#1

880 90 12
                                    

Airmata tak henti-hentinya mengalir membasahi mata serta pipinya, airmata kesedihan yang teramat pilu. Bukan ini yang dia inginkan dalam wish-nya, dia tak pernah meminta untuk kehilangannya dihari kelahirannya.

Tak pernah terbesit dibenaknya bahwa dihari yang seharusnya penuh dengan suka cita kini berisi kedukaan. Tak sedikitpun terbesit barang setitik .

Raya membelai wajah pucat itu untuk terakhir kali . Wajah tampannya memucat meski tak mengurangi ketampanannya. Hidung mancung yang sering menggelitik tengkuknya kini tak lagi mengeluarkan nafas. Mata brown yang acap kali memandangnya kini terpejam.

Tuhan mengambilnya, mengambil umatnya. Mengambil kepunyaannya. Kepunyaan Raya.

Hitto.

Laki-laki yang sudah berada disisi Tuhan adalah Hitto. Kekasih Raya sejak tiga tahun empat bulan lalu.

Laki-laki yang mengisi kekosongan hidup Raya, mewarnai hari-hari Raya, serta penyeimbang Raya.

Hitto.

Kekasih tiga tahun empat bulan-nya adalah segalanya. Pemilik hatinya. Dirinya. Cintanya. Dunianya. Pusatnya. Tujuannya. Titik kehidupannya.

Hitto.

Kekasih tiga tahun empat bulan-nya yang sampai kapanpun akan menjadi cinta pertamanya. Ciuman pertamanya. Dan luka pertamanya.

Hitto, luka pertamanya.

Luka yang tertoreh karena Hitto memilih berhenti berjuang untuk hidup dan pergi kesisi Tuhan untuk selamanya.

Hitto.

Sampai kapanpun akan menjadi kenangan terindah bagi Raya. Tak akan pernah tergantikan.

"HITTO !!!!"

Peluh membasahi dahi hingga pelipis Raya. Selalu mimpi yang sama. Mimpi tentang hadirnya Hitto. Mimpi yang seharusnya indah karena dia dapat bertemu dengan kekasihnya itu.

Tapi tidak, mimpi itu buruk. Didalam mimpi Hitto tidak menghampirinya. Menyapanya pun tidak.

Hitto menjauh dengan senyum yang sangat menawan dan damai, senyum kedamaian yang belum pernah dilihat Raya didunia nyata.

Dimimpinya, Hitto hanya diam sembari sedikit demi sedikit menjauhi Raya. Seolah kakinya dirantai dengan besi berton-ton beratnya, Raya tak bisa menggapai Hitto-nya. Raya hanya diam dengan airmata yang sudah mengalir deras.

"Jangan ! Jangan pergi Hitto. Berhenti disitu. Aku akan kesana"

Hitto berhenti lalu memandang Raya. Senyumnya tak luntur sedikitpun.

"Jangan mengejarku Ray. Dunia kita berbeda"

"Tidak"

"Lanjutkan hidupmu. Carilah penggantiku. Kamu akan baik-baik saja tanpa aku"

"Aku kacau tanpa kamu Hitto. Aku tidak baik-baik saja. Aku... aku tidak bisa" tangisan Raya semakin pilu.

"Kamu pasti bisa sayang. Berjanjilah untuk hidup lebih baik. Jangan menyusahkan tante Zie dan Uncle Jo. Lanjutkan hidupmu. Aku tak akan pergi jauh. Aku akan selalu ada disekelilingmu meski kau tak melihatku"

"Hitto....."

"Kembalilah. Mereka sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Sadar dan katakan kamu baik-baik saja tanpa aku. Aku mencintaimu Raya"

Kalimat terakhir yang merupakan pernyataan dari Hitto merupakan akhir pertemuannya dengan Hitto.

Sekarang, Raya benar-benar ditinggalkan Hitto. Ditengah-tengah derai airmata yang tak bisa dibendung sama sekali kabut putih yang teramat pekat mengelilinginya hingga kesadarannya hilang.

***

Raya mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk dikornea matanya. Pandangannya mengelilingi ruangan serba warna biru itu.

Tanpa bertanya dan dijawab, dia tau jika dirinya berada dikamarnya. Sendirian.

Raya mulai terisak. Dia tidak hanya sendirian dikamarnya tapi juga dihari-hari selanjutnya.

Dia harus sadar. Dia harus mengikhlaskan Hitto-nya.

Toh, dia sedang bahagia bersama Tuhannya. Hitto tak akan sendirian.

Dan Raya juga tak akan sendirian. Karena Hitto bilang dia akan selalu berada disekeliling Raya.

Raya menghapus airmatanya dengan kasar, menghembuskan nafas dengan kasar, lalu bergumam "Aku akan baik-baik saja tanpa kamu Hitto. Seperti yang kamu mau. Aku akan baik-baik saja."

Raya menyingkap selimut lalu turun dari ranjang. Membuka pintu bercat biru, menuruni tangga menuju ruang keluarga yang berisi beberapa kerabat Raya.

"Raya, kamu sudah sadar ? Syukurlah"

Tubuh Raya diterjang pelukan kekhawatiran oleh Zie. Bundanya Raya.

Bunda Zie menggiring Raya duduk disofa bersebelahan dengan Jo -ayahnya- dan bundanya.

"Ada yang sakit sayang"

Ada bun. Hati Raya sakit.

Raya menggeleng lalu menggenggam tangan bundanya dengan erat. Dia butuh penguat.

"Maafkan Hitto karena berhenti berjuang ya sayang."

Raya memandang wanita paruh baya yang duduk dihadapannya, "Raya baik-baik saja Tante" ucapnya lirih.

Raya melepaskan diri dan genggaman dari bundanya. Berjalan kearah wanita paruh baya itu.

Raya berjongkok didepan wanita itu sembari menggenggam kedua tangan yang mulai keriput.

"Raya minta maaf tante. Gara-gara Raya, Hitto pergi. Gara-gara Raya, Hitto meninggalkan kita semua. Maaf ya tan"

"Takdir yang Maha Kuasa siapa yang tau Ray, sudah jalannya begini. Kita ikhlaskan saja ya. Hitto pasti sedih kalau kita sedih."

Raya mengangguk dengan airmata yang lolos dari sudut matanya.

"Tante masih bolehkan nganggep kamu anak tante? Meskipun kamu gak sama Hitto lagi"

"Sampai kapanpun Raya akan jadi anak perempuan tante Avi. Dengan atau tanpa Hitto disini"

"Kami semua menyayangi kamu sayang. Bahagia lah meski Hitto jauh dari kita." Ucap tante Avi.

"Hitto gak akan jauh dari kita, dia akan selalu dihati kita. Disekeliling kita meski kita gak lihat dia"



******
Semoga berkenan.
Kalau gak ada yang berkenan, aku bakal unpublis cerita ini. Biarlah membusuk didraft aku.

Makasih my'lov

Publis 11 April 2018

Different Love -Hitto-Raya-Mondy-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang