14. Terciduk

41 3 0
                                    

Masih pukul setengah tiga sore. Gue udah biasa pulang jam segini bahkan lebih siang pun sering. Entah hanya sekolah gue doang atau mungkin sekolah lain pun sama kalau anak IPS pulangnya selalu lebih awal. Paling guru jam mapel terakhir hanya ngasih tugas doang. Nah, kalau kelas gue ngerjain tugasnya nanti—pagi sebelum tugasnya diperiksa—yang penting bisa pulang cepet. Gerbang sekolah udah dibuka waktu salat dzuhur. Jadi pulang sebelum jamnya pun masih tetep bisa keluar. Namun, kadang gerbang dibuka jam segitu sering dimanfaatkan anak nakal. Waktu ditanya satpam bilangnya udah gak ada guru padahal mau kabur.

Hari ini gue berniat buat ngancem Revi. Gue bakal tunjukin video kenakalan dia dan memberi penawaran. Kalau Revi mau kerja sama rahasia dia aman. Kalau nggak gue mau nyebar rahasia dia. Emang, sih gue terkesan jahat banget, tapi tenang aja itu hanya ancaman kok. Gue gak sejahat itu buat merusak reputasi orang lain.

Gue sampai di depan kelas Revi. Terlihat dari kaca jendela kelas 11 IPA 1 sedang ulangan matematika. Revi duduk paling depan pojok dekat meja guru. Gue baru tau kalau guru matematikanya Pakum juga. Sama seperti kelas gue. Gue tau pakum ngajar juga di kelas IPA. Bahkan banyak gosip yang beredar Pakum itu gak galak kalau ke anak IPA. Hanya ke anak IPS aja yang galaknya kebangetan. Kalau itu gosip bener itu sih namanya deskriminasi jurusan. Emang sih dari dulu sering banget yang berpikiran anak IPA lebih baik dari anak IPS dan sebagainya. Akan tetapi, gak selalu juga seperti itu. Entahlah IPA dan IPS udah seperti konflik ringan gak berkesudahan.

Gue terus lihat jam tangan. Sekarang masih pukul tiga kurang lima menit. Pasti lama karena lagi ulangan. Pakum kalau ulangan harian gak pernah membagikan soal dalam bentuk kertas. Langsung tulis aja di papan tulis. Soal yang gue lihat di papan tulis sih hanya lima, tapi gue yakin itu soal bikin pusing. Caranya juga pasti ngabisin kertas.

Gue hanya bisa tercengang waktu lihat Revi yang mengumpulkan jawabannya pertama kali. Ini baru tiga puluh menit, tapi bisa selesai. Gak heran sih Revi kan cerdas gampang aja kalau hanya lima soal. Revi tergesa-gesa memasukkan peralatan sekolah ke dalam tasnya. Lalu, berlari keluar kelas.

“Revi!” panggil gue tapi, gak direspon. Menoleh pun nggak. Revi terus berlari.

“Alvin, ngapain kamu berisik di depan kelas ini?” Pakum yang seperti biasa menggunakan peci putih bertanya galak.

“Itu ... Pak ... saya ... ada urusan sama Revi,” jawab gue nyengir.

“Ya udah kamu kejar aja sana. Gak usah teriak.” Pakum berbalik dan langsung masuu kelas.

Untung gak kena masalah lagi sama Pakum. Gue langsung lari dan mengambil mobil di tempat parkir seberang sekolah. Gue lihat Revi masih menunggu di halte sekolah. Gue jalanin mobil sampai di depan warung tepat seberang halte. Memperhatikan Revi dari sini.

Beberapa saat kemudian Revi dijemput seseorang yang menaiki motor sport berwarna biru dan langsung pergi entah ke mana. Gue ikutin mereka dari belakang. Jaraknya beberapa kendaraan dari motor itu. Gue jalan ini, mereka pasti mau ke rumah yang waktu itu.

Dugaan gue bener mereka masuk ke rumah itu. Gue jalanin mobil menuju warung. Setelah sampai gue parkir di depannya. Lalu, jalan kaki menuju rumah itu. Gak lupa gue kunci mobilnya dan membawanya di tangan kanan gue.

Gue sampai rumah itu. Diperhatikan dari kaca jendela pintu utama ada sekitar delapan orang duduk di karpet lantai. Namun, tidak ada Revi di sana. Gue langsung beralih ke jendela kamar depan. Ada Anara dan Revi di sana duduk di kasur dekat anak kecil perempuan—sekitar usia tujuh tahun—terbaring. Selimut membungkus tubuhnya yang kecil, wajah tirusnya pucat, dan di keningnya di taruh kain untuk mengompres. Sepertinya anak itu sedang sakit.

“Rev, ini Nina gimana mau di bawa ke klinik, rumah sakit atau panggil dokter?” tanya Anara panik.

“Lo jangan dulu panik elah. Mungkin kita bawa ke rumah sakit, Ra. Udah seminggu demamnya naik turun.” Revi mengambil kain dikeningnya, mencelupkan ke baskom, memerasnya, dan menaruhnya kembali.

“Terus kita mau panggil ambulan, Dy? Gue gak bawa mobil.” Anara masih tetap panik mondar-mandir dan mengibas-ngibaskan tangan.

Gue berhenti nguping kegiatan mereka. Percuma gue stalking tentang Revi. Tetep aja film pendek ini gak boleh kalau video diem-diem. Gue berbalik beranjak dari sana.

“Lo siapa? Ngapain di sini?” tanya cowok itu dengan tatapan tajam dan suara yang tegas.

Gue terciduk! Gimana ini. Mana orang ini serem banget. Bukan karena dia hantu. Badannya tinggi kekar, kulitnya kecoklatan, dan mata hitamnya yang tatapannya tajam. Gue gak tau dia siapa yang jelas pasti salah satu temen Revi. Gila! Temen-temen Revi sangar semua.

Gue mencoba menjelaskan, tapi malah terbata-bata menjelaskan. “Anu ... itu ... nganu ... eum ... a—“

“Ah, udahlah lo pasti suruhan bang Codet, kan? Ngaku lo?” tangannya meraih kerah kemeja batik marun sekolah yang gue pake. Ini orang berniat mencekik gue. Awas aja kalau gue mati dia orang pertama yang gue gentayangin.

“Bu ... kan, Bang. Gue cuman ... mau ketemu Revi,” sahut gue sekuat tenaga mencoba menjelaskan tujuan gue. Jawaban ini membuat gue semakin dicekik.

“Gak ada Revi di sini. Lo jangan bohongin gue,” tukasnya berteriak. Lalu, menoleh ke belakang takut ada yang melihat.

Mendengar keributan di luar. Teman-teman Revi yang di ruang tengah langsung keluar. Rion—yang gue rasa ketua geng Revi cs—langsung melepas tangan cowok ini dari leher gue.

“Lo!” tunjuk Rion ke arah gue. “Masuk!”

Gue langsung masuk ke rumah itu. Bersama dengan teman Revi yang lain. Gue ada niatan kabur, tapi masalahnya dorongan dari cowok yang udah ciduk gue memaksa buat ikut masuk. Dan setelah ini gue yakin gak bakal baik-baik aja.

----------📷----------

Journalist #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang