Peluh keringat pria diujung jalan sana membuat Dila menghela nafas. Kasihan. Kulit hitam mengkilat, pelipis yang penuh keringat, tangan penuh debu. Dila saja, dulu sepulang sekolah sambil menaiki sepedanya, masih sering mengeluh karena panas. Orang itu apa kabar?
Pria itu seorang tukang. Tukang bangunan yang sedang mencampurkan semen, pasir dan air. Kira-kira usianya empat puluhan. Tebak Dila.
Dari ujung lampu merah, berlari seorang gadis kecil dengan seragam merah putih khas, tas karung juga tersampir dibahunya. Dila terdiam. Gadis kecil itu. Gadis kecil itu memakai tongkat dari kayu. Tongkat yang seolah dibuat sendiri dari pengrajin atau sejenisnya.
Beberapa langkah lagi, gadis kecil itu terjatuh. Tentu saja. Bodoh. Memakai tongkat dan berlari. Dua kolaborasi yang membuat Dila memalingkan wajahnya kesal. Namun, wajah gadis disana tetap ceria. Kontras dengan mimik pria tadi, panik bukan main.
Pria itu memeriksa mulai dari wajah, telapak tangan dan kaki. Saat bagian lutut, pria itu terlihat menasihati. Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Senyumnya masih sama.
Mereka berdua adalah ayah-anak. Tebak Dila.
Gadis itu memberi sebuah kertas kepada pria yang tak lain ayahnya. Ayahnya terlihat sumringah, berlutut kemudian memeluk anaknya erat. Gadis itu terbatuk. Baju ayahnya penuh debu membuat saluran pernafasan gadis itu tersumbat.
Ayahnya terlihat panik lagi. Menepuk bahu anaknya sambil bergeser sedikit. Takut menyakiti anaknya lagi. Gadis itu seperti mengomel. Kali ini, situasinya terbalik.
Lucunya.
Dila menumpu dagunya dengan lengan yang menyikut. Masih setia menonton dua manusia diseberang sana. Diselingi es rasa kopi-susu kesukannya. Tidak lupa kue coklat juga. Sudah lama juga ia tidak menyaksikan hal sederhana seperti ini. Karena biasanya saat berjumpa, Dila akan berusaha menghindar.
Tiba-tiba datang seseorang dengan kemeja putih mendekati pria dan anaknya. Berbincang sebentar kepada ayah dari gadis periang itu kemudian berlalu pergi begitu saja. Dari tempatnya, Dila melihat raut sang pria, sementara si gadis tersenyum hangat.
Senyum itu terasa seperti menyemangati. Tanpa ragu, Dila juga ikut tersenyum. Gadis itu memang membawa aura positif.
Sang ayah sepertinya ingin berpamitan. Ia memeluk putrinya, kemudian lanjut kerja. Gadis kecil itu tersenyum terus hingga ayahnya terkelam dibelokan. Ada yang aneh. Senyum gadis itu terkubur dengan raut datar. Tidak terlihat jelas. Namun gadis kecil itu terlihat menyapu pipinya. Kemudian tersenyum cerah lagi, walaupun tak secerah sebelumnya.
Yang membuat Dila panik adalah kejadian setelahnya. Kerumunan orang mulai terlingkar disatu titik. Mengeliling suatu hal yang membuat Dila terdiam kaget. Dila tak menyangka sama sekali. Dadanya sesak. Ia ingat rasa ini, sama seperti saat ia gagal menyembuhkan pasiennya. Sakit sekali.
Dila mengambil tas nya buru-buru.Tangannya merogoh kedalam tas, digenggamannya sudah ada kunci mobil. Ia menorobos kerumunan, berteriak untuk siapapun segera menelfon ambulans. Ah sial. Dila menyuruh orang-orang disana untuk membawa gadis itu kedalam mobilnya.
Sebelum pergi, Dila menoleh ke belakang, menarik tangan ayah dari gadis itu. Ayahnya syok, tentu saja. Ayah-anak itu sudah duduk dibelakang jok mobil Dila. Dila sendiri sudah tergesa menuju rumah sakit tempatnya bekerja. Lagipula rumah sakit itu juga yang terdekat.
Buru-buru menyuruh orang UGD untuk membawa gadis kecil itu. Baiklah. Sudah ada rekan kerjanya yang mengurus. Tugas Dila sekarang adalah menenangkan ayah dari si gadis. Ayahnya dari tadi hanya diam. Jujur saja itu membuat Dila takut.
"Pak?"
"Anak saya tidak apa-apa kan, mbak?"
"Bapak harus tenang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost Hope ✔️
Short StoryBagaimana harapan itu direnggut. Meruntuhkan senyum hangat seseorang.