Setelah kejadian dinner 'menyenangkan' waktu itu gue semakin dekat dengan Revi. Tiada hari tanpa bertemu. Sabtu dan Minggu juga tetap bertemu entah di rumah lindung ataupun gue yang dengan sengaja datang ke rumahnya. Ah gue seneng bisa terus dekat dengan Revi. Bahkan papahnya pun sudah percaya sama gue.
"Kamu orang yang jujur. Om percaya sama kamu. Kamu boleh sering bertemu atau bermain sama Audy, tapi inget kalau mau main telepon om dulu minta ijin."
Begitu kalimat dari papahnya Revi. Seneng gue kalau begitu. Akhirnya gue dapet kepercayaan dari papahnya Revi. Ah, senangnya.
"Eh, Vin. Ngapain lo senyum-senyum gaje. Kek orang sinting," sahut Fikri yang membuyarkan lamunanku.
"Ah, eh, nggak Fik. Apaan sih lo?"
"Lagi jatuh cinta kali," timpal Tito.
Kita lagi ngumpul lagi di kantin. Momen yang jarang ini akhirnya terlaksanakan. Meski kurang satu orang, Angga.
"Siapa yang jatuh cinta?"
"Lo," jawab mereka barengan. Sebenarnya pertanyaan gue nggak butuh jawaban.
Emangnya bener ya gue cinta sama Revi. Rasanya gak mungkin deketnya aja baru mungkin sekitar dua bulanan. Nggak mungkin kan cinta secepat itu? Ah entahlah gue bingung. Gue udah kenyang banget. Makanan gue juga belum abis. Mending ke kelas deh.
"Gue duluan ke kelas, ya," pamit gue.
"Ah, gak asik lo, Vin. Masa sudah makan minggat," balas Fikri.
"Gak enak badan gue." pergi dari meja tempat kita ngumpul.
Niat hati ingin ke kelas, tapi malah di suruh salah satu guru buat nyimpen buku di perpustakaan. Mana berat banget lagi. Kalau gak dibantuin kasihan. Namun, di perpustakaan gue malah ketemu Revi. Perpustakaan lebih sepi dari kemaren. Bayangkan cuma ada Revi di meja pojok. Tempat yang sama saat gue ngancem Revi. Mungkin itu meja favoritnya.
"Hai, Rev."
"Eh, ada lo, Vin. Tumben ke perpustakaan lagi. Ada tugas?" Revi memang tidak pernah lagi memakai aku-kamu kalau sama gue. Di sekolah juga gitu, tapi kalau tempatnya lagi sepi sih. Revi harus sangat jaga image.
"Nggak ada tugas apa-apa. Cuma tadi bantuin guru balikin buku ke perpustakaan. Lo lagi ngapain, Rev?"
"Main game," jawab Revi yang membuat gue melongo heran. "Gue bosen, Vin. Belajar terus di sekolah, belum lagi pas les."
"Terus kenapa lo main game di sini?"
"Mau setor muka doang sama perpustakaan. Udah biasa ke sini kalau sekalinya gak datang itu. Kek ada yang kurang."
"Bisa aja lo, Rev."
Kita mengobrol sampai jam istirahat selesai. Gue sedikit telat masuk kelas, tapi tenang aja gurunya Bu Tia, paling baik diantara semua guru yang pernah ngajar di kelas gue. Belajar sampai sore di sekolah.
Guru jam mapel terakhir masuk kelas. Padahal biasanya hanya ngasih tugas. Alhasil pulang jadi pukul empat sore. Ini sungguh menyebalkan. Dari tadi gue ngerasa ada yang hilang. Apa, ya? Kok gue lupa. Eh, iya kamera gue. Tadi pagi kan gue disuruh buat wawancara kakak kelas terus edit di studio. Beruntung gue masih di sekolah. Gue langsung menuju studio GJC. Gue mau buka pintu, tapi malah terbuka duluan.
"Angga, lo ngapain di studio? Lo gak punya jadwal siaran radio kan?"
"Gue beres numpang ngerjain tugas di sini." Yap, memang anak GJC boleh menggunakan komputer untuk kepentingan pribadi. Kadang kalau gak sempet ngerjain tugas gue juga suka ngerjain tugas di sini.
"Ah iya, ini kamera lo ketinggalan," sahut Angga langsung keluar, tanpa basa basi.
-----Journalist-----
Keesokan harinya ...
Gue dapet tugas dari Zaky aka Paketu Galak. Katanya dia sibuk gak bisa ngerjain tugas yang harusnya dia kerjain. Jadilah gue harus mengupload video dan menempel artikel di mading tentang penyakit difteri. Upload video udah beres tadi pagi. Sekarang tinggal pasang artikel itu di mading. Sebelum itu gue harus minjem kunci mading ke Dini--ketua ekstrakurikuler sastra. Mading SMA garuda di tutup semacam jendela kaca yang bisa di kunci.
"Dini!" panggil gue. Untunglah Dini melintas di koridor ini setengah berlari. Dia menggendong tas. Tanda ingin pulang. "Gue pinjem kunci mading, ya. Sebentar aja, mau nempelin artikel ini."
Dini mengambil kuncinya di tas dan langsung menyodorkan ke arah gue. "Lo bawa aja ke rumah. Gue udah ada janji. Harus cepet ke sana. Bye!"
Gue nempelin artikel ini di dinding. Bukan menggunakan lem, tapi ditempel menggunakan paku payung. Selesai menempelkan gue masukin kuncinya ke tas bagian depan. Sekarang tinggal pulang.
"Alvin!"
"Hai, Anggun." gue selalu menyapanya komplit nama depannya. Entahlah agak gak enak kalau gue panggil 'Ang' atau 'Gun'. Terasa aneh gitu.
Kita berjalan di koridor bareng. Entahlah gue ngerasa Anggun terlalu dekat. Mepet-mepet badan gue gitulah.
"Vin, minggu depan lo mau dateng gak ke seminar jurnalis di Universitas Merah Putih? Kalau mau gue ada tiketnya. Kebetulan kakak kelas gue waktu SMP ngehubungin dan suruh gue ngasih sepuluh tiket ini ke siapapun yang mau datang. Lo mau, kan?" tanya Anggun semakin memepet badan gue
"Mau dong, Anggun. Udah lama gue gak ikut seminar," sahut gue sambil coba menjauh.
"Tiketnya ada di rumah, Vin. Besok gue bawa deh. Ah, jadi ngerasa bersalah karena udah ngasih lo harapan." Anggun udah menjauh dari badan gue.
"Gak masalah, kok. Yang penting bener ya besok bawa?"
"Iya, Vin besok gue bawa. Gue ke kantin dulu ya, Vin. Laper gue. Mumpung masih ada waktu sebelum gue siaran. Bye!" Anggun berjalan ke arah kantin.
"Bye."
KAMU SEDANG MEMBACA
Journalist #ODOCTheWWG
Teen FictionCover by @WidyaOktav Gue Alvin Chandra Dirgantara. Kelas 11 IPS 3 di SMA Garuda. Hanya siswa biasa yang tergabung dalam ekstrakurikuler jurnalistik di sekolah. Gue seneng bisa tergabung dalam ekstrakurikuler jurnalistik. Wawancara, membuat berita se...