28. Satu Kenangan

31 2 0
                                    

Lagi dan lagi kedatangan kita berdua ganggu jadwal les Revi. Sebelum gue sama Anggun datang, Revi fokus les. Sekarang kit malah nonton film sambil nyemil. Setelah sebelumnya terjadi sesi curhat. Entah dari Anggun atau Revi.

Gue juga curhat tentang ketakutan gue sama kecoa. Waktu itu masih SD kelas 1 pas malam tidur dan ya ada kecoa masuk ke badan gue ngelitikin gitu. Simple ya? Iya, tapi efeknya itu lho. Setiap ngelihat kecoa badan gue merinding. Kecoanya gak ada juga efeknya masih ada. Sugesti gue sering ngerasa ada kecoa di badan. Padahal gak ada.

Mereka tertawa mendengar alasan gue. Bang Kevin sampe nanya gimana rasanya digelitikin kecoa? Ah, itu bikin gue makin merinding kalau dijelasin.

Gak terasa waktu udah pukul lima sore. Anggun yang paling panik di sini. Dia takut Papanya marah kalau tahu dia bolos les lagi. Dia pamit pulang ditemani Bang Kevin. Semoga bang Kevin berhasil ngasih alasan kalau tadi Anggun beres les. Namun, diajarkan bang Kevin.

Saat gue mau pamit pulang juga, Revi menahan gue dulu. Dia bilang ada hal penting yang harus dibicarain. Gue ngikutin dia sampai saung. Kita saling berdiam diri. Nggak ada percakapan. Meskipun tadi kita terlibat pembicaraan seru, gue belum seakrab itu sama Revi.

"Vin."

"Rev."

Kita memanggil nama masing-masing barenag. Lalu, kita tertawa menyadari kekonyolan ini.

"Lo duluan."

Dan ya kita ngomongnya barengan lagi. Katanya kalau ngomong sering barengan itu jodoh, kan? Apalagi Revi masih sendiri dan gue juga sama. Jangan-jangan kita jo ... mblo.

"Okay, gue duluan ya," ucap gue. "Maaf ya, Rev. Gara-gara gue lupa hapus foto dan video itu. Anggun jadi nyebarin tentang lo. Itu bukan sepenuhnya salah Anggun. Dia begitu karena ada tekanan dari Papanya dan peluang yang ada di kamera gue. Intinya gue juga minta maaf."

"Udahlah serasa lebaran banyak yang minta maaf ke gue. Gue udah tau semuanya kok, Vin. Tadi gak sengaja denger percakapan kalian sama Zaky. Walaupun alasan yang Anggun kasih ke Zaky beda dengan ke gue. Gue yakin dia benar-benar ngerasa sangat bersalah. Bukan cuma pura-pura."

"Gue pun ngerasa begitu. Oh iya lo mau ngomong apa, Rev?"

"Vin, berita tentang gue waktu masuk club dan tawuran itu sampe ke telinga Papah," ucap Revi matanya mulai berair. "Selesai pembagian raport nanti, gue pindah ke Yogyakarta."

"Serius, Rev?"

Revi mengangguk, "itu emang udah ancaman Papah dari awal. Kalau gue masih tetap nakal seperti dulu. Papah bakal bawa gue ke Yogyakarta, tinggal sama dia di sana. Supaya lebih bisa mengawasi."

"Seandainya gue hapus--"

"Ssttt," ucap Revi menutup mulut gue dengan jari telunjuknya. "Nggak usah ada kata seandainya. Itu semua udah terjadi. Cukup jalanin aja, ya."

"Okay, sebelum lo pindah kita harus buat momen berdua dulu, gimana?"

"Momen berdua? Kayak lagi pacaran aja, tapi ok deh. Ke mana?"

-----Journalist-----

Sekarang gue dan Revi ada di salah satu wahana fantasi yang ada di bogor. Jungleland. Gue pilih hari Sabtu dua minggu sebelum ulangan. Takutnya keburu bulan puasa kalau ke tempat seperti ini kasihan Revi nanti kecapekan.

"Woaa! Gila, Vin air race seru banget," ucap Revi kegirangan. Menghadap ke arah gue yang terbungkuk-bungkuk menahan pusing. "Lha, Vin. Lo kenapa dah? Kita baru naik lima permainan. Masa lo udah KO, sih."

"Yang lo pilih ini lumayan ekstrem. Gue kira cuma bolak balik kanan kiri sambil muter. Taunya udah muter keliling diputerin pula ke atas bawah. Puyeng ini kepala gue."

Revi memijat kepala gue, "aduh kasihan, Alvin ini. Nih karena gue baik hati gue pijitin. Gimana? Udah enakan?"

"Udah, Rev."

"Ya udah. Ayo lanjut." Revi menarik tangan gue.

Masih banyak permainan yang kita naikin bisa jadi hampir semua kecuali yang buat anak-anak ya kali kita disamain kayak bocah. Mulai dari arena yang lumayan menantang adrenalin, basah-basahan, dan hanya keliling melihat dinosaurus. Masih pukul setengah empat sore. Kita belum ke wahana rumah hantu. Gue gak sempet perhatiin nama wahana rumah hantu di sini apa.

"Rev, kita berdua ini. Gimana kalau ada hantu yang tiba-tiba naik juga."

"Penakut lo. Ngapain takut, sih? Paling hantunya juga bohongan."

Gue takut? Ah nggak kok hanya kaget aja. Kadang nih ya hantunya itu suka muncul tiba-tiba. Seperti sekarang ini hantu bohongan dari orang ini ngikutin kereta yang gue tumpangin. Gue hanya diam gak melirik ke hantu bohongan itu. Mau tahu respon Revi? Ah dia emang berani. Lihatlah dia malah ngeluarin ponselnya.

"Kakak-kakak hantu. Ayo foto bareng. Nanti kita keburu keluar bareng."

Jadilah kita foto bareng dengan hantu bohongan yang ngikutin dibelakang. Kamera ponsel Revi ada efek cahaya redup. Jadi tetap terlihat. Di tambah cahaya efek dramatis dari rumah hantu ini. Beberapa menit kemudian akhirnya beres juga naikin wahana ini.

Tinggal satu wahana lagi. Yang jadi target gue dari awal dan emang rencananya mau sore saat langit udah mulai berwarna kemerah-merahan. Emang masih pukul lima, tapi langitnya udah seperti matahari mau tenggelam. Gue bersyukur ini sesuai harapan. Ferris Wheel atau biasa disebut wahana bianglala.

"Gila pemandangannya keren banget, Vin. Pantesan lo pilih naik wahana ini sore aja. Ternyata keren, Vin. Selfie dulu ayo."

Setelah mengambil beberapa foto. Kita tepat berada di urutan paling atas.

"Rev," panggil gue.

Revi yang asalnya fokus menatap pemandangan, langsung melihat ke arah gue. "Iya, Vin?"

"Gue mau nyatain sesuatu," ucap gue. Menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Gue cinta sama lo, Rev."

"Gue ... gue eum ... juga," ucap Revi lirih.

"Jadi, lo mau kan jadi pacar gue?"

"Nggak," jawab Revi polos menggeleng. Ah gue udah duga dari awal. Meskipun Revi punya perasaan yang sama. Dia gak mau LDR-an."

"Okay, Rev. Gue nger--"

"Nggak mau nolak," sahut Revi memotong kalimat gue.

Ini artinya gue diterima? Akhirnya gue gak jomblo lagi. Penembakan pertama kali di bianglala cukup romantis juga. Gue memeluknya. Intinya gue bahagia meskipun nanti harus terpisah jauh. Jakarta-Yogyakarta.

Journalist #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang