CHAPTER 2

112 3 0
                                    

Mungkin, sebab perjalanan jauh dan rangkaian panjang renovasi interior rumah barunya di Bandung, Aldo tidak kunjung menyadari seberapa lama hari telah berlalu. Baru saja kemarin pagi ia datang dan mengikuti tes masuk, di pagi hari berikutnya, si pemuda sudah disuguhkan dengan pemandangan dua kumpulan siswa yang saling berseberangan. Dengan masing-masing kubu hanya dihubungkan oleh seutas tali tambang yang mereka tarik menjauh dari area lawan. Sorak heboh para siswa turut meramaikan suasana pagi sekolah yang akhirnya berakhir bising.
Tidak jauh dari tempat Aldo berdiri dan diam memerhatikan, tali-tali plastik sudah menggantung dari tiang yang satu menuju tiang di seberangnya. Beberapa siswa dan siswi dengan atribut jas mengikat tali-tali pendek dari seutas tali panjang tersebut. Sebungkus plastik raksasa berisikan kerupuk teronggok di salah satu sudut tidak jauh dari mereka. Berikut botol-botol kosong dan beberapa nampan plastik ukuran sedang.
Udah 17 Agustus aja ternyata.
Riuh renyah perayaan tentu saja tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh Aldo. Lagian, siapa sih yang enggan menyaksikan kocak dan hangatnya perlombaan khas 17 Agustus ? Bahkan, Aldo yang notabenenya masih anak baru ini lebih mengesampingkan perasaan canggung ketimbang tidak melihat rangkaian lomba dengan mata kepalanya sendiri !
Si pemuda buru-buru lari ke kelasnya–tentu saja setelah sempat diberitahu oleh guru pengujinya kemarin. Setengah melempar tas ransel yang mau tidak mau harus ia biarkan tergeletak di samping meja guru. Lantas melangkah cepat untuk kembali menuju lapangan sekolah.
Aldo kira lapangan tidak bisa lebih ramai lagi oleh kerumunan siswa yang bersorak-sorai mendukung tim pilihan mereka. Nyatanya, ia terbukti salah menduga. Lapangan sekolah yang didesain agar menjadi sangat luas itu menjadi terasa sempit secara signifikan setelah Aldo ikut masuk ke dalam kerumunan.
Sayang sekali Aldo tidak mengenali satu pun wajah-wajah riang yang meramaikan lapangan. Alhasil, Aldo tidak bisa sembarang nimbrung dan bergabung memeriahkan acara. Semua orang sudah duluan sibuk dengan kebahagiaan masing-masing, sudah heboh duluan bersama teman akrab mereka, sudah terpatri fokusnya dengan tim yang berkompetisi.
Aneh rasanya merasa sendirian di tengah-tengah keramaian.
Lalu, di antara kerumunan itu, Aldo menemukan Dia. Dia yang membuat pandangan Aldo tidak lagi berlarian kesana-kemari. Sosok sama yang mencubit hatinya di anak tangga. Dia yang sekalipun tersembunyi di balik kerumunan, bisa Aldo deteksi dengan begitu mudahnya.
Cewek itu.. yang waktu pas daftar !
Tergerak oleh perasaan, Aldo melangkah mendekat. Menyelipkan diri dengan lincah di antara gerombolan-gerombolan yang entah bagaimana timbul dari kiri dan kanan. Tapi tidak masalah ! pokoknya Aldo akan menemui gadis itu. Dan kali ini, ia akan menyapa duluan !
Sayangnya, berencana memang jauh lebih gampang ketimbang melaksanakan rencana itu sendiri.
“ Ei !”
Aldo nyaris berjingkrak kaget oleh suara yang tiba-tiba menggema lantang dari belakangnya. Si pemuda menoleh cepat dan memasang wajah ramah yang dipaksakan, tentunya dengan kesal yang ditahan-tahan.
“ Hayu Bro ! jangan cuman liat-liat,”
Entah siapa manusia yang satu ini. Aldo tidak mengingat ataupun mengenalinya. Dan ia yakin lawan bicaranya itu juga demikian. Agak gelagapan, Aldo balik menoleh ke arah si gadis yang sudah dua hari mengisi hatinya. Namun, sosoknya tidak lagi di sana. Bahkan tidak se-senti pun menyempil di antara kerumunan yang sempat menjadi tujuannya tadi.
Pupus sudah harapannya untuk menghampiri ‘sang cewek’ hari ini.
“ Ayok ! Bentar lagi mulai.”
Bahunya ditepuk dua kali. Dan untuk kali kedua Aldo kembali disadarkan ke realita.
Ia sungguhan tidak bisa menemui si gadis.
Kalau begitu bisa dicari besok kan ?
Atau mungkin nanti ?
“ Hayuk !”
“ Ah iya-iya....” Akhirnya Aldo merespons siswa yang ramahnya justru membuat agak jengkel ini.
“ Sori-sori !”
Dengan berat hati ia melangkah mengekori siswa yang tanpa sebab itu mengajaknya untuk ikut serta secara aktif dalam perlombaan. Setidaknya, Aldo bergumam dan pikir seperti ini; Aku tidak merasa kesepian.
*******
Kalau Aldo ingat-ingat lagi, kegiatannya semenjak tadi pagi hanya diisi oleh kegiatan-kegiatan monoton saja. Sejatinya sih tidak banyak yang ia lakukan–maka dari itu ia menjadi suntuk sekali. Ia hanya sibuk duduk, mendengar orang-orang di sebelahnya mengoceh dan mengomentari pertandingan, lalu balik ke kelas setelah acara diumumkan selesai. Susunan perlombaan pun sejujurnya tidak semenarik yang ia bayangkan. Hanya lomba tarik tambang, lomba makan kerupuk, lomba paku dan botol, dan lomba oper tepung, yang kemudian diakhiri dengan pengumuman jawara setiap cabang lomba sekaligus penyerahan hadiah.
“ Naah anak-anak,”
Ribut kelas teredam setelah wanita yang disebut-sebut akan menjadi wali kelas Aldo berucap lantang menarik atensi murid-murid. Mereka semua kompak memandang guru mereka, lalu mencuri pandang terhadap Aldo yang menunggu dengan tenang di pintu kelas.
“ Jadi hari ini kita kedatangan teman baru.” Lalu wali kelasnya Aldo itu ikut menoleh menghadap pintu yang sama. Melemparkan senyum ramah untuk si murid baru yang nantinya akan menjadi asuhannya selama di sekolah.
“ Ayo, masuk!”
Aldo mengiyakan sekilas sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas. Menghiraukan bagaimana sebagian besar murid memandangnya dengan penuh penasaran.
“ Yak, silahkan perkenalkan diri dulu....”
Sebagaimana orang-orang yang sebentar lagi akan menjadi rekannya itu memandangnya dengan fokus penuh, Aldo balik membidik setiap kepala mereka dengan sorot mata yang ditajamkan. Mencerna dan mengingat rupa mereka di memori. Satu per satu dari kanan ke kiri.
“ Oh, baik....uh....hai–“
Entah dari mana dan bagaimana caranya, Dia tiba-tiba hadir tidak jauh dari baris depan. Di area kiri kelas–dari sudut pandang Aldo tentunya. Tenang sambil menopang dagu memandang Aldo sang murid pindahan. Tidak ada satu pun siswa ataupun siswi di sebelahnya.
Apa bangku itu emang buat Aku ? 
Kalau bukan karena Aldo yang sadar diri untuk mempertahankan image kalemnya, si pemuda mungkin akan tersedak sendiri.
“ Hai, Saya Aldo dari Jakarta. Salam kenal semuanya.”
Lalu hangat menyeka punggungnya saat wali kelas meletakkan telapak tangannya di bahu Aldo. “ Halo, Aldo,” Balasnya ramah. Lantas mengarahkan tangannya menghadap bangku para siswa. “ Silahkan duduk.”
Mengangguk mantap, Aldo tanpa pikir panjang langsung melangkah ke area kiri kelas. Ia tersenyum sekilas saat sang cewek memandangnya balik. Yang membuat si pemuda keheranan, si gadis menembakkan ekspresi heran yang terlihat susah payah disembunyikan. Seolah-olah kedatangan Aldo ke mejanya benar-benar tidak terduga sama sekali. Layaknya suatu fenomena tak lazim. Oh, mungkin dia cuma bingung dan canggung, pikir Aldo sembari menggeret mundur kursi yang hendak ia duduki sejauh lima senti.
Hanya saja, kakunya raut wajah si gadis tidak kunjung reda bahkan setelah Aldo memalingkan kepalanya sejenak. Bermaksud untuk membiarkan siswi teman sebangkunya itu membiasakan diri.
Aldo kembali menghadap si lawan bicara. Mencari kepercayaan diri yang bisa-bisanya menciut di hadapan sosok perempuan di sebelahnya itu. Sementara si gadis tidak bergeming sedikit pun. Setia sekali menghindari Aldo sejauh yang ia mampu.
“ Ehem,” Si pemuda berdehem dengan pelan. “ Namamu siapa ? “ Tanyanya berusaha agar terdengar se-santai mungkin.
Gadis yang sedari tadi sibuk menjauhkan diri itu–betulan menciptakan jarak di antara dirinya dan Aldo–hanya mengerlingkan matanya memandang Aldo. Kepalanya bahkan hanya bergeser sedikit sekali. Sorot matanya bergeming dengan lirih, mencuri pandang dengan sangat hati-hati.
“ Aninda.”
Aninda
“ Halo, Aninda...salam kenal.” Sambung Aldo yang tiba-tiba berubah salah tingkah. Terlanjur bingung dengan reaksi ‘sang cewek’ yang terlihat bersikeras mengabaikannya. Sungguh berbanding terbalik dengan apa yang si gadis lakukan kepadanya ketika di anak tangga waktu itu.
“ Habis ini....pelajaran apa, nih ?”
“ Ga tau deh. “ Aninda sekedar menjawab dengan datar. Baru kemudian menoleh menghadap Aldo.
Atau melirik sosok yang ada di atas Aldo.
“ Coba tanya temen lain,”
“ Aldo ?”
Suara sang wali kelas yang Aldo ingat-lupa-lalu ingat lagi tahu-tahunya sudah ada di belakang sang siswa baru. Spontan Aldo berbalik dan menghadap presensi gurunya itu. Serius, wajahnya si pemuda tidak menyiratkan ekspresi bersalah sama sekali.
“ Kenapa kamu duduk di tempat perempuan?”
Duduk di tempat perempuan ? Aldo mengernyit mendengarnya. Pertanyaan wali kelasnya itu otomatis membuat si pemuda bolak-bolak memandang siapa saja yang berada di sekitarnya.
Benar rupanya. Mereka semua perempuan.
Gelagapan Aldo berdiri dari kursi yang dengan mandiri dan penuh percaya diri ia ambil tadi. Ia buru-buru meninggalkan bangkunya, dan berjalan cepat ke area kursi para siswa laki-laki yang berkerumun di sisi kanan kelas. Telinganya terpaksa ia tulikan sejenak dan otot wajahnya dikeraskan selagi murid-murid lainnya tertawa memerhatikan ketidaktahuannya yang terasa konyol.
Duuuh, derita anak baru.
Pada akhirnya, Aldo memperoleh bangku yang berada tepat di tengah-tengah ruang kelas. Tepatnya, dua bangku di antara area depan dan kanan kelas.
“ Mohon perhatiannya anak-anak !” Suara lantang wali kelas yang mengudara sukses menghentikan decit ribut para murid yang pastinya sibuk menggunjingi dirinya. Atensi mereka kembali tertuju pada sosok wanita paruh baya berseragam coklat kekuningan tua yang kembali mengambil posisi di depan kelas.
“ Dua minggu lagi sekolah akan mengadakan field trip ke Garut.”
Pecah sorak langsung berhamburan dan memekakkan telinga. Ributnya terjadi lagi dalam sekejap mata. Benar-benar instan dan seketika. Bisa Aldo pastikan hampir seluruh murid kompak mengangkat tangan mereka saking girangnya. Malahan, tidak sedikit yang sampai meluncur dari kursi untuk berdiri dan bersorak-sorai. Sang guru pun tampaknya tidak mempermasalahkan keributan mendadak yang timbul di kelasnya itu.
“ Ini....” Lantas wali kelasnya Aldo itu kembali ke mejanya. Menyampirkan beberapa kertas, map, dan dokumen yang sudah dibawa sebelumnya. Kemudian kembali lagi menghadap para murid yang menjadi tanggung jawabnya itu setelah memegang segepok kertas yang terlipat hingga berukuran seperempat kertas folio.
“ Ini surat edarnya.” Salah satu surat formal yang terlipat rapi itu ia angkat tinggi-tinggi. “ Pastikan kalian beri ke orang tua ya ?”
Lagi-lagi kelas bersorak mendengarnya.
“ Duuh...diem dulu. Denger Ibu dulu semuanya....” Seonggok kertas itu diletakkan begitu saja di salah satu meja siswi yang berada tepat di hadapannya. “ Tolong dioper ya ?” Titahnya ke siswi yang mejanya digunakan untuk meletakkan surat-surat itu.
Setelahnya, wali kelas baru Aldo tersebut sekali lagi menghadap para muridnya. “ Semuanya denger ! Karena nanti kalian akan diberi tugas kelompok selama di sana, maka sekarang kita akan bagi-bagi dulu kelompoknya.” Sang guru sigap kembali ke mejanya dan menarik satu map besar yang berisikan lembar absen siswanya di halaman pertama. Di dalamnya, setiap nama murid telah diberi kode angka tunggal yang bervariasi, mulai dari nomor satu sampai nomor lima.
“ Ibu sudah siapkan pembagian kelompoknya seperti apa. “ Ujarnya lantang. Mengalahkan kombinasi suara anak didiknya yang perlahan mulai mereda.
“ Perhatikan.”
Tidak peduli seberapa jengkelnya Aldo terhadap wacana menggiurkan tersebut, si pemuda tetap menurut dan mendengarkan, sekalipun tidak seksama. Setidaknya sebagai gestur hormatnya terhadap calon pendidiknya di pendidikan formal tingkat menengah. Pun jika ia memang berakhir melewatkan namanya sendiri, Aldo bisa kembali bertanya pada wali kelasnya, atau pada teman sebangkunya yang baru. Entah siapa pun namanya.
Nama demi nama asing bergulir dan terproyeksi seperti deru statis di rungu Aldo. Mereka semua dirapalkan seolah-olah dengan nada terdatar sejagat raya. Memicu rasa bosan. Dan sedikit demi sedikit menggantikan perasaan malu yang sebetulnya masih membuat kedua daun telinga Aldo memerah.
“ ....Aldo, dan Aninda. Kalian berlima di Kelompok Tiga.”
HAH ?! Serius itu ?! Aldo sontak bangkit lagi semangatnya. Matanya sampai membola saking terkejutnya ia akan keputusan tersebut. Ia akan ikut jalan-jalan ke Garut ! dan Aninda akan menjadi teman satu timnya selama di sana !
Tapi Aninda pasti sudah memendam kesal terhadapnya.
Tapi Aldo, entah atas dasar apa, percaya bahwa Aninda akan memaafkan kecerobohannya tadi. Toh, itu semua terjadi sebab ia tidak mengetahui aturan semacam itu di sekolah barunya.
Oke. Wacananya terdengar jauh lebih baik sekarang. Prospeknya bagus malah.
Sepertinya hari-hari Aldo akan kembali membaik.
*******

cinta pertama aldoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang