[38] Rumah Mewah Suamiku

23.6K 2.1K 969
                                    

Nah, ini yang kalian tunggu gaes...

Siap-siap makin banyak ngumpatin tokoh kita yang tersayang.

Happy reading....




”MAS GARA!” Sontak aku segera menutup kembali daun pintu yang baru kubuka.

Matahari baru saja mengintip di langit timur. Karena semalam hujan, cahayanya pun terasa redup. Kurasa aku harus menyiapkan jas hujan. Oh iya, Gara! Kenapa dia bisa sampai di rumah ini? Sepagi ini!

”NYONYA!! KAMU TIDAK BERANGKAT KE KAMPUS?”

Aku menoleh ke jendela, ternyata dia berdiri di balik kaca. Dia berteriak di kompleks ini. Aduh, cari perkara saja! Kalau sampai ada tetangga yang melihatnya. Pasrah, akhirnya aku buka pintu.

”Mas Gara, maaf, ada apa?”

”Kamu sudah sarapan?” tanyanya. Tangan kirinya masuk ke saku celana jeans-nya sementara tangan kanan memutar-mutar ponsel. Matanya bergerilya memperhatikan seisi rumah.

”Sudah. Saya akan berangkat sekarang.”

Gara mengangguk. Tanpa dapat kucegah, dia berjalan cepat melewatiku. Teriak pun, percuma. Dia tidak mendengarkanku. Aku mengejarnya tanpa menutup pintu.

”Mas Gara, jangan seperti ini!”

Aku tiba di dapur ketika dia tengah menjalankan penglihatannya pada meja makan. Aku belum sempat membersihkan piring-piring sisa makan pagiku sebab mendengar ketukan pintu saat akan membereskannya.

”Roti panggang, susu coklat, dan telur. Susu buat ibu hamil? Kalau begitu buatkan aku kopi saja!” Dia duduk pada salah satu bangku setelah memindai isi meja.

”Maaf, kamu menyuruh saya?”

Gara memutar kepalanya ke arahku yang berdiri. ”Bukan. Aku hanya minta dibuatkan kopi, itu saja.”

”Itu sama saja. Sepertinya berada dalam sel tahanan membabat habis tata krama kamu.”

Dia mengangkat bahu. Diteruskannya mengambil roti, membuka botol selai, dan mencabut pisau dari tempatnya. Hal itu membuatku segera melakukan apa yang dia minta. Kalau sampai dia mengamuk seperti waktu itu, dengan pisau di tangan, bisa habis nyawaku.

”Siwi. Lama sekali bikin kopi!” Gara merebut sendok gula lalu menggantikanku membuat kopi. ”Hah, jadi. Aromanya wangi sekali. Kamu mau coba?”

Kugelengkan kepala dan menyingkir darinya. Kuberesi piring-piring bekas rotiku. Menumpuknya dengan gelas kotor dan sendok. Kubawa semuanya ke bak pencuci piring lalu membersihkannya dengan cepat.

”Ini tambahan,” ujar Gara sembari memberikan bekas gelas kopinya.

”Selesai? Silakan ke depan, pintunya tidak saya tutup kok.”

”Ayo. Kamu tidak tahu ’kan di luar mendungnya hitam sekali. Sepertinya hujan akan turun. Aku ke sini mau menumpangimu ke kampus.”

”Tidak perlu, Mas Gara. Saya biasa berangkat sendiri, hujan pun ada jas hujan. Tidak perlu repot-repot mengantarkan saya.”

Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang