salak bocah itu. "Tapi kau, orang asing, tidak seharusnya ada di sini!"

"Begitukah?" Putra Sang Amurwabhumi tersenyum. "Jika demikian," ujarnya, "aku meminta maaf atas kelancanganku. Aku hanya ingin beristirahat usai melakukan perjalanan jauh. Kuda hitam itu, lihatkah? Dia telah begitu lelah."

"Orang asing," bocah itu melangkah mendekat, "kau tidak pernah diajari adab bertamu? Aku telah bertanya dua kali padamu, tapi kau tak menjawab satu pun."

Putra Sang Amurwabhumi tertegun sejenak. Bagaimana mungkin bocah itu menuduhnya tak pernah diajari adab bertamu, sementara dirinya sendiri tak memiliki tata krama dalam berbicara kepada orang yang lebih tua darinya? Lagi pula, siapa yang mengira ada anak kecil tinggal di hutan begini? Ingin sekali Putra Sang Amurwabhumi membalik ucapan bocah itu. Namun, tidak demikian yang diajarkan oleh Rama Guru-nya. Maka, dia hanya tersenyum maklum dan meminta maaf atas kekurangtahuannya.

"Galih Kayuwangi," ujar Putra Sang Amurwabhumi. Telah lama sekali dia tidak menyebutkan namanya. Seperti yang selalu diwanti-wantikan oleh Mpu Saraba, guru yang juga pengasuhnya semenjak dia masih bayi, agar tak sembarangan menyebutkan nama terutama di kalangan istana. Dia harus bergerak serupa angin yang tak terlihat, serupa udara yang ada tetapi tak berwujud. Namun, di tempat yang begitu jauh dari Keraton Singhasari ini, tentu tak mengapa jika dia menyebutkan namanya.

"Aku sedang dalam perjalanan yang aku sendiri tidak tahu seberapa jauh jaraknya. Aku hanya singgah untuk beristirahat semalam di sini. Esok ketika ayam berkokok untuk ketiga kali, aku akan melanjutkan kembali perjalananku."

"Begitu...," si bocah laki-laki mengangguk, "aku tidak menjamin keselamatanmu, Galih Kayuwangi. Ada banyak binatang rimba, yang tak pasti akan menyukai keberadaanmu di sini. Tapi, asal kau tak mengganggu, kau boleh bermalam di sini. Hanya untuk malam ini, dan kau harus bergegas ketika ayam berkokok untuk ketiga kali."

Ah, bocah ini, Galih Kayuwangi membatin, bukan saja tak memiliki unggah-ungguh, dia pun memanggilnya langsung dengan nama. Siapa sesungguhnya bocah ini? Dilihat dari pakaiannya yang tampak lusuh dan telah tak sempurna membentuk baju-telah teramat koyak dan berdebu, mestinya dia hanyalah bocah biasa yang tinggal terlunta-lunta di dalam hutan. Akan tetapi, melihat keberaniannya dan tatapan matanya yang begitu elang, dia pastilah bukan bocah biasa.

"Tak penting bagimu tahu siapaaku," kata bocah itu lantang, seolah-olah mampu membaca raut wajah Galih Kayuwangi. Usaiberkata demikian, dia berbalik, memelentingkan tubuhnya dan lenyap di antarapepohonan. Seperti dugaan Putra Sang Amurwabhumi, dia bukan bocah biasa.

***

19 Agustus 2014

4 April 2018

Rahayu~

Terima kasih sudah membaca dan memberikan bintang serta komentar.... :)

Saat ditulis pertama kali pada 2014 lalu, nama tokoh utama di sini sebenarnya adalah Wirataksa. Yep, Wirataksa yang itu, yang nongol di Bara Kesumat (jika kalian sudah membeli dan membaca novelnya, kalian pasti tahu). Namun, karena "rentang waktu"-nya berbeda, akhirnya tokoh yang ini saya ganti jadi Galih Kayuwangi.

Kenapa saya katakan berbeda? Sebab, Bara Kesumat mengambil waktu di masa pemerintahan Kertanegara, sedangkan Kesatria Langlang hidup di masa ketika Sang Amurwabhumi alias Ken Arok masih hidup.

Sekali lagi, terima kasih sudah membaca (termasuk catatan yang enggak terlalu penting ini). ^^

Kesatria LanglangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang