#4 Menginap

147 19 10
                                    


Memegangi dadanya yang terasa sesak, Galih Kayuwangi bangkit. Dia kemudian berjalan tertatih. Bersiul panjang, pemuda itu memanggil Gelap Wukir. Selang beberapa kali embusan angin, terlihat sang turangga berderap mendekat. Debu-debu kering beterbangan di belakang kuda hitam yang tangkas itu.

Begitu sampai di hadapan Galih Kayuwangi, Gelap Wukir berhenti dan menjulurkan mukanya dengan lembut.

Galih Kayuwangi tersenyum, mengelus pipi Gelap Wukir sebelum naik ke punggungnya. Dada pemuda itu masih terasa sesak, tetapi dia yakin dirinya akan baik-baik saja.

"Kita lanjutkan perjalanan, Wukir." Galih Kayuwangi menghela kekang sang turangga dengan lembut, mengisyaratkan agar kuda hitam itu berderap pelan-pelan. "Terus menuju barat," lanjutnya.

Warna biru langit perlahan semakin tua ketika Gelap Wukir akhirnya meningggalkan bulak luas dan memasuki desa. Sesampai di pondok jaga, Galih Kayuwangi menghentikan kudanya dan bertanya.

"Mohon maaf, Kisanak," ujarnya mengawali, "kalau boleh saya tahu, apakah nama desa ini?"

Lelaki berkumis yang duduk di pondok jaga turun dan menjawab, "Ini Dukuh Pawotan. Aden mau ke mana?"

Galih Kayuwangi tersenyum. "Tidak, saya ingin menumpang istirahat di sini," ujarnya ramah. "Adakah penginapan di sekitar sini?"

Lelaki berkumis yang tampaknya petugas jaga mengangguk-angguk. Katanya, "Kalau di sini tidak ada. Maklum, ini padukuhan kecil." Lelaki itu tersenyum lalu melanjutkan, "Penginapan ada di Dukuh Saman, tapi nanti Aden keburu kemalaman sebelum sampai. Kalau mau, Aden boleh menginap di rumah saya."

Galih Kayuwangi kembali tersenyum. "Terima kasih tawarannya, Ki. Tapi, sebaiknya saya mencari penginapan di Dukuh Saman saja," tolaknya halus. Sesungguhnya, tak enak hati Galih Kayuwangi harus menolak tawaran lelaki baik hati itu. Namun, apa boleh buat, dia harus melaksanakan petunjuk sang guru. Jadi, sebelum Galih Kayuwangi mampu memaknai maksud Mpu Seta Saraba, dia bertekad untuk tidak melanggar petunjuk sang guru.

Lelaki penjaga itu tersenyum maklum. "Jika demikian," katanya, menunjuk dengan ibu jarinya, "Aden bisa mengikuti jalan ini, terus hingga sampai di gerbang seberang padukuhan. Dari sana, Aden berbelok ke arah kiri, melewati persawahan hingga sampai ke Dukuh Saman. Sampai di sana, Aden tanya penjaga yang ada."

Mengangguk, Galih Kayuwangi mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanannya. Dihelanya Gelap Wukir agar berderap lebih cepat. Bagaimanapun, Galih Kayuwangi tak ingin terlalu malam sampai di dukuh itu karena bisa jadi dia nanti justru dicurigai sebagai orang tidak benar. Pemuda itu beruntung jalan yang mengarah ke gerbang seberang padukuhan tidak terlalu sulit diikuti, karena memang dibuat lebih lebar daripada jalan-jalan lainnya.

Sesampai di gerbang seberang, Galih Kayuwangi membelokkan kudanya ke kiri, mengikuti petunjuk lelaki berkumis di pondok jaga tadi. Selang beberapa waktu berderap, dia menjumpai hamparan persawahan. Beberapa petani tampak memanggul cangkul dan berjalan di pematang-pematang sawah, menuju Dukuh Pawotan. Ada juga yang menyunggi rumput di keranjang, barangkali untuk makan ternak mereka.

Galih Kayuwangi memperhatikan sawah-sawah itu. Kemarau tahun ini berlangsung cukup lama. Akan tetapi, sepertinya para petani di dukuh ini masih bisa bertahan.

Hidup di lingkungan istana memang membuat Galih Kayuwangi tak begitu mengenal kehidupan di luar istana. Namun, Mpu Seta Saraba selalu membagikan pengetahuan kepadanya. Dari sang empulah Galih Kayuwangi mengetahui hal-hal yang terjadi di luar istana. Bahkan, setiap beberapa pekan sekali, Mpu Seta Saraba akan mengajak murid kinasih-nya itu berjalan-jalan ke desa dengan menyaru sebagai warga desa biasa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kesatria LanglangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang