19. Masa Lalu

24 4 0
                                    

Kalau hari libur kegiatan belajar ini dari pagi dan berlangsung setengah hari. Kalau hari biasa dilaksanakan malam selesai salat isya hanya dua jam. Gue belum pulang masih ikut ngumpul sama Revi dan yang lainnya.

Selama ini gue salah sangka Revi dan teman-temannya gak seburuk yang terkira. Mereka orang-orang yang seru. Meskipun sering berkata kasar. Gue nyaman diantara mereka. Sifatnya memang nakal, tapi jiwa sosialnya tinggi.

"Rokok, Vin?" tawar Rion.

"Eh, nggak, Yon. Gue nggak ngerokok." dan gak kuat juga sama bau rokok lanjut gue dalam hati.

"Oh okay kalau lo gak mau," tukas Rion lalu menyalakan rokoknya.

"Rion! Udah gue bilang jangan ngerokok di dalem rumah! Kalian juga sama aja! Banyak penyakit tau gak!" omel Anara--biasa dipanggil mereka Nara--yang baru masuk ke ruang tengah.

"Kek emak-emak aja lo Ra, bawel," ucap Dean langsung keluar rumah diikuti yang lain. Tersisa gue dan Revi di sini.

"Enak aja kalian ngatain gue emak-emak," sahut Anara mencak-mencak.

"Tapi Dean bener sih, Ra. Lo emang kek emak-emak sekarang. Rambut dicepol, baju daster pake celemek buat masak, dan satu lagi baju lo banyak tepung," celetuk Revi santai.

"Gue kan lagi bikin kue. Lebih leluasa kalau pake daster. Lo juga sama nyebelinnya. Bantuin gue kek. Malah ikut ngatain." Anara ngomel-ngomel terus. Jalan ke dapur pun sering ngedumel.

"Biasa doi lagi PMS. Samaanlah kek macan betina." Revi tertawa dan gue juga ikutan. Padahal dalam segi lelucon gak ada lucu-lucunya.

"Rev, gue mau ngobrol dong sama lo sebentar di taman belakang. Boleh gak?"

"Gue ngerti aura kepo dan wawancara yang lo punya lagi muncul sekarang. Okay, gue gak masalah. Ayo!" ajak Revi langsung menuju taman belakang.

Kami duduk di karpet yang tadi disediakan untuk pengamen-pengamen jalanan. Mereka belum merapihkannya.

"So? Mau ngobrolin apa?"

"Gue mau nanya tentang kalian, tentang rumah ini, dan tentang lo yang punya sikap berbeda antara di sekolah dan di luar. Mungkin sekitaran itu yang mau gue obrolin," jelas gue.

"Pertama, tentang gue dan temen-temen. Kita sebenarnya satu SMP dulu. Bisa dibilang sekumpulan anak nakal, tapi itu masih batas wajar. Kita gak pernah minum miras ataupun ngobat."

"Terus yang waktu ke club malam itu gimana?"

"Gila, lo stalker-in gue dari kapan?" tanya Revi takjub dan tertawa lagi. "Jadi gini, kita emang sering ke club malam, tapi minum pun bukan miras. Kita ke sana cuman buat seru-seruan aja. Ada alasan lain sih. Gue di sana nyalurin sedikit kemampuan nge-DJ."

"Gue salut sama lo. Udah pinter, jago bela diri, main gitar, dan sekarang bisa nge-DJ," ucap gue penuh kekaguman. "Nah, lanjutin dong tentang pengamen dan rumah ini."

"Rumah ini dulu dibuat atas perintah almarhum mamah gue. Mamah pernah bilang 'kamu beruntung masih punya mamah, papah, dan bisa sekolah. Coba lihat mereka orang tuanya gak ada dan jangankan bisa sekolah nyari uang buat makan aja susah'. Gue inget banget waktu itu mungkin pas masih kelas sembilan awal. Kita di mobil mau nganterin mamah ke rumah sakit, lagi macet dan mamah bilang gitu sambil lihat ke pengamen." mata Revi mulai berkaca-kaca.

"Eum, Rev. Gue terlalu maksa buat lo cerita, ya? Ya udah gak usah dilanjut gue ngerti kok." gue gak tega lihat dia yang mau nangis. Ada rasa sakit dalam diri gue waktu lihat matanya berkaca-kaca.

"Eh, gak apa-apa, Vin. Gue seneng kok bisa berbagi sama lo," ucap Revi sambil menghapus air mata yang mulai turun. "Gue lanjut ya. Jadi mamah ngasih perintah buat bikin rumah ini. Papah gue tahu itu, tapi gak ngebantuin apa-apa soalnya mamah yang mau pake uang hasil usahanya sendiri. Sekitar delapan bulan kemudian rumah ini udah beres. Namun, penyakit kanker lambungnya makin parah. Penyakit itu terus menggerogoti tubuh mamah. Sampai akhirnya ...."

Revi gak sanggup buat lanjutin ceritanya. Gue langsung peluk dia. Mengusap punggungnya menenangkan. Kalau tahu bakal gini gue gak bakal minta dia cerita apapun. Gue jadi ikutan sedih.

"Mamah gak bisa bertahan," lanjut Revi sesenggukan.

"Itu jalan yang terbaik buat nyokap lo, Rev." hanya itu kalimat yang keluar dari mulut gue. Sambil terus mengusap punggungnya.

Revi melepas pelukan gue, lalu mengusap matanya. "Gue cengeng banget, ya? Ha ha."

Revi menarik napas membuangnya perlahan berulang kali. Lalu melanjutkan ceritanya.

"Kita semua sedih. Terlebih gue dan Papah. Satu hal yang belum mamah lakuin itu membawa pengamen-pengamen jalanan itu tinggal di rumah ini. Sebenarnya waktu itu papah mau biayain pengamen-pengamen jalanan itu untuk tinggal di sini dan memberikan pengajar terbaik untuk mereka belajar. Namun, gue ngacauin semuanya. Gue rayain kelulusan di rumah ini. Kita cuman ngumpul dan makan-makan di sini. Sambil gue bicarain rencana mengumpulkan pengamen-pengamen itu. Saat itu papah datang dan kebetulan mereka lagi ngerokok.

"Papah emang udah tau kalau gue nakal banget. Sebelum mamah meninggal, selama gue bisa cerdas di akademik dan non akademik papah memaklumi kenakalan gue, tapi ngelihat gue yang tetap nakal padahal mamah udah meninggal. Papah marah dan gak mau membiayai semuanya karena menganggap gue bakal salah gunain rumah itu. Temen-temen gue ngerasa bersalah banget. Mereka langsung mengambil hak alih pengamen-pengamen itu dari bang Codet. Gak gampang karena bang Codet dan yang lainnya pake otot. Padahal kita udah mati-matian ngumpulin uang buat nebus, tapi tetep gak bisa. Beruntung kakak tingkat taekwondo di tempat gue latihan bela diri mau bantuin. Temen-temen gue yang mempelajari bela diri yang lain juga ikut bantu membawa temannya yang lain. Kita berantem merebut wilayah kekuasaan. Akhirnya pengamen itu bisa tinggal di sini."

"Ok gue ngerti, berhubung papah lo gak mau jadi donatur buat rumah lindung ini. Mereka jadi tetap mengamen?" tanya gue memastikan.

"Iya gitu deh. Beruntung waktu itu ada orang yang berbaik hati mau memberikan sebagian uangnya buat rumah lindung ini. Membayar listrik dan memberikan uang untuk membeli makanan setiap bulan. Tapi, itu masih gak cukup. Kita kekurangan pengajar. Itu rencana mamah yang kedua selain menampung mereka. Ya udah dari pada gak ada kita aja yang ngajarin."

"Terus tentang lo yang beda sikap, gimana?"

"Itu karena kejadian waktu itu juga. Papah langsung hukum gue. Pertama, gue gak boleh sekolah yang sama kek temen-temen gue yang lain. Kedua, fasilitas gue dicabut semua sehari cuman di kasih uang 30 ribu buat ongkos dan keprluan gue sehari-hari. Kalau fasilitas kembali gue harus ranking 1 pararel seangkatan minimal empat kali dari maksimalnya enam kali. Gue harus jadi anak baik di sekolah supaya bisa dapetin lagi fasilitas itu, tapi tetep aja gue nggak bisa kalau gak kumpul sama yang lain. Gue juga gak bisa kalau ninggalin dunia DJ. Gue tau kemampuan ini masih amatiran. Dulu sih papah udah nyediain alat DJ nya, tapi sekarang masih ditahan. Jadilah gue ke club sambil nyalurin hobby sekaligus dapet uang tambahan."

"Dihukum sampai segitunya, ya? Lo gak bisa ninggalin kenakalan lo itu, ya? Sampai lo buat temen sekelas lo dihukum waktu itu, iya, kan?"

"Hah? Kok lo tau lagi kalau gue sengaja? Tunggu dulu ... lo dengerin gue teleponan sama Nara, ya?"

Gue mengangguk. Dia terlihat kesal karena gue selalu jadi stalker-nya dia dan langsung mencubiti badan gue. Gila! Cubitan dia sakit banget. Gue langsung lari dan Revi mengejar. Kita berlarian di halaman belakang yang lenggang.

Journalist #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang