Panas yang terik menyorot setiap celah di sebuah bangunan tua namun gagah, bangunan ini kokoh layaknya sebuah saksi bisu begitu banyak cerita perjalanan hidup seseorang.
Saat ini tepat di depan pintu gerbang sekolahku, High School of Beverly Hills.
Tiga insan yang terdiri dari dua orang pria berperawakan gempal dan seorang wanita cantik berjalan tepat di depanku menuju arah lantai atas yang sejalan dengan kelasku.
Tanpa sebuah kata-kata sapaan, tanpa senyuman yang menandakan sebuah persahabatan, tanpa tatapan yang meng-orangkan aku, mereka bertiga hanya terus berjalan lurus.
Dan aku? Hanya terdiam membisu bersama seorang wanita berkucir kuda di sampingku, yang merupakan sahabatku, yang selalu bersamaku di mana pun aku berada.
Entahlah, terkadang aku juga bingung kenapa aku selalu bersamanya setiap hari. Seperti tidak ada orang lain saja.
Tapi memang kenyataannya hanya dia yang bersedia selalu bersamaku selama ini.
Kami pun terus berjalan beriringan sampai di depan ruang kelas kami, yang lokasinya tepat bersampingan langsung dengan ruang kelas kakak satu angkatan di atas kami.
Saat di depan kelas, aku bertemu lagi dengan dua pria yang kutemui di gerbang tadi. Namun, mereka tidak bersama dengan seorang wanita tadi juga, wanita tadi sepertinya berganti dengan seorang pria lain berperawakan tinggi dengan rambut jabrik dan jaket yang didominasi warna hitam dengan sedikit line pattern merah pada bagian samping tubuh dan lengannya.
Sepertinya itu jaket jersey sepak bola.
Dan entah mengapa aku merasa sudah kenal sangat dekat dengan pria itu.
Aku tidak tahu namanya, tapi aku merasa memiliki sebuah hubungan khusus yang spesial dengannya.
Aku hanya tetap diam di depan pintu memperhatikan gerak-gerik tiga orang pria di depanku ini.
Hingga dua pria berperawakan gempal itu meninggalkannya sendiri. Sehingga membuat si pria jabrik kesal.
Karena kesal, pria jabrik ini mengeluarkan sumpah-serapah dari bibirnya yang menawan. Seperti kata ANJ*NG ataupun BANGS*T yang tidak dihiraukan oleh teman-temannya itu.
Untuk ke sekian kalinya aku merasa bahwa itu semua sudah biasa aku dengar dari pria jabrik tersebut.
Pria tersebut jalan berbalik arah sambil berusaha mengeluarkan gulungan-gulungan kecil dari dalam tas punggung hitamnya.
Dan aku pun sadar bahwa gulungan itu adalah Rokok.
Tak segan-segan, aku menarik lengannya dan kembali menghadapkannya pada arah hadapannya semula.
Entah mengapa, aku merasa sudah sangat dekat dengan pria jabrik yang tidak kuketahui siapa ini. Aku bahkan juga merasa bahwa aku memiliki sebuah hak untuk melarangnya melakukan sesuatu yang berbahaya baginya.
"Mau kemana?" tanyaku pada pria tersebut.
"Nggak kemana-mana," Jawabnya dengan lembut dan ekspresinya yang berusaha meyakinkanku. Tatapannya yang teduh mampu membuat hatiku lumer begitu saja.
Aku tidak tau ini perasaanku saja atau memang kenyataannya, dia juga memperlakukanku seolah aku adalah orang yang begitu berharga baginya.
"Mau Kemana?!" tanyaku lebih tegas lagi.
Dia menyentuh daguku dan mengunci tatapan mataku hanya padanya, tidak memberikanku kesempatan sedikitpun untuk menatap hal lain.
"Nggak kemana-mana La, mendingan kamu masuk kelas, duduk yang manis. Aku mau keluar sebentar ada urusan penting."