Regret

24 3 2
                                    

Minghao pernah menyesal.

Ia punya begitu banyak penyesalan dalam hidup, terutama jika itu menyangkut Jisoo.

Mereka bilang, “Kenapa kau tak bisa melepaskannya? Cukup lupakan dan cari gadis lain di luar sana.”

Mereka bilang, “Mungkin memang ia cinta pertamamu, tapi kalau kau terus mengenangnya seperti ini kau kelihatan begitu sengsara..”

Namun bagi Minghao, melupakan, pergi dan memulai halaman baru tak pernah semudah itu. Katakan Minghao bodoh, katakan Minghao pengecut. Ia tak mampu bangkit dari keterputukan yang diakibatkannya sendiri, merindu sendiri, gila sendiri.

Karena dia memang bodoh.

Dia memang sebodoh itu.


Jisoo lah yang lebih dulu pergi dari kehidupannya, memboyong serta hatinya yang hancur berkeping-keping, hilang ditelan diam, meleleh dalam tangisan.
Semua salah Minghao. Atau jika ia ingin menyalahkan, ini salah Chanwoo.

Jisoo mungkin cinta pertama Minghao tapi Chanwoo adalah cinta pertama Jisoo. Suatu waktu, Chanwoo kembali, dan Jisoo terombang-ambing.

Chanwoo mendekat, sekaligus membawa Jisoo menjauh. Dan suatu malam, setelah perdebatan bodoh yang penuh bumbu egois dan cemburu, Jisoo membanting pintu kamarnya, membiarkan Minghao tidur di kamar tamu. Esoknya ia keluar dengan pakaian musim dinginnya, lengkap dengan koper besar di tangan. Gadis itu meraih kenop, namun telapak tangan Minghao menghantam daun pintu dengan kasar.

Don’t you dare to leave..” bisiknya. Alih-alih mengancam, kata-katanya terdengar putus asa.

“Kenapa?” balas Jisoo sengit. Bahkan di balik makeup rapi itu Minghao tahu kalau ada kantung mata di baliknya akibat menangis semalaman.

Kenapa? Minghao tak tahu. Ia memang melontarkan kata-kata buruk semalam, tapi itu bukan berarti ia ingin Jisoo pergi. Minghao ingin menahannya namun ia tak punya alasan.

Chanwoo bukan pria buruk. Ia baik dan sopan, dan ia cinta pertama Jisoo.
Sampai disana ia kalah.

“Aku bisa mati tanpamu..”
Hatiku, bukan ragaku. Jiwaku, bukan diriku.

Jisoo, umtuk sejenak ia tampak nyaris meledak dalam tangisan. Jemarinya meremat ujung jaketnya sampai buku-buku jarinya memutih.

Then die..” suaranya bergetar, rapuh dan nyaris runtuh bak dihantam badai. “ Then die and leave me alone..”

Pipinya basah oleh airmata, keping matanya tak lepas dari Minghao yang bergetar, berusaha menahan semua emosinya. “Die, and let us died to each other..”

Dunia berputar di bawah kaki Minghao, dan Jisoo menghilang.

_______


Jika bisa, Minghao ingin menahan Jisoo sekali lagi. Jika bisa, ia ingin memberi ribuan dalih dan berjuta alasan mengapa semestinya Jisoo bertahan bersamanya alih-alih bersama Chanwoo. Alasan yang sekiranya lebih teepat daripada kalimat picisan nan dramatis seperti “Aku bisa mati tanpamu.”

Jika saja ia bisa..

Jika saja ia punya sedikit keberanian..

Jika saja ia bisa berpikir jernih..


Maka ia takkan pernah menghadiri acara pernikahan ini, dimana Chanwoo mencium Jisoo dengan penuh kasih di depan sana, sementara dirinya terpekur di kursi paling belakang, menggumamkan penyesalan.

Namun jika tetaplah menjadi jika. Dan luka tetaplah luka.

-end-

Another late-published-request...

Daily Prompt : K-Idol & RandomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang