17. Akhirnya diterima

38 6 0
                                    

Rencana buat ngancem Revi kemaren gagal total. Sampai saat ini gue belum nyerah. Nanti gue akan mengajak Revi lagi untuk negosiasi.

Gue berjalan di koridor. Sekarang masih pukul setengah tujuh pagi. Sekolah udah mulai ramai. Sesekali menyapa atau disapa teman yang gue kenal. Gue gak pernah muluk-muluk kalau soal berteman. Sama siapa aja gabung. Meskipun lebih dekat dengan Fikri, Tito, atau Angga. Akan tetapi, entahlah gue ngerasa akhir-akhir ini sama Angga agak jauh. Okay, itu hanya perasaan gue.

"Alvin!" panggil seseorang di belakang. Gue berbalik dan ternyata Anggun yang sekarang berlari ke sini. "Gue bareng ke kelas lo, ya. Gue ada urusan sama Liam."

"Oh, ok deh. Ayo!" ajak gue, lalu berjalan berdampingan dengan Anggun.

"Vin, gue kemaren kena semprot Paketu Galak, tau gak!" Anggun menggerutu kesal mencoba membuka percakapan.

"Kena semprot apaan dah? Air?" gue tertawa mencoba bergurau.

"Ih, bukan itu Vin. Ini berkaitan sama rencana lo nguntit Revi itu lho. Masa dia ikut ngambek juga ke gue. Pas gue mau pulang kemaren marah-marah di tengah lapang. Mana ada anak-anak basket pula lagi latihan. Gak tau sikon banget deh ngambeknya tuh." Anggun semakin memperjelas kekesalannya untuk Paketu Galak--begitu panggilan anak GJC untuk Zaky.

"Lo kan tau emang gitu sikapnya. Lo baru sekali dimarahin. Lha gue? Udah sering banget."

"Ngeselin banget emang. Oh iya Vin, gimana film pendek kita? Kan gak boleh diem-diem dokumentasinya. Apa lo udah bujuk Revi lagi?" tanyanya.

"Belum. Mungkin nanti di jam istirahat. Gue yakin kali ini Revi gak akan nolak."

"Semoga aja deh, Vin. Nanti gue bantu ya. Gak enak gue dari kemaren gak bantuin lo. Ya, meski si Paketu gak ngebolehin cara lo. Alhasil pekerjaan lo kemaren-kemaren percuma." Anggun mencoba menyemangati.

"Gak ada pekerjaan gue yang percuma. Cuman belum berguna di waktu yang tepat. Intinya lo gak usah khawatir soal film pendek ini. Kita bakal beresin tepat waktu."

"Gue percaya kok. Lo itu selalu gak tenang kalau tugas GJC belom beres. Ah itu Liam ada di taman. Gue ke sana ya. Bye, Vin." Anggun melambaikan tangan dan langsung menghampiri temen gue, Liam.

Gue melihat Liam di taman. Kacamata bertengger di hidung mancungnya. Liam sedang duduk di taman membaca buku sosiologi sambil menikmati udara pagi. Tuh, kan gak selalu anak IPS itu malas. Salah satunya Liam. Dia juara satu seangkatan IPS dari pertama masuk. Tahu juara duanya? Udah gak usah tahu, yang jelas bukan gue.

-----Journalist-----

Gue baru inget belum nyari buku di perpustakaan. Gue harus cari novel fiksi buat tugas resensi. Gue emang suka baca buku, tapi jarang banget ke perpustakaan sekolah.

Masuk ke perpustakaan gue mengisi daftar kunjungan. Perpustakaan sekolah ini luas. Rak-rak buku berjajar di dalamnya. Di sudut belakang kiri dan kanan perpustakaan ada meja dengan empat kursi. Ada juga satu meja panjang dengan kursi yang berjajar. Seperti meja makan yang besar. Di atasnya ada infocus.

Hanya ada beberapa orang di sini. Sekelompok siswa duduk di karpet beludru berwarna merah yang tersedia. Lalu ada satu cewek yang sedang memilih buku. Mungkin perpustakaan selalu sepi, jaman sekarang ini jarang murid ke perpustakaan. Paling ke perpustakaan kalau ada tugas. Seperti gue ini.

Gue menuju rak fiksi. Gue mau minjem buku horor aja deh yang tipis. Gue males kalau tebelnya lebih dari dua ratus halaman. Setelah mencari gue dapet novel horor nyempil. Judulnya Jembatan Horor hanya sekitar seratus enam puluh halaman, sesuai ekspektasi.

"Bu, saya mau pinjem buku ini." gue menuju meja penjaga. Lalu, menyodorkan bukunya.

Ibu itu memberi cap pada kertas yang tertempel di belakang buku. "Ini bukunya. Kembaliin maksimal hari Selasa"

"Oh iya. Makasih, Bu."

Saat gue mau keluar dari sini, ada Revi duduk di meja pojok kanan. Gue menghampiri Revi yang sepertinya sedang mengerjakan tugas.

"Hai, Rev." gue menyapa Revi.

Mendongak ke arah gue yang lagi berdiri. "Hello, Vin."

Setelah menyapa gue balik, Revi malah kembali fokus mengerjakan soal fisika. "Gue mau ngomong sebentar, Rev."

"Ngomong apa?" tanya Revi terdengar bosan.

"Selama beberapa minggu ini gue sering ngikutin lo. Gue menemukan fakta yang cukup mengejutkan. Seorang Revi yang terkenal sebagai murid baik-baik ternyata gak sebaik itu," jelas gue dengan suara pelan takut terdengar orang lain. "Gue udah ada bukti tentang lo diluar. Jadi sekarang gue ekan mengajukan penawaran. Lo kerja sama dengan gue dalam pembuatan film pendek ini rahasia lo aman, tapi kalau lo tetep gak mau rahasia lo gue bongkar."

Revi tertawa kencang membuat penghuni perpustakaan ini memberi isyarat 'ssttt' untuk diam. Revi menutup mulutnya menahan tawa.

"Lo ngancem gue?" tanya Revi dengan tatapan tajam, tapi tetap menjaga suara agar pelan. Revi lebih berani panggil 'lo-gue' padahal masih di sekolah.

Gue hanya mengangguk.

Revi mendekatkan kepalanya ke kuping gue berbisik, "Silakan sebar rahasia gue, tapi setelah itu gue pastiin lo bakal ketemu kecoa lebih banyak dari yang di gudang kemaren."

Bisa gue pastiin muka gue pucat. Revi dengan santainya duduk lagi. Jantung gue deg-degan, badan udah keluar keringat dingin, dan tangan gemeteran. Namun, Revi malah tertawa lagi. Dan ya di tegur lagi.

"Segitunya ya lo takut sama kecoa? Ya ampun itu cuma binatang kecil." Revi mengolok-olok fobia gue masih dengan tertawa, tapi lebih pelan.

Gue perhatiin Revi yang tertawa. Dia punya lesung pipit di kanan. Terlihat lebih manis. Eh, manis? Gue kenapa sih.

"Okay Vin, gue mau ikut di film pendek lo." Kalimat Revi yang ini membuat gue seneng bukan kepalang. "Tapi ada dua syarat yang harus lo penuhi."

"Apa?" tanya gue heran.

----------📷----------

Journalist #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang