PG 42 # not Ending

807 116 54
                                    

2000Kata+ ini agak panjang. Dan semoga dapat feeliya, ghamsa.....

####

4 bulan berlalu.

Aku menyusun buku belajar Seyi. Hari ini adalah seminggu ia masuk sekolah. Sesuai dengan peraturan di keluarga Myung-soo. Anak yang berusia 5 tahun. Harus mulai masuk sekolah. Kurasa itu bagus. Untuk perkembangan sosialnya juga. Saat seminggu setelah ulang tahunnya. Aku di beri ultimatum oleh ibu Myung-soo. Bahwa itu adalah kewajiban orang tua di korea.

Tapi karena aku merasa masih sangat kecil untuk Seyi sekolah, awalnya aku agak keberatan. Tapi saat aku melihat sendiri Seyi kurang dekat dengan teman-teman seusianya. Aku baru sadar. Bahwa memang seyi harus disekolahkan.

Dan hari ini, aku sangat sedih. Karena selama ia masuk sekolah. Aku yang selalu mengantarnya dan menemaninya. Tapi aku juga tidak bisa melepas tugasku di cafe. Jadilah aku harus rela melepas kan Seyi. Aku hanya akan mengantarnya dan menjemputnya saja. Tidak menemaninya.

Ya Tuhan hatiku sangat sakit jika memikirkan harus meninggalkan Seyi sendiri. Walau aku tahu, bahwa di tidak sendirian.

"Ya ampun.... Kau masih saja menangis, kau lebih cocok dipanggil Adik seyi, Seyi saja tidak menangis, dia malah senang." keluh Myung-soo tepat saat dia keluar dari kamar mandi.

Dia memang selalu menganggu ku dan meledekku setelah kemarin. Saat aku curhat masalah 'aku tidak bisa mengantar jemput Seyi lagi' dia terus-terusan bilang bahwa aku cengeng, untung tidak mempunyai anak laki-laki.

Karena anak laki-laki, pasti wamil. Tapi menurutku, apa bedanya laki-laki dan perempuan. Kelak nanti, mereka akan meninggalkan kita saat mereka memutuskan mempunyai rumah sendiri. Yah berumah tangga.

aku memberi tatapan datar padanya. Dan membawa ransel Seyi.

"mau kemana?" dia menahan pundak ku dan mengadakan badanku padanya.

"kekamar Seyi. Mau membangunkan dia," jawabku datar.

Mata Myung-soo melirik ke dinding. "Ini masih sangat pagi, jam 3 pagi."

Aku melirik juga jam. Sial!!! Aku menyingkirkan tangannya, dan berkecak pinggang. "Dengar,  setidaknya, dikamar Seyi, aku tak akan diledek."

Myung-soo tersenyum manis, "aku tidak serius. Aku hanya menghawatirkan mata cantikmu," dia menarik turunkan alisnya membuatku memutar mata.

"bukannya mengkhawatirkan anakmu. Kau malah menghawatirkan mataku."

Aku berjalan menjauhinya. tapi dihentikan kembali oleh panggilan nya.

"Jiyeon, jangan marah, aku tahu kau sedang tidak rela melepas Seyi sendiri. Tapi disana ada orang-orang yang bisa dipercaya. Toh jam sekolahnya tidak akan membuat kita terlalu lama melepasnya. Dan lagi. Mengapa kau menolak tawaran  eommaku untuk menemani Seyi"

Aku menatapnya ragu. Lalu menggeleng. "Aku tidak bisa menyusahkan Eomma mu lebih-lebih lagi."

"Tapi Seyi kan cucu nya. Dia tidak akan kesusahan. Malah dia akan senang."

"Tidak Myung-soo. Ini sudah kita bahas. jangan di perpanjang lagi."

dia menarikku ke pelukan nya, dan dia akan mencari tempat yang Nyaman di rambutku. Aku sudah terbiasa dengan sikapnya akhir-akhir ini. Sungguh membuat aku selalu luluh.

"Hmm harum. Lily" Gumanya.

Aku melingkarkan tanganku di pinggang nya. Dengan masih memegang ransel Seyi. "aku tidak seharum dirimu."

"Hmm... Aku tahu aku sangat harum, hingga membuatmu mabuk."

"Yah, aku tahu, dirimu adalah kelemahanku." tuturku sembari menenggelamkan kepalaku dilehernya.

Magic CupcakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang