Ayah dan Papa

5.2K 126 50
                                    

Buatlah karangan dengan tema bebas! Boleh dari pengalaman pribadi. Diketik dan dikumpulkan paling lambat hari senin.

Perintah yang diberikan sudah jelas. Pun, cara mengerjakan dan kapan batas waktunya juga sudah diberi tahu. Aku sudah duduk tepat di depan laptop yang menyala, tangan bersiap untuk mengetik. Sayangnya, belum ada satu ide pun yang masuk ke dalam kepala.

Inilah yang aku benci dari tugas-tugas semacam ini; mencari topik, atau ide yang hendak dibicarakan. Belum lagi pemilihan kata agar karangan enak untuk dibaca. Tugas paling ribet menurutku, karena membutuhkan terlalu banyak saraf untuk berpikir.

Dan aku malas berpikir. Hehe.

Makanya, meski ini masih Jum'at malam, aku sudah mencoba mengerjakan. Daripada malas sampai hari Minggu dan malah keteteran.

Tapi kalau susah mencari topik begini, kesal juga ya. Mengarang jawaban saat ulangan itu gampang, kenapa mengarang begini harus susah sekali, sih?

Aku harus mengarang tentang apa?

Tentang kisah cinta seperti Romeo dan Juliet? Klise. Tentang kisah inspiratif? Tapi tentang siapa? Tentang hidupku? Tidak ada yang menarik, kecuali kenyataan kalau aku punya dua Ayah yang suka bertingkah kayak remaja dimabuk asmara. Tanpa ibu.

Apa mengarang tentang Ayah dan Papa saja, ya?

Tidak yakin.

Bukan. Bukan karena aku malu punya dua Ayah, aku tidak pernah punya masalah dengan itu. Hanya saja, masa iya aku harus menulis tentang Papa yang suka modus peluk-peluk Ayah kalau mereka sedang masak bersama? Atau mereka yang–di umurku yang ke 13, alias dua tahun yang lalu, akhirnya aku tahu mereka berbuat apa–suka diam-diam mencuri ciuman di sofa jika aku sedang fokus menonton televisi di atas karpet. Masa iya harus begitu? Karena, well, begitulah tingkah orangtuaku. Punya Papa yang tukang menggoda dan Ayah yang malu-malu tapi mau.

Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu saat aku sedang menggaruk kepala. Banyak pikiran jadi gatal.

"Iya, Yah. Sebentar." Sahutku, sebelum membukakan pintu untuk Ayah.

Tentu saja Ayah. Papa 'kan sedang pergi ke luar kota sejak tiga hari yang lalu dan baru akan pulang besok siang.

Selain beliau, berarti seram dong.

Di depanku, Ayah berdiri seraya memeluk bantal di dadanya. Pemandangan yang lucu bagiku, karena Ayah terlihat imut tanpa beliau sadari. Membuat penat yang tadi menekan sedikit terangkat.

"Aroon, Ayah tidur sama kamu, ya?"

"Kenapa, Yah?" Senyumku menggoda. "Kangen Papa, ya?"

"Ngarang aja kamu itu." Jawab Ayah cuek. Aku tertawa.

Setelah menutup kembali pintu, aku mengikuti Ayah berselonjor di atas kasur.

"Kamu lagi apa tadi?" Tanya Ayah sambil mengambil gitar yang kugantung di samping tempat tidur. Beliau mulai memainkan nada-nada yang familiar.

Say you won't let go oleh James Arthur.

Lagu yang biasa Ayah dan Papa putar di hari minggu pagi. Terkadang pakai acara dansa setelah sarapan–membuatku merasa jadi nyamuk DBD di antara mereka berdua. Aku belum tahu kisah apa yang ada di balik lagu lama ini sampai orangtuaku suka sekali dengan lagu ini. Aku tidak bertanya dan mereka belum pernah menceritakannya.

Tapi dengan Ayah memainkan lagu ini, makin ketahuan 'kan, kalau sekarang Ayah lagi kangen Papa.

Biarkan saja, deh. Kasihan kalau kugoda terus, nanti malah tambah kangen.

Ayah dan PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang