Nah, ini yang kalian tunggu gaes...
Siap-siap makin banyak ngumpatin tokoh kita yang tersayang.
Happy reading....
”MAS GARA!” Sontak aku segera menutup kembali daun pintu yang baru kubuka.
Matahari baru saja mengintip di langit timur. Karena semalam hujan, cahayanya pun terasa redup. Kurasa aku harus menyiapkan jas hujan. Oh iya, Gara! Kenapa dia bisa sampai di rumah ini? Sepagi ini!
”NYONYA!! KAMU TIDAK BERANGKAT KE KAMPUS?”
Aku menoleh ke jendela, ternyata dia berdiri di balik kaca. Dia berteriak di kompleks ini. Aduh, cari perkara saja! Kalau sampai ada tetangga yang melihatnya. Pasrah, akhirnya aku buka pintu.
”Mas Gara, maaf, ada apa?”
”Kamu sudah sarapan?” tanyanya. Tangan kirinya masuk ke saku celana jeans-nya sementara tangan kanan memutar-mutar ponsel. Matanya bergerilya memperhatikan seisi rumah.
”Sudah. Saya akan berangkat sekarang.”
Gara mengangguk. Tanpa dapat kucegah, dia berjalan cepat melewatiku. Teriak pun, percuma. Dia tidak mendengarkanku. Aku mengejarnya tanpa menutup pintu.
”Mas Gara, jangan seperti ini!”
Aku tiba di dapur ketika dia tengah menjalankan penglihatannya pada meja makan. Aku belum sempat membersihkan piring-piring sisa makan pagiku sebab mendengar ketukan pintu saat akan membereskannya.
”Roti panggang, susu coklat, dan telur. Susu buat ibu hamil? Kalau begitu buatkan aku kopi saja!” Dia duduk pada salah satu bangku setelah memindai isi meja.
”Maaf, kamu menyuruh saya?”
Gara memutar kepalanya ke arahku yang berdiri. ”Bukan. Aku hanya minta dibuatkan kopi, itu saja.”
”Itu sama saja. Sepertinya berada dalam sel tahanan membabat habis tata krama kamu.”
Dia mengangkat bahu. Diteruskannya mengambil roti, membuka botol selai, dan mencabut pisau dari tempatnya. Hal itu membuatku segera melakukan apa yang dia minta. Kalau sampai dia mengamuk seperti waktu itu, dengan pisau di tangan, bisa habis nyawaku.
”Siwi. Lama sekali bikin kopi!” Gara merebut sendok gula lalu menggantikanku membuat kopi. ”Hah, jadi. Aromanya wangi sekali. Kamu mau coba?”
Kugelengkan kepala dan menyingkir darinya. Kuberesi piring-piring bekas rotiku. Menumpuknya dengan gelas kotor dan sendok. Kubawa semuanya ke bak pencuci piring lalu membersihkannya dengan cepat.
”Ini tambahan,” ujar Gara sembari memberikan bekas gelas kopinya.
”Selesai? Silakan ke depan, pintunya tidak saya tutup kok.”
”Ayo. Kamu tidak tahu ’kan di luar mendungnya hitam sekali. Sepertinya hujan akan turun. Aku ke sini mau menumpangimu ke kampus.”
”Tidak perlu, Mas Gara. Saya biasa berangkat sendiri, hujan pun ada jas hujan. Tidak perlu repot-repot mengantarkan saya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)
Romansa𝙰𝚍𝚊𝚔𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚋𝚞𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚋𝚊𝚑𝚊𝚐𝚒𝚊𝚊𝚗 𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒𝚖𝚞 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝𝚖𝚞? 𝚂𝚒𝚠𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚔𝚎𝚙𝚞𝚝𝚞𝚜𝚊𝚗 𝚋𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝...