Satu.

35 10 0
                                    

Bunyi alarm pagi membuat mimpiku terputus. Aku terbangun dari alam bawah sadarku kemudian mematikan alarm yang mengganggu tidurku. Aku merenggangkan tubuhku, setiap pagi akan menjadi hari yang melelahkan. Aku bangkit dan menghampiri jendela kamar.

Aku memperhatikan Alana, gadis yang satu sekolah denganku, dari jendela kamar. Saat aku sedang asik memperhatikan Alana sembari melamun, seekor anjing golden retriever menghampiriku. Namanya Lexi, anjing kesayanganku sejak aku berumur 15 tahun, aku yang memilihnya di tempat penampungan.

"Ayo mulai hari dengan senyum, Lexi!" Aku tersenyum melihat Alana sedang melakukan olahraga pagi bersama ayahnya, Mr. Johnson, di halaman rumah mereka. Aku menghela napas. Itu cukup membuatku iri, mereka memiliki waktu untuk berolahraga bersama keluarga.

"Andai kau adalah seseorang, Lexi. Mungkin aku takkan kesepian," aku diam sejenak, "sekarang mari kita bangunkan semangat para tukang tidur itu!" Sambungku dengan ceria.

Aku keluar dari kamarku kemudian mengetuk beberapa pintu di depan pintu kamarku. "Rise and shine! Ayo bangun, kita terlambat." Teriakku sambil menuruni anak tangga.

Aku melangkah menuju dapur, berkutat dengan peralatan masak. Stefan datang membuka lemari es, "bisakah kau membuatkanku sarapan?" Kata Stefan. "Tidak." Jawabku singkat.

"Kau membuatkan ayah sarapan setiap pagi," jawabnya dengan kesal. "Karena ayah membayar semua tagihan, apa kau sanggup?" Aku memberinya bumerang. Stefan hanya bungkam, aku tahu dia kesal tapi aku tidak peduli.

Aku melirik ke arah jendela dapur, terlihat lagi di seberang rumahku ada Alana bersama keluarganya yang sedang sarapan dengan segala kemewahan mereka di ruang makan keluarga mereka.

"Shasi, tolong bawa Lexi ke rumah Bibi Ana," perkataan ayah membuyarkan lamunanku. "Kenapa selalu aku?" Aku melirik ke arah Stefan, "karena itu anjingmu, kau yang memilihnya." Jawabnya.

"Saat itu aku berumur 15 tahun, Stef!" aku berteriak kepada Stefan, lalu ayah menengahi kami. "Lexi sayang kepadamu, Shasi. Jadi, tolong. Oke?" Aku hanya mengangguk pasrah karena aku tidak bisa melawan ayahku.

Aku pergi ke rumah Bibi Ana secepat mungkin, aku tidak ingin terlambat pergi ke sekolahku. Aku mengetuk pintu rumahnya, tak berapa lama Bibi Ana keluar. "Selamat pagi, Shasi!" katanya menyambutku. "Pagi, bibi. Tolong jaga Lexi dengan baik, terima kasih Bibi Ana!" kataku dengan terburu-buru, kemudian aku berlari sampai rumah untuk mempersingkat waktu.

Aku mengambil tas sekolahku lalu mengunci pintu rumah dari luar, setelahnya aku membantu ayah merapihkan dasinya, "terimakasih." Aku membalasnya dengan senyuman, kemudian aku menatap rumah dengan papan di sebelah kotak pos yang bertuliskan "Welcome To The Johnson's"

Ayah masuk ke dalam mobil dan berteriak menyuruhku untuk segera masuk, aku tersenyum dan segera masuk ke dalam mobil. Aku duduk di kursi sebelah pengemudi, di kursi belakang sudah ada Stefan. Ayah mencoba menyalakan mobilnya namun mobil ini memang sudah seharusnya diganti karena mobil ini sudah sangat sering bermasalah dengan mesinnya.

Aku melihat Alana keluar dari dalam rumahnya lalu berjalan dengan wajah cerianya masuk ke dalam mobilnya. "Kenapa kau tak bermain bersamanya, Shasi?" Celetuk Stefan yang memergokiku sedang memperhatikan Alana. Ku harap begitu, bahkan aku ingin menjadi dirinya. "Alana terlalu keren jika bergaul denganku." Kataku pada akhirnya.

***

"Ingat! Aku tidak mengenalmu, mengerti?" Aku sungguh kesal karena Stefan dengan percaya dirinya mengatakan itu, karena siapa juga yang ingin mengenal kakak yang sombong dan menyebalkan di sekolah, yang ada aku hanya akan menjadi bahan tertawaan teman-temanku. Aku hanya memutarkan bola mataku lalu melirik remeh ke arahnya.

Aku berjalan masuk ke dalam pelataran sekolah, Alana bersama teman-temannya yang populer sedang berbincang santai, aku berhenti sebentar memikirkan bagaimana jika suatu saat aku ada di posisi Alana.

Kemudian setelah Alana dan temannya pergi aku melanjutkan langkahku. Aku bertemu dengan Adhi di depan lokerku, "Hai," sapanya. Aku tersenyum, Adhi adalah sahabatku sejak kami masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

"Bagaimana pagimu? Ingin memulai pagi?" kataku sambil menjulurkan kartu-kartu yang selalu ku simpan. "Terimakasih, ibuku sudah membacakan horoskopku saat sarapan," katanya. "Punyaku tidak seperti itu," aku tetap menyodorkannya kartu- kartuku. "Kalian sama konyolnya," aku dan Adhi mengambil masing-masing satu kartu dan melihat kartu kami masing- masing.

Aku mendapat kartu dengan gambar kupu-kupu yang berarti perubahan. Sedangkan Adhi, entahlah. Aku tidak mengetahuinya karena aku tidak boleh melihat kartunya. Kemudian Adhi mengembalikan kartu tersebut kepadaku.

"Aku akan mengikuti olimpiade matematika besok, doakan aku, ya!" Aku bangga sekali melihat sahabatku bisa berprestasi. "Tentu saja, aku akan mendoakan yang terbaik untukmu. Semangat, Adhi!" Aku menampilakan senyum ceria.

"Terimakasih, Shasi, kalau begitu sampai bertemu nanti," Adhi pergi ke kelasnya lalu aku masuk ke dalam kelasku karena aku mendengar suara bel berdering dengan keras di seluruh penjuru sekolah.

***

Thanks for reading! Help me reach 50 votes for the next chapter.
XoXo, Roxsky.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PARADOXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang