CHAPTER 3

93 4 0
                                    

Ternyata, mau siapa pun teman yang ikut serta bersamamu, field trip akan tetap berubah menjadi seru !
Terlebih lagi jika destinasi tujuannya adalah kawasan baru yang belum pernah kamu tapaki sama sekali !
Dengan tugas wajib yang tidak banyak–bayangkan saja, Aldo bersama teman satu timnya hanya perlu membuat satu video rangkuman perjalanan mereka.
Lalu, ada Aninda pula yang turut menjadi bagian dari kelompok perjalanan.
Siapa yang tidak berbahagia coba !
Belum lagi di video pribadi yang Aldo rekam sendiri selama perjalanan, sosok crush-nya itu pun sering kali nyempil di antara adegan maupun take yang si pemuda sengaja secara mendadak bidik. Saking seringnya, jika kamu memilih beberapa video ataupun foto secara acak, kamu akan menemukan sosok Aninda di dalamnya. Tersenyum manis ke kamera atau tengah bersantai bersama rekan se-tim Aldo yang lain. Entah ada berapa ratus video dan foto yang ia simpan di ponselnya, khusus untuk field trip ini.
Rasanya, Aldo betulan ingin membuat film pendek perjalanan timnya dari kumpulan video dan potret tersebut. Yang pastinya akan ia sebarkan hanya untuk teman-teman satu timnya saja. Tak tanggung-tanggung, Aldo berpikir untuk mengeditnya agar betulan menyerupai gaya film-film pendek sekelas penghargaan Oscar yang ciamiknya tidak main-main.
Terdorong dengan hasratnya untuk membuat film pendek tersebut sedini mungkin, Aldo langsung keluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Mengecek jam digital di layar guna memastikan seberapa banyak waktu yang ia punya sebelum bel masuk berbunyi.
07:03
Jam masuk kelas ; 07:30
Bagus, artinya Aldo hanya memiliki kesempatan sebanyak 27 menit sebelum bel masuk berdenting. Tapi, hei ! bukankah waktu molor juga sepatutnya dihitung ?
“ Ah, paling masuk jam tujuh empat puluh atau lewat itu.” Si pemuda refleks mengendikkan bahu. Jarinya lincah menggulir layar ponselnya untuk mencari aplikasi foto.
“ Jangan-jangan jam delapan lagi....”
Optimis dengan waktu luang yang masih sangat lapang tersedia. Aldo langsung saja memulai aktivitas mengedit foto dan video yang telah ia pisahkan sebelumnya. Lucunya, dari album yang sudah terpisah itu, Aldo menemukan satu lagi album yang isinya tidak seberapa. Serius, di dalamnya pun hanya terdiri atas tiga video berdurasi cukup pendek. Jujur saja, si pemuda sama sekali tidak ingat telah memisahkan ketiga video tersebut. Terlebih lagi isi video tersebut juga tidak semenarik dan seheboh video-video lain yang tidak ia pisahkan ke sub-album yang satu ini.
“ Kok ada ini ya ?” Ia jadi penasaran dibuatnya. Kapan ia memisahkan tiga video perjalanan yang isinya hanya deretan pohon jangkung dan hamparan sawah itu ? Lagipula, jika memang se-monoton dan se-tidak menarik itu, mengapa ia tidak membuangnya saja ? Tidak mungkin ia memisahkan ketiga video membosankan itu jika akhirnya memang tidak memiliki potensi untuk dimasukkan ke dalam film pendeknya. Aldo bahkan baru kepikiran untuk membuatnya di pagi ini juga. Jika demikian, seharusnya ketiga file mp4 itu tidak terpisah begitu saja.
Kecuali....ketiganya memang sengaja dipisahkan untuk keperluan film pendek lain.
Dan film pendek yang ‘lain’ itu....
Tugas !
Tugas video pendek field trip !
“ Heh, kenapa Bro? Udah belum kamu?”
Benar ternyata ! TUGASSS !!!
Dengan tergopoh-gopoh, Aldo loncat dan berlari dari kursinya. Kalang kabut ia mencari-cari setiap empat orang dari anggota kelompoknya. Manamanamana? Keringat dingin rasanya si anak baru yang satu itu mencari keberadaan para anggota satu timnya selama perjalanan di Garut kemarin. Bagaimana tidak ? Tugas video tersebut adalah tugas pertama Aldo sebagai murid baru. Ia betul-betul tidak ingin namanya menjadi buruk sebab dinilai membangkang lantaran tidak mengumpulkan tugas yang sejatinya memang ringan itu. Terlebih lagi, video tersebut aslinya ditujukan untuk dibuat oleh masing-masing kelompok, dan bukan individu. Membuatnya menjadi tugas pertama–buat Aldo–yang sangat kecil level kesulitannya.
Aninda !
Gadis tersebut baru saja duduk di kursinya. Bahkan baru melepaskan tas ransel hijau kelabu yang ia sampirkan di kedua bahu. Dua orang siswi yang menyadari kehadiran Aninda spontan langsung berdiri dan mendekati meja si gadis. Lantas mengoceh dengan antusiasme tinggi sementara Aninda merespons dengan ramah dan tenang.
“ Aninda !” Aldo secepat kilat ikut menghampiri. Seolah-olah ikut nimbrung bersama dua orang gadis lain yang mengerumuni mejanya.
“ Kenapa ?“ Aninda refleks menjawab seruannya yang terdengar panik sekali itu. “ Video nya udah jadi kok,” Ujarnya seolah-olah sudah tahu apa yang sedang bergelut dan mengusutkan isi otak Aldo. Ponsel yang sedari tadi setia di tangan si gadis kemudian disodorkan ke Aldo. Di sana, video tersebut dibiarkan berputar hingga mencapai adegan credit yang berisikan kontribusi anggota. Dan nama Aldo terpampang jelas di sana. Tertanda sebagai editor.
Si gadis lantas mendengus, kendati melakukannya dengan cukup pelan. Cara otot-otot wajahnya bergerak menunjukkan ketidaksukaan terhadap presensi Aldo yang masih tegang di depan mejanya, menyelip di samping dua remaja putri yang merupakan teman dekat si gadis di sekolah.
“ Ini aku ngedit spesial untuk anak baru.” Meskipun Aninda sekedar mengucapkannya dengan nada datar, Aldo menangkapnya seolah-olah gadis yang ia sukai itu tengah meledek sekaligus memarahinya.
“ Kamu sih tadi malem videonya gak dikirim-kirim ! Untung aku sempat ngerekam juga beberapa !”
Berarti itu fungsi video-video membosankan itu.
Aldo dengan hati-hati menghirup udara pagi yang terasa panas setelah Aninda berakhir marah juga terhadapnya. Ia lalu menelan ludah dengan getir. Gugupnya hanya berkurang sedikit sekali.
“ Tapi kan kita kelompok ? “–Sudah-sudah ! Jangan lanjut lagi–“ Jadi harus dikerjain sama-sama dong ?”
Sial betul mulutnya pagi ini.
Si gadis sekedar memandangnya tanpa minat untuk melanjutkan konversasi. Raut jengkelnya susah payah disembunyikan oleh seberapa kalem si gadis membalas setelahnya. Kedua tangan Ananda bergerak untuk dilipat di atas meja. Saling tertaut di depan dada. Dengan niat sekenanya, Aninda pun menjawab dengan tenang;
“ Udah. Gapapa.”
Matii Doooo !
Aldo paham betul maksud dari jawaban santai Aninda itu. Jika si pemuda mau menjabarkan, ia bisa mengartikan bahwa Aninda sudah tidak peduli lagi atas usaha Aldo untuk ikut serta dalam pengerjaan tugas kelompok tersebut. Sekalipun kesalahan tersebut sendiri terjadi sebab si pemuda benar-benar lupa. Pokoknya, tugas tersebut sudah rampung, dan Aldo tetap tercatut namanya telah ikut bekerja sama mengerjakan video itu. Sementara kenyataannya, Aldo tidak berkontribusi sama sekali. Nilainya sudah pasti selamat. Tapi penilaian Aninda terhadapnya ? Sudah pasti buruk.
Belum lagi ketika video tersebut dipamerkan di hadapan kelas ! Aldo harus meredam rasa malu dan bersalah, sekaligus kasihan terhadap Aninda–ia yakin pasti lelah merangkai sebagian besar video tersebut seorang diri–sepanjang produk audio-visual itu bergulir. Terlebih ketika namanya muncul berpasangan dengan ‘peran’ si pemuda.
ALDO – EDITOR
Duuh, sungguh tidak berwibawa lagi Aldo rasanya di bagi Aninda.
Sampai cuplikan videonya pun juga direkam oleh Aninda !
Hampir lesu, Aldo hanya bisa menyaksikan video tersebut dengan setengah hati. Sudah ia dicap tidak berguna dan pemalas, ia pun tidak begitu cemerlang di hadapan Aninda.
Payah sekali memang.
*******
Aldo kira udara di pagi menjelang siang di Bandung itu seharusnya tetap sejuk. Ditambah lagi dengan keseluruhan jendela kelas yang dibuka lebar-lebar, bersama setiap tirainya yang disibak dan digulung agar sirkulasi udaranya tetap lancar.
Seharusnya memang sejuk ! Terlepas dari teriknya matahari yang kian meninggi.
Yang membuat si pemuda semakin heran adalah, teman-teman sekelasnya pun terlihat tidak mempermasalahkan kondisi kelas yang menurut si pemuda sudah menghangat secara signifikan itu. Bahkan, para siswa tidak sedikit yang berlari-lari mengelilingi kelas dan mengumpet di antara meja dan kursi.
Apa mungkin sebab hatinya yang tengah gundah ini ?
Aldo perhatikan lagi secarik kertas yang sudah dari tadi ia coret dan tulis berkali-kali. Tepi kirinya tidak rata sama sekali sebab si pemuda dengan agak kasar merobeknya dari buku tulisnya sendiri. Lalu, dengan tanpa pikir panjang menggunakan kertas yang sama untuk menumpahkan isi hatinya di sana.
Sebetulnya, tidak banyak yang Aldo torehkan di atas kertas tersebut. Karena, jika memang ia bermaksud untuk menumpahkan isi hatinya, maka isinya akan dipenuhi oleh seberapa besar rasa kagumnya terhadap sosok gadis yang saat ini telak ia sukai. Tentang seberapa banyak ia memuji gadis itu. Mengenai seberapa berkesan momen pertemuannya dengan sang gadis ketika di anak tangga waktu itu.
“ Aldoo!”
Teriakan tersebut, tidak terasa begitu asing di telinga si pemuda. Cempreng serta lengkingannya hampir sama persis dengan suara yang mengoceh di meja Aninda tadi pagi–tepat sebelum Aldo menemui Aninda dan berakhir dimarahi.
“ Hmm? “ Si pemuda tegakkan kepala demi mencari sumber suara. Benar saja, sosok perempuan yang sama tahu-tahunya sudah ada di samping mejanya. Memerhatikan ekspresi wajah Aldo, lalu turun mencurigai secarik kertas yang cukup amburadul itu.
“ Kenap–“
Daaan....kertas yang sama sudah terjepit di antara jari-jemari gadis itu.
“ Wiiih surat buat siapa niiih?”
Si pemuda tampaknya sudah tidak terlalu memikirkan bagaimana reaksi Aninda–atau, pada momen ini, teman Aninda–setelah membaca kertas yang pantas disebut surat cinta itu. Toh, Aninda juga sudah jengkel padanya.
“ Ohh....baca aja,”
Dan di satu sisi, kesempatan ini bisa saja menjadi gerbang baru menuju kebaikan Aninda agar terbuka kembali untuknya.
Dengan antisipasi tinggi, Aldo perhatikan dengan lamat-lamat bagaimana penerimaan si gadis–yang sekalinya berbicara akan susah berhenti itu. Setidaknya, Aldo bisa menerka-nerka lewat respons gadis yang satu ini, bagaimana reaksi Aninda apabila menerima surat itu nantinya. 
Sumpah, baru kali ini Aldo mendapati gadis yang sepertinya hyperactive itu hingga setenang batu. Membuatnya mau tidak mau agak sedikit gugup lantaran duluan berpikiran negatif tentang reaksi sahabatnya Aninda itu. Yaaa, dugaan Aldo juga bisa dimaklumi sih. Siswi tersebut sudah menjelma layaknya patung-patung di museum Madame Tussauds, mulai dari ujung kaki hingga perpotongan leher dan dagu. Belum lagi alis dan keningnya itu. Di kelas pun–seingat Aldo–teman dekatnya Aninda yang satu ini tidak pernah sangat khusyuk dan fokus sampai mengerut begitu pelipisnya.
Namun, lama kelamaan, matanya si gadis justru terlihat berbinar-binar. Berbanding terbalik dengan seberapa parah air muka ‘serius’-nya beberapa detik yang lalu. Senyum tipis yang salah satu sudutnya lebih tinggi dan menusuk pipi pun merekah dengan jahil. Alisnya yang semula bertautan perlahan-lahan bergeser secara vertikal. 
“ ANINDA ?!”
Aldo otomatis berjingkat mendengar lantangnya seruannya itu. Si gadis lantas terkekeh lucu. Kertas di tangan tidak kunjung terlepas dan dikembalikan kepada penciptanya.
“ Hihihi aku kasih ke Aninda ya!” Kertas tersebut terayun dan melambai berkali-kali mengikuti kemana tangannya bergerak. Dan selama itu pula Aldo tidak bisa melepaskan pandangannya dari secarik kertas yang isinya adalah tiruan perasannya sendiri.
“ Asal tau aja,” Dagu si gadis terangkat. Matanya yang bulat tersembunyi di balik batang hidungnya. “ Aku nih manajer nya Aninda! Oke?”
“ Heh, please deh..”
Dia muncul begitu saja. Lagi dan lagi untuk kesekian kalinya. Telak memindahkan atensi Aldo ke sosok perempuan yang sudah berdiri tegak tidak jauh dari belakang ‘Manajer Aninda’ itu.
Kertas pun berpindah tangan. Berakhir di tangan Aninda yang sudah berjalan menjauh lagi dari hadapan Aldo. Teman dekatnya pun tidak mau ketinggalan. Pun teman-teman si gadis yang lain. Berikut juga siswi lain yang diam-diam menguping pembicaraan. Bahkan, para murid laki-laki yang semula tampak sibuk dengan dunia mereka juga turut tertarik dan agak mendekat.
“ SURAT CINTA WOOOY !”
Gerombolan manusia tersebut tertawa membahana setelahnya. Menertawai tingkah si anak baru yang ternyata menyimpan banyak sekali kejutan yang terungkap perlahan-lahan. Aninda pun sampai ikut tertawa bersama mereka. Terbahak-bahak.
Lagian, siapa sih yang seberani itu mengakui isi sebuah surat cinta ? Lalu membiarkannya dibaca oleh si penerima bersama teman-teman sekelas ?
“ Dah–aduuh....” Aninda gagal memaksa tawanya untuk berhenti dalam seketika. Wajah si gadis bahkan sampai memerah merona karenanya. Satu lagi momen yang belum pernah Aldo temukan pernah terjadi pada Aninda sebelumnya.
“ Dah ah !....” Si gadis simpan kertas tersebut ke dalam laci mejanya. “ Yuk ah ke kantin ! Laper.” Ajaknya dengan senyum lebar.  
Aldo, yang memang tidak secara eksplisit diajak serta, pun ikut berdiri. Cepat-cepat mengeluarkan dompet dari kantong tasnya. Toh ia juga merasa lapar.
Lagian, sosok Aninda yang ternyata masih sedikit sekali ia mengerti juga semakin mendorongnya untuk ikut ke kantin.
*******
“ Duh, ketinggalan lagi duitnya!”
Aldo perhatikan betul bocah yang ia duga masih duduk di bangku kelas tujuh di sekolahnya itu. Si bocah, dengan agak panik merogoh kantung celananya berkali-kali. Pun kantung di kemejanya pun dicek berkali-kali. Tidak ada sedikit pun kertas berwarna yang keluar dari setiap saku di pakaiannya.
“ Ga papa dek,” Tiba-tiba Aninda muncul dari balik tubuh si adik. Sekali lagi mengejutkan Aldo yang tidak menyadari letak pasti dimana gebetannya itu berdiri di antara kerumunan manusia yang menyesaki kantin. Penasaran dan tersentuh dengan kemurahan hati Aninda, Aldo pun berdiri dan bergerak mendekat. Mie ayam yang sempat disantap pun berakhir terbengkalai begitu saja.
“ Nih dari Kakak.” Secarik uang berwarna abu-abu pun tersodor dengan entengnya.
“ Eh beneran kak? Gausah–gausah !”
“ Udah gapapa. Nih, dua ribu kan ya?”
Begitu saja. Uang yang semula terlipat di antara jempol dan telunjuk si gadis pun telah berganti kepemilikan. Aninda tanpa perasaan sungkan setitik pun membiayai jajanan si adik kelas yang sampai saat ini masih melontarkan ‘terima kasih, Kak !’ berkali-kali.
Aldo yakin betul si gadis tidak mengenali sosok adik kelas itu sama sekali.
“ Aninda !”
Bahkan menoleh seperti ini saja, Aninda terlihat bersinar bak malaikat yang mengambil wujud manusia.
“ Eh Aldo. Kenapa?”
Jujur saja, Aldo kira Aninda akan meledeknya lantaran surat tadi. Atau lebih buruk, mempertahankan rasa jengkelnya sebab keteledoran si pemuda dalam mengerjakan tugas kelompok.
“ Ga papa....” Ia sungguh tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik balik si adik kelas yang sudah melenggang pergi dengan sebungkus roti. “ Tadi aku liat kamu ngasih duit ke adik kelas. Suka ya sama adik kelas?”
Mata si gadis agak membola. Namun tampaknya ia memaklumi pertanyaan Aldo. “ Nggak sih, aku cuman suka bantuin orang aja.” Lantas si gadis melirik jam tangan yang melingkar dengan pas di tangan kirinya. Sisa waktu jam istirahat rupanya tidak lagi banyak. “Yaudah aku makan dulu ya ?” Paparnya sambil menunjukkan sebungkus cemilan yang sempat dibeli sebelumnya.
“ Eh ! Bentar Nin !”
Buru-buru Aldo keluarkan satu batang coklat berkemasan ungu mengkilap dari saku celana. Ukurannya memang sebetulnya cukup kecil, tapi, Aldo yakin sudah cukup untuk memperjelas maksudnya kepada Aninda.
Yah, paling buruk Aninda akan menerima atau menolak coklat pemberiannya kan ?
Iya kan ?
“ Nggak do, makasih.”
Oh....ditolak rupanya.
“ Aku habis makan nasi. Nanti gemuk lagi. Lagian aku juga alergi coklat.”
Setidaknya Aninda menolak coklat tersebut sebab alasan kesehatan. Bukan lantaran ingin menolak mentah-mentah perasaan si pemuda.
“ Emang ada orang alergi coklat?”
“ Ada lah! “ Bahkan dengan ekspresi heran saja, Aninda tampak makin menawan. “ Buktinya Aku.”
“ Iya sih....”
“ Eh udah ya, Do. Aku mau makan ini bentar.”
Camilan itu. Sudah dua kali si gadis memamerkannya padanya. Mau tidak mau Aldo jadi penasaran dengan rasa dan kandungan gizinya. Maksudnya, bagaimana mungkin camilan kecil berbungkus transparan seperti itu lebih baik daripada coklat yang Aldo sengaja simpan untuk Aninda–ya meskipun si gadis mengaku dirinya alergi coklat. Lagipula siapa sih yang alergi coklat ?
Tidak disadari oleh si pemuda, Aninda rupanya sudah pergi meninggalkannya.
Membiarkan si pemuda sendirian lagi. Entah untuk kesekian kalinya.
Tapi setidaknya, lewat interaksinya dengan Aninda yang terus-terusan berlangsung dengan canggung, Aldo mulai memahami bagaimana karakter Aninda.
Mengingat sosok sang crush, membuat Aldo juga ikut penasaran dengan apa-apa saja yang menjadi kesukaan Aninda. Coklat sudah pasti tidak masuk daftar. Dan menurutnya, langkah paling tepat untuk memulai hal tersebut adalah dengan mengikuti pola dan selera makan Aninda.
“ Bii, beli ini dua ya!”
*******
Jika di jam istirahat tadi, Aldo menemukan Aninda berinteraksi dengan adik kelas, di jam pulang sekolah, Aldo mendapati Aninda tengah berjalan berdua dengan sosok pemuda. Berdesir rasanya darah Aldo mengamati siswa yang satu itu, apalagi ketika menyadari keakrabannya dengan Aninda. Aninda bahkan tidak terlihat sungkan saat berjalan berpasangan dengan pemuda asing itu !
Mengambil langkah seribu, Aldo berderap mendekati mereka berdua.
“ Halo Nin,” Sapanya setenang dan sedatar mungkin.
“ Hai Do!”
Wajahnya sangat-sangat ia paksakan untuk tampil se-normal mungkin. Jangan sampai Aninda menyadari ketidaksukaannya dengan pemuda tengil yang satu itu.
Anehnya, wajah sosok ‘musuh’-nya ini sama sekali tidak asing di memorinya.
“ Eh kamu....” Mirip anak yang rajin sekali memukul benda padat apapun layaknya alat musik pukul selama field trip. Sejujurnya, Aldo merasa mengenali sosok laki-laki tersebut dari kelebat memori.“ Bian kan ya namanya?”
“ Iya, Bian. Aldo?”
Betul rupanya. Yang duduk di deket pintu berarti.
“ Iya. Kamu kenal, Yan, sama Aninda?”
Si lawan bicara tersenyum bangga. Semakin memperjelek tampang wajahnya.
“ Iya, udah dari kelas tujuh Aku bareng sama dia.”
Tunggu dulu ! Jika bocah yang satu ini telah lama sekali dekat dengan Aninda, dan tetap mempertahankan hubungan baiknya dengan Aninda....apa artinya....
Mereka berdua pacaran ?
Apa karena itu Aninda sampai tertawa terbahak-bahak ketika membaca surat cintaku ?
Tapi...Aldo perhatikan pemuda tersebut sekali lagi. Kali ini dengan lebih teliti dan penuh analisa.  Jika benar keduanya pacaran, maka seharusnya mereka berjalan seperti ini setiap hari. Bahkan selama field trip pun seharusnya mereka lebih sering menjaga kedekatan ketimbang sibuk dengan kelompok mereka masing-masing. Bian pun juga seharusnya tidak selalu sibuk menabuh gendang darurat selama jalan-jalan di Garut waktu itu.
Artinya mereka tidak pacaran.
“ Eh iya Do,”
Panggilan dari Bian tadi sukses menarik Aldo kembali ke realita.
“ Iya ?”
“ Minta nomermu dong. Biar nanti kita bisa temenan.”
Asli. Mereka berdua nggak pacaran kalau gitu.
Merasa yakin sekaligus tenang dengan hipotesanya, Aldo menurut dengan tawaran sosok Bian ini.
“ Oh, boleh nih.”
Pada akhirnya, mereka bertiga kompak pulang bertiga–atas ajakan Bian–dengan Aninda berjalan di tengah.
Betul ini, nggak pacaran mereka.
*******

cinta pertama aldoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang