Prolog

38 4 0
                                    

Kumainkan piano dengan melodi kacau. Pangkal hatiku yang sedang terluka membiarkan jari jemariku menari di atas tuts piano. Hatiku rasanya remuk saat melihatnya sedang asyik berfoto dengan wanita lain. Ya, aku tahu dia memang tidak salah, memangnya siapa aku yang punya hak untuk melarang dia dekat dengan yang lain?

Seorang pria mendobrak pintu ruangan, membuat tanganku berhenti menari di atas tuts piano. Aku menghela napas panjang.

"Apa yang kau lakukan disini, Kak Dimas?" tanyaku pelan.

"Kamu kenapa sih, Leen? Tiba-tiba kamu lari gitu pas liat aku, kamu lagi marah sama aku?" tanya Kak Dimas dengan melangkahkan kakinya menuju piano.

"Aku gak papa," lirihku dingin.

"Haduh, kenapa lagi sih?" tanya Kak Dimas.

Berbulir-bulir keringat jatuh dari keningnya. Ia yang memiliki nama Dimas Setya Ari Widyo itu merebahkan tubuhnya di lantai ruang musik yang sangat dingin.

"Kakak masih ingin di sini?" tanyaku dan beranjak berdiri dari kursi piano.

Aku melangkahkan kakiku dan berdiri di hadapan Kak Dimas.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Kak Dimas dengan mengangkat tubuhnya dengan kuat.

"Hanya melupakanmu," jawabku ringan.

"Kenapa?" tanya Kak Dimas lagi.

"Aku tidak mau jadi adikmu," jawabku lagi dan menyembunyikan airmata yang perlahan-lahan mulai jatuh.

"Lah, kenapa?" tanya Kak Dimas bingung.

"Tidak, lupakan saja," jawabku dan menghapus bulir airmata yang jatuh.

"Kamu mau jadi apa kalo bukan jadi adikku?"

"Kamu mau jadi pacarku?" Kak Dimas meyakinkan dirinya bahwa apa yang dikatakannya sudah benar.

Aku tersentak kaget dan mengutuk diriku sendiri.

"Aku gak mau pacaran," jawabku tegas tapi malah terdengar serak karena menangis.

"Lah, jadi?" tanyanya dengan memasang ekspresi tak tahu apa-apa.

"Entahlah," jawabku dengan menundukkan kepala.

"Hm, maaf Aileen. Aku gak pernah ngerti apa yang kamu maksud. tapi apapun itu, jika aku ada salah, aku minta maaf ya.." ucap Kak Dimas perlahan.

"Kakak gak salah kok, aku yang berlebihan aja," jawabku dengan mengangkat wajah perlahan.

"Kamu udah makan?" tanya Kak Dimas dan mengelus kepalaku perlahan.

"Belum," jawabku.

"Ayo makan," suruh Kak Dimas dan menarik tanganku untuk keluar dari ruang musik.

Aku mengangguk dan berjalan keluar dari ruang musik.

Aku lelah menyimpan perasaan ini yang tak pernah kunjung terbalas. Aku selalu memendam perasaanku ini dan hanya berberapa pemilik napas saja yang tahu hal itu.

Harapanku hanyalah orang yang aku suka juga memiliki rasa yang sama, meski kita bukan sepasang pacar. Dan faktanya, entah mengapa cowok yang aku idamkan selalu berpihak kepada perasaan lain. Sedangkan orang yang mengejarku, aku merasa tidak pernah digapai oleh mereka dan aku tidak pernah bisa membalas perasaan mereka.

Apakah ini yang dinamakan hukum karma?

YOU ARE THE PIECES OF METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang