Dua belas hari berlalu. Gue belum nemuin bukti apapun. Keadaan masih sama. Revi yang masih jauhin gue. Terus, pas ngumpul GJC gue ngerasa canggung. Terakhir, Angga dia makin jarang ngumpul sama gue, Fikri, dan Tito.
Masih ada waktu dua hari buat gue nemuin bukti. Gue berharap bisa menemukan bukti itu. Namun, gak ada salahnya kan kalau gue mengucap say goodbye di siaran kali ini. Meskipun secara tersirat, karena peraturan saat siaran radio di Garuda Insan Muda kita dilarang menceritakan masalah pribadi.
"OK, Gindaners semua masih bertahan sama gue Alvin,"
"Dan gue Qila," ucap Qila. Menarik napas dan mengembuskannya untuk memulai closing yang udah gue rencanain. "Segala sesuatu di dunia ini pasti memiliki pasangan dan tentunya berkebalikan. Laki-laki dan perempuan, siang dan malam, ataupun cinta dan benci. Seperti halnya dengan pertemuan pasti ada perpisahan."
"Bertemu dan berpisah sudah menjadi suratan takdir manusia. Entah karena apa dan entah dengan siapa bertemu dan berpisah itu akan terjadi," lanjut gue.
Melirik ke arah Qila matanya berkaca-kaca. Dia udah gue anggap adik sendiri dan sebaliknya. Pastinya dia gak rela kalau gue gak siaran radio lagi di sini. Gak ikut ngumpul bareng lagi di GJC.
"Nggak kerasa udah 60 menit kita nemenin Gindaners di acara Nostalgia." Qila menahan agar suaranya tidak terdengar bergetar ke pembaca dan berusaha untuk ceria.
"Mohon maaf kalau kita ada salah-salah kata dan beberapa request yang belum sempat diputerin."
"Jangan khawatir Gindaners, karena minggu depan kita pasti bakal balik lagi buat nemenin kamu," ujar Qila.
"Insyaallah," timpal gue. "Terakhir kita puterin lagu dari Samsons Kenangan Terindah."
"See you next time and goodbye," ucap gue bersamaan dengan Qila.
Setelah beres siaran radio, gue dan Qila membersihkan studio GJC. Yap, jadwal piket studio GJC sama seperti jadwal siaran radio.
"Bang Alvin," panggil Qila lirih air mata menetes dipipinya. Sekarang kita lagi duduk di tengah studio GJC. Bukan di ruang siaran.
"Ngapain lo nangis, heh. Muka lo jadi jelek gitu," respon gue tersenyum. Seolah mengatakan kalau gue baik-baik aja.
"Lo jahat, Bang. Bentar lagi hari Rabu. Sampai sekarang lo masih belum punya cara buat bertahan di sini. Lo tega ya mau ninggalin gue." Qila emang biasa panggil lo-gue. Disaat yang lain panggil gue kakak dia malah panggil gue abang.
"Lebay lo ah. Kalau gue udah gak di GJC kan masih bisa ketemu di kantin atau lo ke kelas gue gitu. Lo ngomong gitu seolah gue mau pergi jauh."
"Bukan lebay ih. Nanti gue siaran sama siapa? Masa pas siaran gue jomblo, Bang."
"Kan bisa digantiin dulu sama siapa gitu. Atau nanti diganti kak Zaky atau kak Angga dulu."
"Gak mau sama yang lain, Bang. Kak Zaky galak. Kak Angga judes. Mending sama lo lah baik, gak pernah marah, terus ramah." Qila mengusap pipinya menghapus air mata. Walaupun masih tetap aja bercucuran.
"Tumben lo muji gue. Biasanya lo bilang gue nyebelin, jail, terus bilang lelucon gue garing. Iya, kan? Udah ih jangan nangis lagi. Sini-sini gue peluk adik kesayangan kedua," ajak gue. Ini bukan memeluk sih lebih tepatnya merangkul. Rangkulan seorang adik kakak gak lebih.
"Dua hari lagi, Bang," dia sesenggukan. "Cari buktinya, ya. Gue percaya lo nggak mungkin langgar peraturan GJC. Pokoknya gue mau lo tetep di sini."
"Iya, nanti gue berusaha. Udah ya jangan nangis lagi. Jelek muka lo kalau nangis." gue mengusap-usap lengannya.
"Lo selalu ngancurin suasana. Nyebelin kek biasanya," ucap Qila dan memukul perut gue.
Qila melepas rangkulan ini. Gue menangkup wajahnya menghapus air mata yang tersisa. "Gue seneng ada satu orang yang percaya kalau bukan gue yang nyebar berita itu. Gue bakal berusaha supaya bisa tetep bertahan di GJC. Kalaupun gue gak bisa bertahan, lo gak usah sedih. Seperti yang gue bilang tadi kita masih tetep bisa ketemu. Dan lo tetep adik kesayangan kedua setelah Alvira."
"Gue berdoa supaya lo tetep bertahan di GJC," ucap Qila. Melihat jam dinding yang sudah menunjukan pukul setengah enam. "Udah jam segini. Gue pulang duluan ya, Bang. Atau mau ke gerbang bareng?"
"Nggak lo duluan aja. Gue masih mau di sini dulu. Masih ada yang harus diberesin."
"Apaan? Biar gue bantu dulu."
"Ada deh, gak usah kepo. Sana pulang udah sore. Hati-hati bawa motornya jangan ngebut."
"Okay deh, Bang. Bye!" Qila melambaikan tangan dan meninggalkan gue.
Udah hampir dua tahun selama di sekolah gue menjadi bagian GJC. Keluar masuk studio buat ngedit video, numpang wifi, kalau kelas lagi bebas numpang tidur, numpang ngerjain tugas dan lainnya. Dua hari lagi mungkin gue nggak bisa ke sini lagi. Yang punya akses masuk studio hanya anggota GJC, sedangkan gue nantinya udah bukan anggota.
Gue menyerah. Tadi sekedar membuat Qila tidak sedih lagi. Gue masih diem di sini buat membereskan sisa kenangan. Nantinya gue nggak bakal ke sini lagi. Anggap aja ini terakhir kalinya gue di studio.
Gue menyentuh piagam penghargaan film pendek yang pernah tim GJC raih. Gue juga ikut dalam tim itu, tapi nanti nggak lagi. Menyentuh komputer serbaguna yang sepertinya sudah dikontrak anak GJC untuk mengerjakan tugas. Gue pasti bakal kangen kegiatan hari Senin pagi harus ngedit video wawancara ketar-ketir selama 15 sampai 30 menit.
Saat gue akan beranjak pergi. Gue melihat buku harian nyempil diantara meja pendek komputer dan CPU. Warnanya merah muda dengan lambang A R. Setelah menimbang akhirnya gue memilih untuk membawanya pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journalist #ODOCTheWWG
Teen FictionCover by @WidyaOktav Gue Alvin Chandra Dirgantara. Kelas 11 IPS 3 di SMA Garuda. Hanya siswa biasa yang tergabung dalam ekstrakurikuler jurnalistik di sekolah. Gue seneng bisa tergabung dalam ekstrakurikuler jurnalistik. Wawancara, membuat berita se...