Dua Puluh Empat

3.2K 517 72
                                    

Hoo, ada yang kangen fic ini?

Enggak?

Gak ya? Hiks 😢

Ya udahlah 😔

..
..
..
..

Hari ini Naruto menghindarinya. Sasuke paham benar bagaimana kebiasaan gadis itu ketika sedang kesal pada dirinya. Jelas itu karena tindakan barbarnya kemarin malam pada si jangkung supermodel.

Entah punya hubungan apa mereka bisa jadi teman sejak jaman masih piyik.

Boleh sih. Teman.

Tapi, tapi, tidak begitu juga kan?

Siapa suruh bikin marah.

Mulutnya itu memang butuh filter. Supaya berhenti kurang ajar menggodai calon bini orang. Begitu- begitu Naruto itu kan pacarnya. Masa iya mau ditikung di tengah jalan? Di ujung saja tidak boleh apalagi di tengah. Eh?

Sasuke mengerang pelan. Melirik sejenak pintu kelas si pirang yang terbuka. Siswa- siswa berhamburan dengan muka kuyu yang menyorakkan kebahagiaan lahir batin karena terbebas dari materi pelajaran yang makin siang makin menjemukan.

Menanti- nanti munculnya sosok pirang beserta sang pawang merangkap ekor yang belum juga keluar kelas, Sasuke memaki dalam hati ketika justru manusia jangkung lainnya yang datang menghampiri.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Menunggu calon istri lah, memang mau apa?"

Sai mendengus sinis.

"Kapan kalian putus?"

Bangke. Status mereka saja maksa disebut pacar, belum pacar secara resmi yang tiap hari pakai acara anniversary macam ABG dimabuk cinta. Itu juga baru beberapa hari yang lalu. Dan sekarang di tanya kapan putus?

Kampret memang manusia ini.

Untung Sasuke penyabar.

"Kuharap kalian cepat- cepat putus karena begitu lulus aku ingin melamar Namikaze jadi istriku-"

"Coba sadar diri, siapa di sini yang pantas jadi pendampingnya?" Sasuke memicingkan mata. Kesal.

Sai berdecak pelan. "Tentu saja aku."

"Kau tidak punya kaca di rumah? Lihat tampangmu-"

"Tidak mau. Aku sadar aku tampan dari lahir."

Meh.

Sasuke mendadak ingin sekali muntah di wajahnya.

"Hoo lihat. Namikaze keluar kelas," pemuda Shimura menoleh. Menatap lurus dua makhluk kerempeng yang baru saja keluar dari salah satu ruang kelas dengan beriringan.

Sasuke mengikuti pandangan Sai. Mencebik samar kala ingatan tentang kejadian kemarin kembali menyerbu pikirannya. Pemuda itu mendengus iri saat melihat betapa mudahnya Utakata berkeliaran di sekitar Naruto tanpa pernah bertengkar.

Mata Sai memicing. Melirik dengan pandangan menelisik. Menerka sebab rengut samar yang terpancar dari paras Uchiha kala menatap sang Namikaze.

Lantas, senyum ejekan terulas di bibir merahnya.

"Wah, sepertinya benar doaku akan segera terkabul. Namikaze memang diciptakan untukku. Kau sedang bertengkar dengannya kan? Cepat- cepat putus, ya. Hari ini aku akan mengajakknya pulang bersama-"

..
..
..

"Sedang marahan sama Sasuke?" tanya Utakata.

Naruto kicep.

Sungguh pertanyaan dari sahabat karibnya itu membuat perutnya mual seketika.

"Jangan marahan lama- lama."

"Sok tahu-"

"Wajahmu sudah curhat lebih dulu padaku. Jadi jangan berkilah."

Hening sejenak.

Naruto menatap punggung tegap kawan karibnya dari belakang. Membatin betapa pengertiannya pemuda itu meski lebih sering berkelakuan ajaib, hingga ia terkadang lupa jika Utakata adalah manusia sejenis Sasuke yang bisa saja jadi pacarnya kalau dia mau.

Karena memang selama dua setengah tahun kehidupannya di SMA, Utakata lah yang paling dekat dengan dirinya dan mengenal hal remeh temeh dalam hidupnya.

Utakata memang pemuda yang baik. Di saat- saat tertentu.

Dia sahabat yang baik dan paling enak dikerjai.

Tetapi tidak untuk dijadikan pacar. Naruto tidak berminat sedikitpun untuk menjadikan kawan mainnya ini sebagai cinta monyetnya. Selain karena dirinya sudah punya Sasuke, Utakata itu bukanlah monyet, dia sejenis manusia yang hidupnya boros, makannya banyak, ngomongnya juga banyak, pokoknya menyusahkan.

"Mikir jelek ya?" Utakata menoleh. Menampilkan kerut samar di dahinya yang berkeringat.

Naruto mendongak.

"Iya. Kok tahu?"

"Tahu donk. Pacarmu lagi?"

"Bukan."

"Lantas?"

Seringai kecil jadi balasan. "Penting ya tahu semua urusanku?"

Utakata mendecak malas. Kembali memunggungi si pirang dan berniat melanjutkan langkahnya yang tertunda ketika sesosok manusia kelam menghadang di depannya.

"Sasuke? Ada perlu apa?"

Ketiganya berpandangan. Tidak kok. Cuma Sasuke dengan si kuning Naruto yang sibuk bertukar tatapan. Beda cerita dengan Utakata yang tatapannya bertepuk sebelah tangan.

Uchiha muda tampak kesal. Raut wajahnya begitu serius dan seolah ingin menerkam. Pemuda itu menarik nafas panjang dan bertanya cepat.

"Pilih aku, Sai apa Utakata?"

"...."

"...."

"Hah?" bagai orang dungu si pirang membeo.


"Sinetron," dengus Sai malas.

.. .. ..

Ini garing, saya tahu.

Maaf untuk komentar2 yg gak smpat saya balas. Maafkan daku 😢😭 😚😚😚

Enemy, oh, my enemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang