Tatapan Penuh Arti - Part 21

572 15 0
                                    

       

Judul koran hari ini : Donasi Pak Husein Membantu Dua Ratus Anak Berkebutuhan Mental Terobati. Anaz membacanya dengan tersenyum. Ia segera menghampiri Joseph di kelasnya. Anaz berlari dengan bersemangat.

"Kau hebat juga," Anaz mengatakannya dan spontan memeluknya walau hanya beberapa detik sampai ia sadar.

Joseph hanya mengangguk dan memberi isyarat untuk memelankan suaranya.

"Gambar dan informasi yang kukirimkan berguna juga," Anaz bergumam dengan senang. "Bagaimana kau bisa berhasil menulis judul terbesar di koran?"

"Aku mengatakan aku memiliki data berupa fakta dan foto mengenai berita yang belum pernah diunggah sebelumnya," Joseph tertawa dengan bangga.

Di artikel itu, terpajang foto Anaz memakai kemeja berwarna biru tua sedang tersenyum kepada anak berkursi roda yang terlihat rapuh. Anaz menyukai sekali foto candid itu. Ia terlihat dermawan dan manis.

"Diantara sekian banyak foto, mengapa memilih fotoku yang ini?" Anaz adalah orang yang cinta pujian. Ia akan memancing obrolan hingga titik di mana ia bisa dipuji.

"Anak kecil itu lucu," Joseph menjawab dengan datar.

"Tunggu, memang benar. Tetapi bagaimana denganku?" Anaz mulai memanas karena malu dengan dirinya sendiri.

"Kau...lumayan," dia menjawab dengan nada yang datar seolah memang itu kenyataannya.

Anaz mengerang dan melemparkan tatapan menggemaskan pada Joseph.

Saat sampai di rumah, Anaz menghampiri kedua orang tuanya yang baru saja rapat dengan anggota dewan. Anaz jarang sekali berbicara sesuatu yang penting.

"Kalian sudah membacanya?" Anaz bertanya pada wajah kedua orang tuanya yang terlihat gembira.

"Tentu," Ibunya menjawab dengan wajah berseri.

"Sejujurnya, itu berkat bantuan temanku yang bekerja paruh waktu di sana. Aku memintanya menuliskan sesuatu yang baik untuk kita. Dan ia menuliskan itu," Anaz mengangkat jempolnya dengan penuh percaya diri.

"Oh, benarkah? Ajak ia makan-makan kalau begitu," Ayahnya dengan cepat menjawab. Wajah Anaz berbinar. Jantungnya berdegup kencang. Ia lebih pintar dari yang ia bayangkan, rupanya.

"Kalian tidak keberatan jika makan malam bersamanya?" Anaz bertingkah meragukannya padahal ia begitu tertarik.

"Siapa tahu temanmu memilih Dad saat pemilihan umum. Tentu saja tidak masalah," Ayahnya dengan cepat menjawab.

Belum pernah Anaz melihat kedua orang tuanya berseri-seri seperti ini. Berarti, perasaan hati mereka sedang bagus.

Anaz berhasil menyelesaikan misi, berbicara pada orang tuanya. Kemudian, ia segera menghubungi Joseph dengan perasaan senang.

"Kau diundang!" Anaz bersemangat sekali.

"Benarkah?" Joseph tidak terlalu bersemangat, karena memang nada bicaranya selalu datar. "Kapan aku harus datang?"

"Besok malam. Tenang saja, Ayahku akan menyuruh supir dinas untuk menjemputmu," Anaz dengan bangga mengatakannya.

"Itu benar-benar menakutkan," gumam Joseph.

"Jadi, pastikan kau memakai pakaian sopan dan mahal. Karena kami sekeluarga akan sangat terlihat mahal," Anaz menambahkan dengan polosnya.

"Tentu saja," Joseph menjawab dengan singkat.

"Mengapa terdengar seperti aku yang begitu antusias?" sejenak Anaz menyadari ketimpangan reaksi diantara mereka.

"Ini membuatku gugup, Anaz. Aku bertemu dengan keluargamu sama dengan bertemu Gubernur dan istrinya. Berbeda dengan kamu bertemu Ibuku, wanita kantoran biasa," Joseph menjelaskan dan itu terdengar masuk akal.

PAINFUL LIES (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang