Chava duduk dikursi makan. Mati-matian ia menahan diri untuk tidak memakan daging mentah itu dan membiarkan suara perutnya yang minta segera diisi.
Karena bosan, Chava memutuskan untuk melihat-lihat rumah tua itu. Matanya melihat sebuah pintu kayu dengan ukiran aneh menurutnya. Disana ia melihat seseorang berdiri dengan seekor serigala ditengah-tengah pepohonan. Chava hanya mengangkat bahunya tak mengerti dan memilih membuka pintu ruangan itu.
Pertama kali saat Chava membuka pintu, yang dilihatnya adalah sebuah patung batu besar dengan ukiran yang sama dengan pintu, manusia dan serigala. Ruangan itu kosong, hanya ada ranjang dan patung saja. Karena merasa tidak ada yang menarik, Chava memilih untuk keluar dan melihat-lihat ruangan yang lainnya.
Chava berjalan semakin ke dalam, bahkan ia tidak tahu jalan mana yang ia lewati tadi. Rumah itu gelap, tidak ada satupun jendela yang membawa sinar matahari masuk. Rumah itu juga sangat lembab dan berbau amis. Chava sendiri merasa pusing berada dirumah itu.
Chava menyerah, rumah tua itu sangat besar dan kebanyakan ruangan disana dikunci. Chava ingin keluar dari sana, namun untuk kembali ke ruang makan saja dia tidak tahu. Ia melewati berbagai lorong yang ia yakini adalah jalan keluar. Tapi nihil. Lorong itu malah membawa Chava semakin ke dalam.
Karena lelah, Chava pasrah dan tetap berjalan mengikuti lorong itu. Saat sampai di ujung lorong, disana terdapat satu ruangan dengan pintu yang Chava yakini terbuat dari perak. Chava berpikir itu adalah jalan keluar dan dengan mudahnya ia membuka pintu itu. Namun, yang ia pikirkan jauh dari yang ia lihat.
Chava melihat seorang laki-laki yang tidak berdaya dengan tangan dan kaki dirantai, bahkan lehernya juga dirantai. Chava hanya terdiam melihat begitu banyak darah ditubuhnya. Chava ingin menolong tapi tubuhnya seolah-olah menolak. Sampai akhirnya lelaki itu menyadari kehadiran Chava.
"Bisa tolong aku?" pinta lemah lelaki itu.
Chava reflek mengangguk dan berjalan mendekat. Tangannya berusaha melepaskan rantai dari leher lelaki itu. Namun, lelaki itu malah menarik tangan Chava dan menggigit jari telunjuknya.
Chava menjerit, darahnya seperti dihisap. Lelaki itu menatap Chava dengan mata warna merah darah dan Chava baru menyadarinya. Warna mata itu seperti warna mata Kafeel. Nama itu langsung terlintas di kepala Chava dan mendorong dirinya untuk meneriaki nama Kafeel.
"Kafeel!!" jerit Chava sambil memejamkan matanya takut.
Seketika suara pukulan terdengar keras di telinga Chava. Air matanya turun, jantungnya berdetak cepat. Tubuhnya lemas seketika dan hampir jatuh ke lantai kalau saja Kafeel tidak menahan tubuhnya.
Chava membuka matanya, melihat wajah Kafeel yang penuh dengan percikan darah. Chava tidak berani menoleh ke arah lelaki yang ia yakini sudah terkapar dilantai karena pukulan Kafeel.
Karena lemas, Chava pasrah saat Kafeel menggendongnya keluar dari ruangan itu dan menguncinya. Chava hanya bisa bersandar dipundak Kafeel dan memejamkan matanya. Ia masih merasakan darahnya yang masih menetes.
Kafeel membawa Chava ke sebuah ruangan. Ruangan yang tidak disadari oleh Chava karena pintu ruangan itu terbuat dari tembok. Disana Kafeel mendudukkan Chava disalah satu tempat duduk. Ia menatap jari telunjuk di tangan kanan Chava yang masih meneteskan darah. Kafeel menarik tangan itu dan menghisap darah itu. Mata Chava reflek terbuka dan melihatnya. Anehnya Chava tidak merasa sakit, melainkan merasa dirinya diberi energi.
Sesudah itu Kafeel melepaskannya dan menatap datar Chava. Sedangkan Chava masih memperhatikan jarinya. Dijari telunjuknya sudah tidak ada darah, bahkan tidak ada luka. Jarinya kembali seperti jari-jari lainnya. Seketika ia bergidik ngeri dan menatap Kafeel.
Saat menatap Kafeel, Chava melihat jari telunjuk Kafeel berdarah. Sama sepertinya tadi, jari telunjuk di tangan kanan.
"Jarimu?" tanya Chava sambil menarik tangan Kafeel.
