Jeon Jungkook tak berhenti mengerjapkan matanya kala melihat pria di meja seberang. Ia seorang pemuda berparas rupawan dengan sepasang mata berwarna hazel, rambut flaxen ash gelap yang ditata acak. Poni tipisnya menyapu dahi kecilnya, menutupi hampir setengah kelopak matanya. Bibirnya beberapa kali membuka menutup, berkomat-kamit sembari membaca setumpuk kertas di atas meja, seperti tengah menghafalkan isinya.
Sempurna—satu kata yang menggambarkan rupa pemuda itu. Jungkook bahkan mencoba melihat ke sisi lain, barangkali menemukan kecacatan pada struktur mukanya. Namun rahang tegas simetris dan hidung mancung tingginya, dan bibir tebal berbentuk hati sewarna buah plum cerah, menghilangkan segala stereotip tidak sempurna yang seharusnya ada pada setiap manusia. Kulitnya yang mulus menawan tanpa noda melengkapi keindahan visualnya.
Kedua netra Jungkook mengedar turun, memperhatikan bahunya yang lebar. Leher jenjang pemuda itu dihiasi sebuah rantai perak dengan sebuah liontin kristal berwarna biru langit. Sebelah tangannya memegang sebuah pensil mekanik, sedangkan sebelah lain mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ritme konstan.
"Siapa?" Secara tanpa sadar Jungkook berucap, membuat partner duduknya menoleh padanya—keheranan.
"Ya?"
Jungkook sontak mengalihkan pandangan dari sosok indah itu ke pria di hadapannya, Park Jimin. Pria ini adalah seniornya yang sebelum ini ia mintai tolong menjadi model lukisan untuk karya barunya. Selama ini ia pikir Jimin sudah cukup sempurna dengan badan mungil berotot, kulit sewarna gading, rambut semi ikal yang kebetulan sedang diwarnainya pirang, dan wajah yang teramat cantik untuk ukuran seorang pria dewasa. Orang-orang mengatainya malaikat karena senyumnya yang menenangkan dan perangainya yang baik. Hanya saja setelah melihat pria di meja seberang, penilaian Jungkook tampaknya harus sedikit berubah. Dilihat dari sisi mana pun, pria itu terlalu tampan—indah lebih tepatnya. Tubuh kurus-tingginya juga benar-benar ideal.
"Apa yang kau lihat sampai tidak berkedip seperti itu?"
Jimin menoleh ke belakang, mengamati pria yang sejak tadi dipandangi Jungkook. Setelah membalik kembali badannya, seulas senyuman muncul dari belah bibir tebalnya.
"Ah, kau tertarik padanya?" tanya Jimin.
Jungkook menggunakan kesempatan itu untuk mengamati kembali sang pria yang ia labeli sempurna itu. Saat pria itu beranjak dari kursi, netranya otomatis terfokus pada pantat sintal yang membola sempurna di balik celana jeans ketat.
'Sentuh... remas... masuki...'
Pikiran kotornya, membuat celananya sendiri kian mengetat. Entah sejak kapan miliknya mulai terereksi hanya dari mengamati seseorang yang melakukan hal normal—terlebih lagi itu seorang pria. Sejujurnya, ini mengejutkan. Ia sangat kenal tubuhnya yang cukup kebal dari hal-hal berbau sensual, seolah-olah ia bisa mengendalikan hormonnya sendiri. Jimin yang berkali-kali menjadi model telanjang untuknya saja butuh banyak upaya untuk membangkitkan libidonya.
"Aku menginginkannya." ujar Jungkook singkat. Iris kelamnya tak berhenti mengikuti sosok yang kini mulai berjalan pergi meninggalkan kafetaria.
Jimin mendengus, tetapi tawa lirih muncul setelahnya.
"Jeon, lupakan. Dia bukan orang yang bisa kau dekati."
"Hah?" Jungkook menaikkan alisnya, sedikit bingung dengan pernyataan sang senior.
"Orang dengan visual semenarik dia sudah pasti mengundang banyak perhatian dari orang. Hanya saja anak itu sangat anti-sosial. Dia menolak semua undangan acara kumpul-kumpul, ajakan kencan, pernyataan cinta, atau sekedar kerja kelompok. Dia bahkan rela mengerjakan semua tugas kelompoknya sendirian hanya demi tidak pergi bersama dengan yang lain. Bisa kau lihat sendiri kan dia tak punya teman di sana?" tutur Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELF (KookV / KookTae)
FanfictionKim Taehyung, keindahanmu terlampau tak nyata. Tolong hentikan libidoku yang membuncah hanya dari memandang sosokmu yang rupawan. Jeon Jungkook, berhentilah mengejarku. Bagi kami makhluk abadi, cinta kalian adalah sesuatu yang teramat kami hindari...