Bandung, 6 Juli 2018
Jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Kereta yang aku tumpangi baru sampai di Stasiun Bandung. Aku dibangunkan Kak Dena beberapa menit sebelum kereta berhenti. Rupanya aku tidur cukup nyenyak malam ini.
Aku beranjak dari tempatku dengan malas. Bergegas turun setelah dipersilakan, sambil membawa barang bawaan milikku. Disusul dengan Kak Dena yang mengikutiku. Memang dia yang berada di sebelah jendela sehingga dia baru bisa keluar setelah aku keluar.
Kami memutuskan shalat shubuh terlebih dahulu. Setelah selesai, ayah mencari taksi. Langsung saja kita naik setelah ditemukan, dan taksi segera melaju.
Aku menikmati perjalanan dari stasiun ke rumah tante, tempat kami menginap selama di Bandung. Menikmati lenggangnya kota Bandung yang masih pagi. Belum banyak orang yang beraktivitas. Aku banyak melihat pickup pembawa sayur yang mungkin akan dibawa ke pasar. Juga penyapu kota yang jasanya sungguh luar biasa, walau masih pagi mereka sudah bekerja agar ketika banyak orang berlalu lalang jalanan sudah bersih.
Tak lama kemudian, taksi sampai di halaman rumah tante. Rumahnya asri, banyak pohon di depan rumah. Aku menyukai konsep halaman rumahnya. Terakhir kali aku ke sini ketika aku masih kecil sehingga aku belum terlalu menikmatinya. Karena dulu, yang aku tahu hanya bermain dengan Kak Dena dan Rani, sepupuku.
"Kak Elinn!" Elva, tanteku langsung keluar rumah menghampiri kami dan memeluk ibuku, sedangkan aku masih sibuk membantu Kak Dena menurunkan barang bawaan dari taksi. Sedangkan ayah sudah bercakap-cakap dengan Om Bobi, suami tante Elva.
"Halo sayang, apa kabar?" Sapa tante Elva ketika aku menyalaminya.
"Alhamdulillah baik Tante. Ngomong-ngomong Rani di mana, Tante?" Aku tersenyum menjawab pertanyaan tante Elva sambil celingak-celinguk mencari sepupuku yang paling akrab.
"Dia masih tidur. Padahal hari ini dia sekolah. Habis shalat tadi langsung balik kamar, eh taunya tidur. Rani emang suka malas-malasan kalau pagi. Kalau malam suka begadang tapi susah dibangunin tidur," tante Elva bermaksud bercanda dengan sedikit tawa yang diikuti tawa olehku, dilanjutkan aku menyalimi Om Bobi.
"Yaudah, masuk yuk," ajaknya.
🌸🌸🌸
Aku bersiap-siap setelah selesai mandi. Aku akan melihat kakakku turnamen bersama orang tuaku. Tante Elva dan Om Bobi tidak ikut karena tidak mungkin meninggalkan pekerjaan mereka, juga dengan Rani yang sedang sekolah tidak memungkinkan untuk ikut.
Kuhampiri Kak Dena yang sedang menyiapkan perlengkapannya. Aku hendak protes mengapa dia lama sekali menyiapkannya, tetapi kutahan untuk diam sambil mengamatinya. Kak Dena jika dilihat-lihat dengan baju yang ia kenakan, tampak lebih ganteng dari biasanya, hehe. Kupalingkan wajahku, aku tidak mungkin akan jatuh pada pesonanya.
"Ayo berangkat, aku udah ditunggu temen-temen," ajaknya dan aku mengangguk saja.
Kami berempat berangkat menggunakan mobil milik Om Bobi juga diantar oleh sopirnya, tidak perlu memesan taksi. Entah kenapa aku sudah tidak sabar sampai ke lokasi. Mungkin karena ini adalah kali pertamaku melihat Kak Dena turnamen. Sebelumnya aku memang malas ikut karena biasanya turnamen diadakan tidak jauh dari Kota Jogja.
Akhirnya sampai setelah perjalanan yang tidak terlalu jauh. Rupanya kami datang jauh sebelum waktu turnamen. Aku memilih bermain ponselku di dalam mobil. Chatting bersama Alisha, Karina, dan Vanda yang sedang berada di kantin karena kebetulan sedang jam kosong. Mereka mengajakku untuk video call yang aku setujui.
"Haloo Dellll!" Sapa mereka antusias, aku membalasnya tak kalah semangat.
"Lo ga kangen kita?"
"Lebay deh lo Lis, baru juga sehari gue di sini," aku terkekeh.
"Gue kangen lo sayangkuuu,"
"Ih lo apaan sih, Rin. Gue emang ngangenin, Kan?" Perkataanku ini dibalas dengan ekspresi pura-pura muntah ala mereka bertiga.
Turnamen sudah mau dimulai. Memilih mengakhiri percakapan dengan para sahabatku dan langsung keluar dari mobil, memasuki Gedung Olahraga (GOR)-yang menjadi tempat turnamen sepatu roda yang diikuti Kak Dena. Aku memilih duduk di tribun pojok karena tidak terlalu panas dan cukup sepi. Orang tuaku masih di luar menyemangati Kak Dena, tidak ikut bersamaku, sehingga aku hanya duduk sendirian. Terpaku pada lapangan dengan tatapan kosong.
Lapangan sudah ramai. Turnamen benar-benar sudah dimulai. Tampak kakakku bersemangat. Berlarian dengan sepatu rodanya. Tampak sekali jika dia gesit. Kulihat sosok berbeda dari Kak Dena ketika melihatnya sedang berusaha. Berusaha secepat mungkin sampai ke finish agar jadi yang terbaik. Memang tak terlalu jelas, tapi kutahu jika semangatnya membara. Tidak seperti ketika di rumah yang cukup lamban dan suka bermalas-malasan dalam melakukan aktifitas.
"Kakak siputku bisa gesit juga," batinku lalu tersenyum simpul.
Perjuangan kakakku tak sia-sia. Dia berhasil jadi yang pertama sampai di garis finish. Semoga saja pada turnamen ini dia mendapat 3 medali emas dengan 2 lomba lanjutan yang akan berturut-turut dilaksanakan keesokan harinya. Aku ikut tersenyum senang sekaligus bangga kepada Kak Dena.
🌸🌸🌸
Aku merasa ada seseorang berjalan ke arahku. Benar saja, aku menoleh ke samping kanan dan kulihat seorang cowok yang sepertinya habis bertanding sedang berjalan ke arahku. Belum dekat jarak kita, dia sudah duduk. Melihat ke arah lapangan pertandingan. Sendirian. Sambil membawa sebotol minum dan ponselnya.
Ganteng. Itu kata pertama yang kubatin setelah melihat cowok itu. Jarak duduk kita memang tak bisa dibilang dekat, tapi juga tidak jauh. Meski begitu, tidak ada penghalang antara tempat aku dan dia duduk. Itu sudah membuatku merasa senang, sehingga aku bisa leluasa melihatnya.
Kulihatnya lagi. Dia sedang meminum air dari botolnya. Tatapannya masih tertuju dengan lapangan pertandingan. Sedangkan aku, tatapku masih belum berhenti tertuju kepadanya. Ahh... rupanya aku sudah jatuh pada pesonanya.
Telepon berdering. Kak Dena meneleponku dan aku segera mengangkatnya.
"Halo, apa Kak?" tanyaku.
"Kita udah di parkiran. Aku mau ada acara dengan teman satu tim. Cepetan ke sini," aku terdiam. Kulihat cowok itu juga sedang mengangkat telepon.
"Iya, bentar, jangan ditinggal," kataku dan telepon sudah diputus oleh Kak Dena.
Belum juga aku beranjak, cowok itu sudah beranjak terlebih dahulu. Dia berjalan turun dari tribun dan keluar dari GOR. Aku berjalan mengikutinya karena arah jalannya sama sepertiku, tempat parkir mobil.
Sebenarnya, aku sempat sedih ketika disuruh kakakku ke parkir mobil. Sedih karena waktu aku melihatnya hanya sebentar. Aku juga tidak punya nyali cukup untuk melewatinya—jalan keluar harus melewati tempat duduknya karena tidak ada jalan lain.
Tapi aku lega, setelah mengetahui dia beranjak dan berjalan ke arah yang sama dengan yang kutuju.
Memang saat ini dia berjalan di depanku. Tapi tak apa, aku yakin suatu saat dia akan menungguku dan berjalan beriringan. Khayalanku sudah terlampau jauh. Aku benar-benar sudah jatuh pada pesonanya. Aku yakin, aku sudah menyukai cowok itu. Sosok yang baru aku temui.
Mungkin ini sebagai balasan aku tidak sekolah cukup lama karena mengantar kakakku. Terimakasih, turnamen ini sudah mempertemukanku dengan dirinya.
6 Juli 2018, pada pertemuan pertama di Bandung, dan aku sudah menyukainya.
🌸🌸🌸
Tunggu part selanjutnya yaa:))
Krisannya yukk
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOICE
Teen FictionKamu, Tiba-tiba datang lalu hinggap di hatiku tanpa izin dariku. Dan kamu, Sosok lain yang tiba-tiba ikut hinggap di hatiku. Bagaimana cara aku memilih salah satu dari kalian? Apakah perlu aku berpindah haluan ke lain hati? #515 teenfiction (2 Okto...