Kafeel hanya diam dan memperhatikan tingkah Chava. Pikirannya masih kalut karena kejadian di ruangan rahasianya tadi.
"Kamu punya kotak P3K nggak?" Chava mendongak, melihat rahang Kafeel yang mengeras.
Dirinya mulai merasa bersalah, karena dirinya tadi Kafeel ikutan terluka. Tapi dipikirannya masih bertanya-tanya kenapa luka Kafeel bisa sama sepertinya dan kenapa lelaki tadi dirantai dan dikurung seperti itu? Pikiran itu langsung ditepis oleh Chava. Mungkin saja luka Kafeel hanya sekedar kebetulan dan alasan lelaki itu dikurung, mungkin karena memiliki masalah dengan Kafeel. Namun, Chava masih tidak bisa menghentikan pikiran tentang jarinya. Jari yang tadinya terluka bisa sembuh dengan seketika.
Chava mulai mengiyakan pikirannya tentang Kafeel yang mempunyai keanehan. Dari yang bisa berpindah tempat, memakan daging mentah dan meminum darah, bisa menyembuhkan dirinya begitu cepat. Kalau begitu Kafeel jadi dokter saja jika dia memiliki kemampuan menyembuhkan seperti itu, pikirnya.
Dengan tiba-tiba Kafeel menyodorkan sekotak nasi dan 2 minuman dingin membuat Chava terperangah. Jadi tadi Kafeel keluar karena ingin membelikannya makanan? Kenapa tidak mengajaknya saja? Kalau diajak dia pasti bisa memilih makanan yang ia suka, batinnya.
"Terima kasih!" ucap Chava sembari menerima makanan.
Senyum Chava mulai tercetak saat ia melihat nasi merah dan cumi-cumi crispy kesukaannya. Ditambah dengan campuran sosis dan daging sapi yang dibumbui. Benar-benar seleranya.
Sementara Kafeel yang melihat Chava begitu puas dengan pemberiannya memutuskan untuk keluar dari ruangan. Namun, Chava menahannya membuat Kafeel menaikkan salah satu alisnya.
"Untuk kali ini aku ngebiarin orang lain makan bareng sama aku. Mau nggak? Limited edition loh!" tawar Chava.
Chava memang terbiasa sendiri sehingga ia tidak terbiasa makan bersama orang lain begitu juga keluarganya. Kafeel masih diam menatap Chava tanpa ada niatan untuk membalas ucapan Chava.
"Mau nggak? Jarang-jarang loh aku mau berbagi makanan." ucap Chava sambil menyamankan posisi duduknya untuk makan.
Kafeel masih berdiri, membiarkan tangan kiri Chava yang masih menahan lengannya. Sementara Chava dengan tangan kanannya menyantap makanan itu.
Kafeel menatap jari telunjuknya yang mulai berhenti mengeluarkan darah. Lalu berganti menatap Chava yang begitu lahap sampai akhirnya makanan itu habis.
"Kamu bisa bantu bukain nggak? Aku nggak bisa buka." tanya Chava sambil menyodorkan minuman ke Kafeel.
Dengan lengan yang masih ditahan oleh Chava, Kafeel membuka botol itu dengan mudah dan menyerahkan kepada Chava tanpa kata. Chava sendiri heran, Kafeel begitu pelit bicara. Seolah-olah kalau bicara bisa membuatnya mati mendadak, pikir Chava.
Setelah puas menikmati makanan dan minumannya, Chava masih menahan lengan Kafeel begitu erat.
"Aku ingin pulang!" lirih Chava.
Ia begitu rindu dengan pekerjaannya dan rindu dengan kesehariannya. Apalagi sekarang ia pindah ke rumah orangtuanya, pastinya mereka akan bingung mencari keberadaannya. Sementara Kafeel langsung melepaskan pegangan Chava dan meninggalkan Chava sendiri diruangan itu.
Chava tahu kalau Kafeel tidak suka dengan ucapannya tadi. Tapi apa masalahnya? Itu juga hak asasinya sendiri, Kafeel punya hak apa atas dirinya?
Seketika Chava mengingat pernikahannya dengan Kafeel. Pernikahan yang aneh dan tidak bisa dikatakan menikah menurutnya. Jika Kafeel menginginkannya, Kafeel bisa menemuinya dan merayunya bukan dengan mengurungnya dan memaksa. Jauh dari kriteria pria idaman batin Chava.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Man is Dangerous
RomansaAbigail Chavali, dokter muda yang cantik dan manis. Kehidupannya baik-baik saja sebelum adanya kehadiran pasien yang baginya seperti orang gila. Pasien yang memaksanya untuk menjadi istrinya dengan ancaman akan memperkosanya. Awalnya ia mengabaikan...