3.1 Pahlawan

1.7K 72 0
                                    

Bosan, tentu saja.

Dara sudah menunggu mungkin tiga puluh menit di rooftop yang panas ini. Walaupun katanya panas pagi itu sehat, tapi tetap saja Dara tidak bisa lama-lama di bawah matahari yang sudah mulai terik bahkan saat jarum pendek jam masih menunjuk angka 8 ini.

" Ck! Lama amat elah.." Monolog Dara menghentakkan kakinya ke lantai semen. Kaki berbalut sepatu adidas putih itu nampak bergerak kesana kemari sesuai perintah sang empunya. " Alfy mana sih?! Panas anjir!"

Saat ini Dara sedang menunggu Alfy yang kemarin sempat mengiriminya pesan singkat. Pesan yang menyuruh Dara pergi ke rooftop untuk menunggu cowok itu. Alfy bilang, dia ingin memberikan sesuatu untuk Dara.

Awalnya Dara pikir ia hanya dipermainkan oleh Alfy. Namun karna kemarin Alfy sempat menelpon dan berbicara langsung padanya, Dara jadi percaya dan berakhir menunggu seperti sekarang.

Pikiran negatif itu muncul walau sebisa mungkin Dara menghapusnya. Pikiran bahwa Alfy hanya mengerjainya, yang mengirim pesan itu bukan Alfy, dan masih banyak lainnya.

Tapi sebisa mungkin Dara menangkis pemikiran aneh tersebut. Jika memang yang mengirim pesan itu bukan Alfy, lalu siapa yang berbicara dengannya kemarin malam?

" Gue itung sampe 10, kalo tu bocah nggak muncul juga,gue turun!" Kesal Dara. Lantas cewek itu memejamkan matanya dan menarik napas dalam sebelum mulai berhitung.

" Satu... Dua... Tiga... Empat..." Dara berhenti menghitung sebentar. Merasakan ada yang bergerak di kakinya. Sontak cewek itu melihat kebawah dan mendapati seekor kecoak menjalar di betisnya.

Tentu saja Dara langsung berteriak heboh diatas rooftop. Ia menggerakkan kakinya tak tentu arah. Bahkan sesekali cewek itu melompat ketakutan. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, hanya butuh satu kali kedipan maka air mata itu akan tumpah.

Kecoak itu belum juga beranjak dari kaki Dara. Walau si empunya kaki sudah mengayunkan kakinya tidak tentu arah. " Anjing! Monyet sana! Kecoak kampret!!" Umpat Dara asal.

Masih dengan kaki yang bergerak, Dara berteriak histeris. Bahkan air mata tadi sudah meleleh di pipinya. Kecoak itu seperti sudah puas membuat Dara panik, lantas hewan menjijikkan itu terbang entah kemana. Dara tentu saja semakin panik saat kecoak itu memperlihatkan kedua sayapnya.

Dengan pikiran kacau, Dara berlari menuju pintu rooftop dan segera menuruni anak tangga. Saat mencapai anak tangga ketiga dari atas, Dara merasa ia menabrak bahu seseorang. Dara yang panik tentu saja tidak bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya. Ia merasa akan jatuh tapi lengan kokoh lebih dulu menahan pinggangnya.

Cukup lama Dara terdiam dengan posisi yang tidak bergerak sama sekali. Bahkan cewek itu sudah melupakan cara bernapas saat ini. " Hey.." Dara seperti mengenal suara itu.

Segera Dara berdiri dan mengusap pipinya yang basah air mata. " Lo kenapa?" Ucap suara itu lagi. " Makasih." Jawab Dara singkat kemudian berlalu meninggalkan orang itu.

Dirga tersenyum pias. Dengan cepat ia menarik pergelangan tangan Dara hingga cewek itu kembali menghadap padanya. " Apa sih?!" Dara menarik tangannya, tapi cekalan Dirga cukup membuat Dara kewalahan. " Lo nggak kangen gue?" Tanya Dirga kalem.

Dara tersenyum sinis sebelum menatap manik mata Dirga. " Kangen? Lo tanya gue kangen atau nggak? Ya pasti enggak lah!" Jawab Dara menarik pergelangan tangannya kasar. Lagi-lagi Dirga tersenyum pias, " Kenapa? Lo nggak kangen gue yang udah ngisi hari-hari lo tiga tahun lebih? Bahkan gue rasa, semua yang udah gue lakuin ke lo terlalu sulit buat dilupain."

Rasanya Dara ingin memukul wajah Dirga saat ini juga. Melampiaskan amarahnya selama ini. Tapi apa daya, Dara tidak mau mengambil resiko untuk melawan Dirga di tempat sepi seperti ini. Ia paham betul bagaimana sifat picik Dirga. Dara tidak mau mencari masalah lebih lanjut.

Menekan amarahnya, Dara memilih untuk melangkah pergi meninggalkan Dirga. Namun tentu saja Dirga tidak membiarkan Dara pergi begitu saja. Ia belum cukup puas membangkitkan amarah Dara dengan mengingatkan apa saja yang mereka lakukan dulu.

" Rani bener gak kangen sama Tama?"

Baiklah, kesabaran Dara sudah mencapai batasnya. Ia benar-benar tidak bisa menahan emosinya saat ini. Mendengar ucapan Dirga tentu saja membuat amarah Dara naik hingga ubun-ubun. Rasanya ia sudah mual mendengar panggilan menjijikkan itu lagi.

" Mau lo apasih anjing?! Gak jelas tau nggak!!" Ucap Dara emosi. Dirga kini tersenyum penuh kemenangan. Begitu puas melihat reaksi Dara akan panggilan itu.

Memang benar, Dara memang membencinya. Dalam hati ia merasa menyesal telah merusak gadis di depannya ini di masa lalu. Jika bisa, Dirga memilih untuk tidak mengenal Dara sama sekali.

Masih teringat jelas di kepalanya, bagaimana dengan jelas Dara menangis di hadapannya waktu itu. Menangis meminta kembali apa yang sudah Dirga ambil darinya. Sekarang, Dirga justru ingin mengakui kesalahannya. Ia ingin menebus kesalahan itu. Tapi melihat reaksi Dara seperti itu, timbul pikiran untuk mempermainkan Dara lagi saat ini.

" Kalem dong Rani.." Ucap Dirga yang terdengar menjijikkan di telinga Dara. Cewek itu hanya mendengus tidak peduli berusaha melepaskan tangannya yang kini kembali dicekal oleh Dirga. " Apa lagi sih Dirga? Jangan ganggu gue lagi please.."

" Anak cewek emang harus gitu. Lemah lembut, jangan ngomong kasar lagi ya Rani.." Dirga berucap sembari tangannya mengelus pelan rambut panjang Dara. Dara meringis, merasakan tangan kokoh itu membelai rambutnya. Ingin Dara menangis sejadi-jadinya saat ini. Ia terlalu takut pada sikap Dirga yang seperti ini.

" Dirga please.. berhenti ganggu gue.." Ucap Dara menitikkan air matanya. Bukan karna ia lemah, tapi trauma masa lalu membuat Dara takut berdekatan dengan Dirga seperti saat ini.

" Ranii.." Ucap Dirga lagi lagi mengelus rambut panjang Dara. " Nama gue Dara! Jangan deket-deket lagi bangsat! Gue gak punya urusan sama lo!" Dara tidak bisa membendung emosinya saat ini. Dengan kasar ia menghempaskan tangan Dirga yang semula berada di kepalanya.

Dirga mematung, amarahnya perlahan naik ke permukaan. Dengan wajah yang memerah, Dirga mencengkram tangan Dara dan menyudutkan cewek itu ke tembok di belakangnya. " Gue bilang, ngomong yang lembut Rani.." Dirga berbisik pelan.

Air mata Dara semakin berjatuhan. Kakinya terasa lemas saat ini. Ingin berteriak kencang tapi lidahnya terasa kelu. Hanya bibirnya yang gemetar dan pipi yang kini telah basah.

" Gue nggak mau kasar sama lo.. Jangan bikin gue emosi ya.." Jemari besar Dirga bergerak menghapus air mata Dara. Tentu saja Dara semakin ketakutan, bibirnya bertambah gemetar saat ini.

Perlahan jarak diantara keduanya semakin rapat. Dirga semakin memajukan wajahnya. Bahkan saat ini wajah mereka hanya terpaut jarak satu jengkal. Dara sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk. Ia tidak bisa memberontak apalgi melawan.

Dengan pasrah, Dara memejamkan matanya dan berhitung di dalam hati.

1..

2...

3....

4.....

Bugh!

Dengan sigap Dara membuka matanya. Melihat Dirga yang sudah bersandar di dinding dengan tangan yang memegang sudut bibirnya sendiri. Mata Dara bergerak melihat siapa yang menjadi pahlawan-nya saat ini. Di depan Dirga, Alfy tampak terengah engah. Berusaha menstabilkan emosinya.

Tanpa pikir panjang, Dara segera memeluk Alfy erat. Menangis di dada bidang Alfy. Tangan Alfy bergerak mengelus puncak kepala Dara. Berusaha menenangkan cewek itu. Padahal ia masih merasa bingung dengan keadaan saat ini.

Sedangkan Dirga kini memilih berjalan menjauh meninggalkan mereka berdua dengan langkah tertatih karna Alfy sempat menendang kakinya tadi.

Dara masih menangis sesegukan di pelukan Alfy. Tangan Alfy masih mengelus rambut Dara. Dengan perlahan, ia mengucapkan kalimat yang terdengar seperti mantra di telinga Dara. " Sstt.. udah, gue disini. Jangan nangis lagi ya?"

Lucha, 2018

Lucha || END ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang