Flash Fiction

19 1 0
                                    

Pertama kali aku melihatnya ketika kami saling berpapasan di zebra cross dekat toko buku lima tahun yang lalu. Dia berjalan sendirian membawa seikat bunga mawar putih. Aku mengingatnya dengan sangat jelas karena ia begitu mencolok. Pakaiannya berwarna hitam dari kemeja panjang, celana sampai sepatunya. Warna kulitnya yang cerah terlihat begitu kontras dengan apa yang ia kenakan.

Ketika kami berpapasan, aku melihat ia berjalan sembari membaui bunga di tangannya. Ku lihat wajahnya berseri. Sangat menarik perhatian. Bukan karena wajahnya yang tampan -karena memang tampan-, melainkan karena aura bahagia yang keluar dari dirinya. Kostum hitam-hitam bak batman-nya sama sekali tidak mempengaruhi kharisma yang menguar dari tubuhnya. Alih-alih seperti suasana duka, situasi di sekelilingnya tampak berseri bak negara empat musim di awal musim semi.

Setelah berpapasan dengannya, aku diam-diam mencuri pandang. Penasaran dengan tempat yang ia tuju. Aku duduk di bangku terdekat yang ada di jalanan tersebut. Aku langsung membuka buku dari tasku. Pura-pura membacanya alih-alih memutar bola mataku mengikuti lelaki tadi.

Ku lihat ia berjalan agak jauh ke kanan setelah menyebrangi zebra cross. Dia memasuki sebuah cafe yang masih dalam jarak pandangku. Sekejap setelah dia memasuki cafe tersebut, aku berniat beranjak dari sana. Tetapi, ternyata lelaki itu duduk di sisi cafe dekat kaca yang sekaligus adalah dinding cafe tersebut. Memunggungiku. Meski begitu, aku langsung bisa mengenalinya.

Ia duduk bersebarangan dengan seorang wanita. Hanya dipisahkan oleh sebuah meja bulat. Wanita tersebut berambut panjang sepunggung? Aku tidak yakin. Agak bergelombang, berwarna hitam tanpa polesan warna lain layaknya perempuan zaman itu dan berponi manis.

Aku melihat wanita itu tersenyum ketika si lelaki duduk di hadapannya.
Bunga yang lelaki tadi baui langsung diberikan kepada wanita itu. Semakin lebar lengkung bibirnya.

Mereka berdialog, tentu saja aku tidak mampu menafsirkan apa yang mereka perbincangkan. Aneh, aku malah asik memperhatikan sepasang merpati di balik cafe tersebut alih-alih melanjutkan perjalananku menuju toko buku.

Seorang pelayan cafe mendatangi mereka dan mencatat menu yang mereka pesan. Begitu si pelayan pergi, mereka berdua melanjutkan obrolannya. Terkadang diselingi tawa dari si wanita. Dan aku dapat melihat gerak tubuh si lelaki yang sedang tertawa kecil. Mereka masih saling bertukar cerita. Cukup lama sampai si pelayan kembali ke meja mereka. Membawa menu pesanan dan kembali pergi.

Ku lihat gerakan tangan si lelaki yang mengambil secangkir teh? Atau kopi? Menyesapnya perlahan. Sedangkan si wanita masih bercerita. Mungkin tentang pekerjaannya seminggu ini? Sesekali masih diselingi dengan tawa dari keduanya. Aku? Kenapa aku ikut tertawa melihat mereka? Sampai sekarang aku masih mengherani diriku sendiri.

Cukup lama mereka berdua berada di cafe tersebut. Aku masih betah duduk di kursi jalan itu. Aksesoris yang ku gunakan untuk berkamuflase pun telah berubah menjadi sebuah komik.

Setengah jam kemudian, keduanya beranjak dari cafe tersebut. Aku bersiap namun ku usahakan tetap tenang agar mereka berdua tidak menyadari keberadaan dan gelagatku yang tidak lazim --mengamati mereka--

Tidak lama mereka sudah berada di ujung zebra cross. Masih saling berdialog. Seikat mawar putih tadi dibopong oleh si wanita yang juga mengenakan terusan berwarna putih selutut. Rambutnya panjang sepunggung. Warna kulitnya cerah, berwajah tirus dan bergingsul. Ku lihat ia mengenakan heels berwarna dusty pink. Sekejap aku takjub dengan rupa wanita itu. Terlebih ia bersanding dengan lelaki tadi. Kontras. Sangat kontras namun indah di waktu yang bersamaan.

Mereka menunggu lampu berubah warna sambil terus asik bercerita. Lampu hijau menyala, mereka langsung melangkahkan kakinya. Aku bergeming di balik sebuah komik bak patung. Buru-buru aku alihkan pandanganku ke depan komik karena mereka semakin mendekat.

"Tiiiiiinnnnnnn tiiin tiiiiin tiiiin"
Aku mendongak ke arah suara. Aku spontan berdiri, komik di tanganku terjatuh. Kejadiannya sangat cepat. "Awasssssss!!!!!!!!!" Lagi, spontan aku berteriak kepada lelaki dan wanita tadi. Mereka terkejut, tetapi membeku di tempatnya. Sedetik kemudian, benar-benar sedetik kemudian ku dengar bunyi yang sangat keras.

"Brakkkkk" mobil sedan berwarna hitam dengan kecepatan tinggi yang kehilangan kendali menabrak sepasang kekasih yang dari satu jam lalu aku amati. Mereka terpental hampir sejauh 7 meter dari zebra cross. Sedangkan mobil sedan tadi membelok ke kiri dan berhenti dengan paksa setelah menabrak toko sepatu.

Kakiku lemas. Kejadian yang baru saja terjadi di depan kedua bola mataku sangat cepat dan sangat tragis. Aku bingung, ketakutan, dan gemetar. Aku melihat sepasang kekasih tadi terpental berdekatan. Wajah mereka saling berhadapan, sedangkan tubuh mereka berjauhan. Seikat mawar putih yang tadi dibawa oleh si wanita kini berada di ujung kaki si lelaki. Tangan mereka saling mendekat namun gagal terkait.

Tanpa ku sadari, pipiku basah dan mataku menghangat. Aku menutup mulutku rapat-rapat namun aku gagal membendung air mataku. Aku terisak. Dadaku sesak. Hatiku sakit. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya bisa menangis menyaksikan kejadian itu.
Tak lama, orang-orang berkumpul. Masih menangis, aku dengar seseorang menelepon 119 dan rumah sakit.

Setelahnya, aku tak ingat lagi. Badanku berat, begitu juga dengan kedua kelopak mataku. Semua gelap.

Di antara MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang