Pupus

46 0 0
                                    


Apa yang akan diharapkan lagi jika semua yang menjadi motivasi telah pupus dalam waktu yang bersamaan? Impian yang dirangkai jauh sebelumnya telah menguap hanya karna satu kata, bodoh.

Liria berjalan gontai di sisi lorong remang yang sepi menuju rumahnya. Pikirannya berkecamuk, entah harus bagaimana lagi ia akan hidup ke depannya. Penyesalan tidak akan menuntaskan masalah. Lalu ia harus apa?

Rasa melilit masih ia rasakan di perutnya. Apa yang barusan telah ia lakuka? Kenapa ia bisa menjadi makhluk sekejam ini melebihi monster? Liria tak mampu lagi menahan isak tangis. Sungguh ini bukan dirinya yang sesungguhnya. Di mana ia yang sesungguhnya? Bahkan ia lebih menjijikan dari sampah.

Liria mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Semua ini gara-gara dia. Bodohnya Liria yang percaya dengan janji manis laki-laki brengsek bernama Vian. Oh Tuhan! Laria benar-benar merasa bodoh.

Masih teringat jelas memori tentang laki-laki bernama Vian. Bagaimana pertama ia mengenal seorang pria. Bisa dikatakan Vian adalah cinta pertama bagi Liria. Dia seperti pangeran yang datang mewarnai hari harinya yang kelabu, tanpa cahaya, hanya kegelapan dan kesedihan.
Liria masih ingat, ketika ia duduk di tribun lapangan basket. Hatinya sedang kalut. Malam tadi, ayah menampar bunda lagi yang kesekian kalinya. Selalu bunda yang menimpa itu hingga penyakit mulai menjalar di setiap inchi tubuhnya.  Oh Tuhan, apa salahnya sehingga ia menimpa kesedihan yang amat mendalam seperti ini?

Sebuah bola basket menggelinding mengenai ujung sepatunya. Liria mengikuti arah bola basket tersebut dan meraihnya. Seorang siswa memakai kaos olahraga dengan keringat yang membasahi tubuh dan wajahnya. Mempesona. Begitulah kesan pertama yang Liria pikirkan ketika memandang wajah tampan siswa di depannya.

“Maaf, bisa kau kembalikan bola itu?” laki-laki itu mengulurkan tangannya untuk meminta bola basket tersebut yang sudah ada pada tangan Liria.
Belum ada jawaban. Sepertinya Liria masih terperangkap dalam pesona ketampanan siswa yang ada di depannya.

Vian, Vian Alanda. Begitulan namanya. Merupakan cowok paling tampan  seantero sekolah, tapi disayangkan karena perilakunya yang urakan dan jauh dari kata baik untuk cowok tersebut. Tapi mana Liria tahu. Dia hanya cewek pendiam, kutu buku, yang jauh dengan gosip, tentu saja.
Vian mengibaskan tangannya di depan wajah Liria yang masih mematung.

Liria sadar.

“Ah, maaf. ini.” Dengan segera Liria menyodorkan bola basket di tangannya.

Vian menerima bola tersebut. Tanpa diduga cowok ganteng itu mengulurkan tangan kanannya ke arah Liria.

Merasa uluran tangannya belum direspon dan melihat kerutan di dahi Liria, cowok berwajah tampan itu seakan mengerti kebingungan yang dipikirkannya, Vian langsung angkat bicara,

“Gue Vian. Lo?”

Liria baru tersadar. “Ah ya. Liria.” Liria menerima uluran tangannya.

Di situlah awal mula pertemuan mereka. Pertemuan yang tak disangka oleh Liria dan ini sangat berdampak bagi dirinya. Bagaimana tidak, setiap hari entah dengan sengaja atau tidak Liria selalu berpapasan dengan Vian. Apa ini takdir? Dan itu membuat perut Liria tergelitik, seperti ada kupu-kupu yang menari di di dalamnya.

Semakin hari, hubungan mereka semakin dekat hingga memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan dengan status pacaran. Hari-hari Liria menjadi berwarna, seakan tidak ada lagi awan pekat yang selalu berkelayut di pikirannya dan air mata yang selalu hadir ketika ia merindukan ayah atau memikirkan kesehatan bundanya. Vian selalu bersikap manis dan memberi motivasi bagi Liria. Vian seperti sebuah euforia yang menawarkan sejuta kebahagiaan bagi Liria pada saat itu.
Hingga suatu hari ketika pulang sekolah, Vian mengajak Liria ke puncak. Awalnya Liria enggan dengan alasan bundanya. Bukan Vian namanya jika tidak menaklukan hati cewek. Entah rayuan macam apa hingga Liria pun mengiyakan ajakan Vian.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang