"Sekeras apapun pikiran terus mendoktrin untuk abai, hati selalu saja tahu bagaimana dia harus bertindak jika dengan orang yang sudah lama singgah."
-Pecah-
---
[Saat ini]
Rajwa mendesah lega kala keluar dari ruangan ujian. Ujian akhir semester hari terakhir sudah dia babat habis. Masih merasakan kemumetan dalam otak, Rajwa memilih untuk duduk terlebih dahulu di bangku panjang depan kelas sembari menunggu Maryam—sahabatnya—keluar dari ruangan.
"Gila ... gila ... gila .... Mumet banget cerebrumku. Rasa-rasanya mau pecah," cerocos Maryam yang baru saja keluar dari ruangan dan duduk di samping Rajwa.
Rajwa hanya terkikik geli. Bagi Rajwa, Maryam merupakan salah satu spesies manusia yang hiperbola. Baru saja menghadapi ujian akhir semester, sudah seheboh itu. Bagaimana jika nanti menghadapi ujian hidup? Bisa gempar seantero semesta.
"Lebay banget sih, Yam."
Maryam mendengus kesal ketika mendengar olokan dari Rajwa.
"Huft .... Memangnya kamu gak mumet juga apa? Gila ya, asal kamu tahu, aku setiap baca soalnya cuma bisa terus istighfar."
"Loh, bagus dong. Kan, kamu jadi dapet pahala," timpal Rajwa dengan terkikik geli.
"Dapet pahala iya, tapi nilaiku tak tertolong juga iya," dengus Maryam.
Masih dengan kekehannya, Rajwa mengajak Maryam untuk pergi ke kantin fakultas. Perutnya lapar, dan mitokondrianya membutuhkan asupan untuk dijadikan energi yang membantu proses metabolisme.
"Tadi kamu beneran bisa jawab semuanya, Ra?" Maryam masih belum bisa move on dari soal ujian yang menurutnya super hot melebihi pedasnya seblak level dewa.
"Enggak, lah," jawab Rajwa dengan cuek.
"Terus, kenapa bisa selesai duluan?"
"Ya memangnya harus digimanain lagi? Namanya gak tahu, mau nunggu sampe ujung monas diganti pake berlian pun, gak akan tahu jawabannya. Jadi ya, mendingan udah kumpulin aja. Yang penting jujur, dan yakin."
"Iya juga sih, sing penting yakin," ujar Maryam dengan terkekeh ketika mengucapkan jargon andalan mereka berdua.
Meski terkadang, Rajwa juga manusia biasa yang merasa kesal saat dia yang mengerjakan dengan jujur justru mendapatkan nilai kecil, sedang teman-temannya yang mencontek mendapatkan nilai bagus. Tapi setelah dipikir lagi, Rajwa masa bodo dengan itu semua. Dia ingat pesan dari bu Renata—dosen pembimbing akademiknya—yang mengatakan, "Nilai di atas kertas saja tidak cukup. Karena yang diperlukan di lapangan adalah skill yang bagus. Mereka yang mengerjakan soal dengan tidak jujur, mungkin merasa di atas awan untuk sekarang. Tapi, ketika sudah lulus nanti, mereka akan kelimpungan saat nilai akan kalah dengan kemampuan dalam mempraktekkan pemahaman. Yang lulus dengan predikat cumlaude sudah menjamur, tapi yang benar-benar siap bekerja, masih langka."
---
Baru saja mendaratkan bokongnya pada kursi, gawai yang berada di dalam tasnya berdering. Pesan datang dari Riyadh, membuat Rajwa mendengus lelah.
Khairil Riyadh
Di mana?
Kantin fakultasku
Otw
Rajwa tak membalas lagi ketika Riyadh mengatakan jika lelaki itu sedang menuju ke tempatnya. Dia lebih memilih untuk menonaktifkan data selularnya dan kembali memasukkan gawainya ke dalam tas. Mood-nya masih tidak bercuaca baik. Semua kalimat yang Riyadh ungkapkan semalam masih terasa menyesakkan untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pecah
Spiritual[Update setiap hari Jumat] Kemungkinan terbesar dari mencintai adalah patah hati. Seperti halnya selalu ada substitusi setelah eliminasi. Maka begitulah dengan persoalan hati, selalu ada patah hati setelah adanya jatuh cinta. Patah hati menggiring l...