The Real Valentine Day

575 46 3
                                    

Awalnya semua biasa-biasa saja
Hingga akhirnya kau hadir
Dan membuat semuanya menjadi luar biasa

Mbak Era melajukan motornya menuju Pantai Parangtritis. Kali ini tidak lewat jalan yang biasa dilalui oleh pengunjung lain. Mereka menyusuri beberapa pantai terlebih dahulu. Mulai dari Samas, Depok dan Parangkusumo. Sore itu cukup sepi karena memang bukan musim liburan. Meskipun begitu, beberapa bus pariwisata masih mereka jumpai di salah satu parkiran dekat Parangtritis.

“Masuk ke Parangtritis gratis apa bayar, Mbak?” tanya Rinjani.

“Bayar lah. Sekarang mana ada yang gratis. Bayarnya di pos depan tadi. Tapi kita kan tadi melipir lewat Depok, jadi nggak bayar,” jawab Mbak Era.

Kali ini tujuan mereka bukan untuk jalan-jalan di Parangtritis, melainkan tempat lain yang lebih bagus untuk menikmati sunset. Begitu yang dibilang Mbak Era tadi. Jalanan sudah berubah. Bukan aspal mulus lagi. Melainkan batuan kecil yang tak beraturan. Mbak Era tak kesulitan melewatinya. Sepertinya dia sudah sering lewat sini.

“Terus nggak dimarahin gitu sama petugasnya?”

“Ya ntar kalau ditanya tinggal jawab aja kalau kita habis panjat atau caving,” jawab Mbak Era dengan santainya.

Rinjani hanya manggut-manggut. Mbak Era menghentikan motornya di parkiran. Kemudian mereka berjalan menghampiri dua orang ibu paruh baya yang menjaga parkiran.

Mbak Era tampak berbincang-bincang dengan salah satu ibu itu menggunakan bahasa jawa halus. Rinjani hanya diam sembari memperhatikan. Karena jujur, ada kosakata yang tidak dia pahami dari pembicaraan itu. Jadi lebih baik untuk tidak ikut nimbrung daripada salah bicara.

Monggo, Bu,” pamit Mbak Era beberapa menit kemudian.
Dia berjalan melewati jalan setapak kecil di samping rumah ibu itu. Rinjani mengikuti di belakangnya.

“Mbak Era sering ke sini ya?” tebak Rinjani.

“Lumayan. Ini kan salah satu tempat Diksarnya Akasia,” jawab Mbak Era sambil terus berjalan.

Kini mereka berjalan melewati jalanan setapak yang nampak seperti tangga alami. Terbentuk dari bebatuan yang sudah melekat dengan tanah.

“Oooh. Tempat Diksarnya Akasia nggak cuma di satu tempat ya.”

“Nggak. Jadi di semua medan. Kadang juga anak-anak sering manjat di tebing yang ada di belakang itu. Ntar deh kalau udah sampai atas kamu bisa lihat sendiri tebingnya.”

Setelah berjalan sekitar sepuluh menit mereka sampai di atas bukit. Mbak Era menghentikan langkah di salah satu tepi tebing yang menghadap Parangtritis. Rinjani menghampiri. Beberapa orang tampak sedang asyik mengambil gambar.

“Tahu nggak, Mbak Er? Aku kirain Parangndog itu pantai loh,” seru Rinjani takjub.

Mbak Era tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “Bukan. Ya ini yang namanya Parangndog. Bukit Parangndog.”

Apik banget iki,” Rinjani berdecak kagum.

Yo cetho,” Mbak Era mengiyakan, “Dulu aku pernah ke sini sama pacarku. Pas lagi cerah banget. Wuih, keren, Ni!”

Rinjani menoleh. “Loh, emang Mbak pernah pacaran?”

“Kamu nih ngejek atau gimana sih?” Mbak Era langsung cemberut.

Rinjani tertawa. “Becanda, Mbak.”

Mereka memutuskan untuk duduk di tepi tebing yang menghadap ke barat. Sebenarnya cukup merinding duduk di tepi tebing seperti itu. Tapi pemandangan sore itu begitu apik. Sehingga secara tidak langsung telah mengusir rasa takut. Di bawah mereka, terlihat kilatan lampu blitz kamera menyala secara bergantian dari tepi Pantai Parangtritis.

Jangan Bermain Cinta dengan MapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang