A/N : Aku sempat-sempatin nulis disela ngebuat maket soalnya tiba-tiba mood nulis muncul,klo gak dikeluarin bakal jadi benalu kaya kata si oma wkwkwk. Btw aku nggaktau deh nulis apaan dah nikmatin aja tiga chapter ke depan bakal tamat yuhuuu jangan lupa klo ada kejadian yg mungkin mirip boleh dishare dicomment ^^ dan klo boleh follow ig aku doong yah yah
***
Setelah semua tamu undangan pulang, Bram, ayah dan opanya kemudian masuk kembali ke rumah. Bram mencari-cari dimana istrinya berada. Dan ketika dia membuka pintu kamar, Bram melihat Nabila sedang duduk menghadap jendela yang menampilkan pemandangan halaman belakang rumah. Bram mendekat kemudian memijit bahu Nabila yang terlihat ringkih sekali sampai wanita itu tersentak.
"Capek ya?" tanya Bram lembut. Nabila menatap bola mata suaminya lekat. Sorot mata penuh luka sangat terpancar disana. Bram pikir mungkin malam ini Nabila harus teringat lagi oleh bayinya. Sudah empat puluh hari lalu bayi itu dilahirkan dan disemayamkan. Hari yang membahagiakan sekaligus menyedihkan.
"Istirahat yuk?"
"Aku mau pulang."
Bram jelas kaget. Hari ini Nabila lebih banyak diam. Dan ketika berbicara, dia malah mengajak pulang. Padahal kan rencananya mereka berdua akan menginap disini dirumah orang tua Bram.
"Kok pulang? Kan kita nginep disini--"
"Aku mau pulang, mas. Kalau kamu nggak pulang, aku bakal pulang sendiri." jawab Nabila dengan nada tegas yang jelas membuat Bram tercengang. Ada apa? Kenapa Nabila sampai menegas seperti ini? Tidak menunggu jawaban suaminya, Nabila segera mengemasi barang bawaannya yang membuat Bram kebingungan.
"Tapi kenapa, Nab?"
"Aku cuman mau menyendiri. Disini terlalu ramai dan aku nggak tenang." jawab Nabila hampir menangis karena teringat ucapan pahit yang dilontarkan omanya. Dia tidak mau mengadukan pada Bram karena hanya akan membuat masalah itu menjadi rumit. Bagaimanapun juga, oma adalah keluarga suaminya.
Mengetahui Nabila menarik diri, Bram menghela nafas putus asa. Istrinya memang sedang tidak menjadi dirinya sendiri dan semakin menghindar dari banyak orang. Interaksinya, pergaulannya, Nabila seperti masokis yang ingin kalut dalam kesedihannya sendiri tanpa mau membagi meskipun dia sudah menikah. Bram ingin menariknya keluar dari pusaran kesedihan itu tapi kata ibunya tunggu. Tunggu sampai wanita itu yang membuka diri karena seorang ibu yang kehilangan anaknya tiba-tiba jelas bukan perkara mudah. Yang dilakukan Bram hanya harus menurutinya, menghiburnya apapun yang terjadi dan tak akan pernah meninggalkan.
***
Tentu saja nyonya Miranda curiga dan kecewa mengapa menantunya minta cepat-cepat pulang daripada menginap. Tapi dengan segala alasan yang dikeluarkan Bram, akhirnya beliau melepaskan keduanya pulang. Nabila dan Bram sampai di apartemen pukul sepuluh malam. Tanpa menyalakan lampu, Nabila langsung masuk ke kamar dan tidur. Bram hanya menatapnya datar lalu mengambil alih untuk membereskan tas-tas mereka.
Setelah beberes sedikit, dia juga menyusul istrinya untuk tidur. Baru saja merebah, ranjang nampak bergetar karena isakan Nabila. Bahu wanita itu bergetar dan isakan kecil lolos dari bibirnya. Bram tersentak dan segera membalikkan tubuh Nabila yang semula memunggunginya. Benar saja. Wajah cantik itu sudah bersimbah air mata.
"Nab, kamu kenapa?" Nabila semakin menangis meraung membuat Bram harus memeluknya. Sampai kaosnya basah oleh air mata itu. Nabila tidak menyahut semua pertanyaan yang dilontarkan Bram. Dia sibuk dengan tangisannya sendiri. Seberapun mengeluarkan bermili air mata, tidka bisa menghilangkan rasa sakit dihatinya.
"Aku disini, Nab. Aku disini buat kamu."
Nabila semakin perih mendengar suara serak suaminya yang bersedia menerimanya dalam keadaan seperti ini. Berbanding terbalik dengan ucapan sang oma.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
RomanceSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...