Bima bukan tipikal pria hebat yang tak butuh pacaran dan hanya langsung bergerak untuk melamar. Dia bukan pria polos yang tak memiliki mantan dalam jajaran masa silamnya. Pria itu masih sama seperti pria kebanyakan. Ingin melakukan penjajakan terlebih dahulu, sebelum benar-benar melabuhkan hati dan hidupnya pada satu bidadari.
Setiap jenjang kehidupannya—SMA, kuliah, lantas bekerja, dia selalu meninggalkan—paling tidak—satu gadis dengan predikat mantan. Seluruhnya cantik. Tapi karena cantik itu relatif, maka anggap saja mereka semua sedap dipandang. Mereka punya kelebihan tersendiri, yang pada akhirnya berhasil mencuri perhatian Bima. Dan sebagai manusia biasa, mereka juga disemati nilai minus yang di kemudian hari sukses membuat Bima mundur.
Dan berlebihan tidak, jika Bima mengatakan bahwa jajaran mantan itu tak sama sekali sebanding dengan Arimbi? Bukan soal wajah. Tapi ini soal pesona yang secepat itu membuat Bima jatuh. Juga soal sakit yang dihasilkan tatkala Bima melangkah meninggalkannya. Berlebihan. Tapi percayalah, Bima belum pernah sedalam ini jatuh tersungkur di bawah kaki wanita.
"Ngapain kamu di sini?" sapa Bima sedikit ketus.
Wanita cantik, dengan rambut bergelombang itu tersenyum rikuh. "Aku baru denger dari Randi, kalau Tante sakit. Aku semalam niat mau ke rumah sakit, tapi katanya Tante sudah pulang. Jadilah aku ke sini."
"Kayaknya nggak perlu."
"Mas Bim...."
"Okelah, kalau kamu memaksa. Silahkan masuk, dan tanggung sendiri risikonya."
Setengah hati, Bima menyingkirkan tubuhnya dari pintu. Membiarkan gadis yang dulu sering ia ajak bertamu ke rumah ini kembali datang dengan keadaan yang berkebalikan. Dulu dia disambut sebagai kekasih si sulung. Sekarang, hanya mantan kekasih dengan sederet embel-embel buruk.
"Ck, Cahaya Kamandanu," sapa Mama dengan senyum malas. "Keluar dari rumah, sudah pamit sama Papamu belum, Nak?"
Ini satu risiko yang Bima maksud. Belum juga dipersilahkan duduk, gadis bernama Cahaya ini sudah diberondong sindiran oleh Mama Lani. Bima sudah memperingatkan sebelumnya sebab Bima tahu betul watak wanita yang sudah memberinya kehidupan. Dan kini, Cahaya jelas sedang menggali lubang kuburnya sendiri.
Tak ingin membuat anak mantan bossnya menangis di rumah ini, Bima menarikkan satu kursi untuk Cahaya. Meminta gadis itu untuk duduk, lalu berbisik pelan di telinga sang Mama untuk berhati-hati memperlakukan gadis itu. Memang sekarang, Bima bukan lagi karyawan yang bisa diancam-ancam oleh Cahaya. Tapi bibir tipis juga darah dingin milik Aryan Kamandanu, bisa saja dengan mudah membunuh namanya di pasaran jika berani membuat anak gadisnya sakit hati.
"Su—dah Tante. Tante sehat?"
Bukan bercerita soal keadaannya, Mama Lani malah bertanya hal lain. "Pamitnya mau ke mana? Mau pergi sama siapa?"
"Mau jenguk Tante, kok."
"Ah, kamu pasti bohong lagi." Mama Lani mencibir terang-terangan. Tahu pasti bahwa Aryan Kamandanu tak akan pernah memberikan izin jika itu berhubungan dengan keluarga Bima. "Kamu udah dewasa, Cahaya. Apa harus Tante kasih tahu, apa itu gunanya pamit? Apa harus Tante kasih tahu juga apa akibatnya kalau bohong saat pamit? Atau ...,"
"Ma?"
"... apa harus Tante ingetin kamu soal sebagaimana sakit hati Tante saat Papamu dengan semena-mena ngatain Bima sebagai pengincar harta keluarga kalian?"
"Ma, tolong." Bima memohon dengan pelan. Membuat Cahaya pulang, lalu mengadu pada sang Papa adalah keinginan terakhir Bima. "Cahaya datang dengan niat baik, terima pula dengan baik dong, Ma."
Sejenak suasana dikuasai sepi. Mama menghela napas, menelan lebih dalam amarah dan kecewa yang menyembul setelah selama ini dibiarkan mengendap. Bima tak lupa untuk menggerakkan ekor matanya pada gadis cantik yang kini sibuk menunduk. Nalurinya sebagai pria dilanda iba. Ada yang berbisik untuk setidaknya memberikan gadis itu dukungan melalui genggaman. Tapi jelas, itu sesuatu yang dilarang oleh benak terdalam Bima yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Memori
General FictionBima membuat kesalahan. Mencuri dengar obrolan orang lain, lantas jatuh hati pada kedipan pertama. Bima membuat lebih banyak kesalahan. Membawa gadis itu masuk lebih dalam, bukan alih-alih mengangkat kaki untuk menyelamatkan hati. Besar kemungkinan...