.Anggap saja aku memang gila. Menangis, berteriak, mengumpat yang entah kutujukan untuk siapa. Lalu berakhir di pojok ruangan dengan penampilan yang kacau.
Aku rasa ini sudah 2 jam sejak aku pergi ke kamar dan menjadi 'orang gila'. Sekarang aku mulai tenang tanpa bantuan obat sialan yang tidak ada efeknya sekalipun. Aku menghela nafas berat sambil memperhatikan jam diatas pintu yang menunjukkan pukul 9.10 malam. Pestanya sebentar lagi selesai— perasaan takut itu kembali menyelimutiku.
Tok ... tok ...
Seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku semakin takut. Bagaimana jika yang mengetuk adalah pria itu, tapi bagaimana jika pak Wonwoo, Seungkwan, ataupun orang tuaku?
Aku tak beranjak dari tempatku. Menatap takut serta ragu kearah pintu bercat putih itu."Myung-ah, aku tau kau didalam." Suara Seungkwan.
Aku membuka pintu-nya, hal yang kulakukan selanjutnya adalah memeluk Seungkwan. Menenggelamkan kepalaku di dadanya, menangis seperti anak kecil yang manja.
Aku terlalu takut, bahkan untuk bertemu siapapun, selain Seungkwan dan orang tuaku tentunya."Hei, ada apa? Kenapa kau menangis?" Tanya Seungkwan yang tak aku gubris sama sekali.
"Ayo kita masuk, dan ceritalah pada kami." Aku mendongak begitu mendengar suara rendah yang Menenangkan.
Bodohnya aku yang memeluk pria lain dihadapan Om-om yang kini menjabat sebagai suamiku.
Ada rasa bersalah melihat pak Wonwoo yang berjalan masuk ke dalam kamar.
Aku sadar, jika kini statusku bukan lagi 'single', tapi aku tetap melakukan kebiasaan yang kurasa membuatku pak Wonwoo muak."Kalian bicaralah. Aku akan kembali ke pesta." Ucap Seungkwan yang sangat aku tolak.
Tapi sayangnya Seungkwan salah satu orang yang tidak bisa kubantah. Jadi aku melepaskan pelukanku pada Seungkwan, sebelum pria itu mendorongku masuk dan menutup pintu.
Apalagi sekarang?
Apa-apaan dengan tatapan tak bersahabat dari pria yang sedang duduk di sisi ranjang itu?
"Jadi ....."
"Suami kamu itu Seungkwan atau saya?"
Satu pertanyaan mudah, tapi aku tidak bisa menjawabnya.
Pak Wonwoo adalah suamiku, tapi aku tetap memperlakukannya sebatas mahasiswa dan dosen.
Seungkwan, sahabat sekaligus kakak-ku. Hampir 15 tahun aku bergantung padanya, mengikutinya, menceritakan semua kisahku padanya, tumbuh bersamanya. Bagaimana bisa aku menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang selalu kulakukan saat ada Seungkwan?"I-itu..." aku menunduk karena tidak tau harus menjawab apa.
"Suami kamu, Boo Seungkwan atau Jeon Wonwoo? Jawab!" Suara tegas yang diikuti langkah kaki lebar membuat nyaliku semakit ciut.
"Jeon... Wonwoo." Lirihku tepat saat pak Wonwoo berada dihadapanku.
Disaat aku masih sibuk dengan Ketakutanku, aku yang memang masih didepan pintu terdorong kebelakang, menabrak pintu kayu dengan pelan — bersamaan dengan aku merasakan pelukan hangat.
Demi apa?
Pak Wonwoo memelukku?Aku mendongakkan kepalaku untuk melihat wajah dingin pak Wonwoo. Tapi yang kulihat adalah kepala pak Wonwoo yang bersandar pada pintu, matanya terpejam seperti menahan sebuah penderitaan.
"Saya nggak suka kamu manja kayak gitu sama Seungkwan."
📭📮📭
"Yang mau konsultasi judul skripsi, ke ruangan saya sekarang." Kata-kata terakhir yang dilontarkan dosen triplek itu sebelum keluar kelas.
Dan tentu saja diikuti suara berisik dari mahasiswa lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] MOON RISE - JEON WONWOO
Short StoryPertama - Aku belajar agar tidak menangis saat tidak disisimu. Kedua - Untuk tidak pernah berjalan seorang diri Ketiga - Meski itu sangat sakit, aku mencoba untuk tidak memanggil namamu, ataupun mencoba mencari dekapan hangat tanganmu.