20:40

39 0 0
                                    



"Aku akan tidur sekarang ..."

Aku menghabiskan sisa jus di gelasku, memundurkan kursi dan berjalan menuju kamar tanpa ada keraguan dalam langkahku untuk segera mengakhiri hari ini. Orang tuaku masih belum selesai dan tak ada dari mereka yang mau memulai percakapan. Jadi apa pilihanku?

Lagi pula tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk menyalakan semangatku untuk hari ini. Tak ada yang salah di hari ini, namun hanya itu, dan tak lebih.

Menyiapkan diriku untuk tidur sekaligus mengatur ruangan di mana aku akan terbaring tak sadarkan diri semalaman agar dapat menjamin keselamatan tubuhku selama hal itu sedang terjadi. Menggunakan piama memang menyusahkan tapi mana bisa aku tidur menggunakan rok mini dan stoking yang ketat? Baju ini sudah menyiksaku dari tadi siang. Dan Amira juga mengajakku karaoke. Aku harus menikmati kegerahan dan tercekik di waktu yang sama.

Seprai ranjang masih berharum mawar dan melati, dan itu sungguh menyengat bagi hidungku yang terkubur ke dalamnya saat aku berbaring terbalik.

Nyamannya ...

Memang benar, hal terbaik setelah terbangun adalah kembali tidur.

Hari ini, sungguh biasa dan aku tak sabar untuk mengakhirinya. Cepat-cepat kumatikan lampu kamar dan mencoba bersatu dengan keheningan ruangan yang gelap gulita ini.

Mari kita ulangi.

Namaku adalah Isa. Ibuku adalah seorang instruktur yoga dan selalu menggelar acara yoga di festival-festival, sedangkan ayahku adalah seorang pilot maskapai yang sangat sibuk akhir-akhir ini. Tak ada yang spesial. Memang beberapa kali aku diajak untuk mengikuti yoga, namun kutolak karena aku tak berminat. Aku juga membuang tiket gratis dari maskapai ayahku, karena tak ada tempat khusus yang ingin aku jumpai.

Sepertinya itu saja. Tak ada yang salah dengan nilaiku, atau caraku berteman. Kemarin aku menyiram ponselku dengan kopi, Amira tertawa terbahak-bahak melihatnya. Akhirnya sepanjang hari aku tak bisa mengirim pesan padanya atau mengecek sosial media.

Aku alergi kacang. Pernah suatu hari aku memakan roti selai kacang dari temanku tanpa mengecek dulu isinya. Aku tak boleh masuk sekolah selama dua hari oleh ibuku, walaupun reaksinya tak separah itu.

Aku menyukai lagu Rock, namun itu hanya untuk sebentar saja. Amira memperdengarkanku lagu boyband Korea di tempo hari. Aku jadi ikut mendengarkan, walaupun aku tak benar-benar menyukainya.

Aku tak memiliki penyakit, atau masalah dengan keuangan. Syukurlah karena itu. Aku jug—

Cahaya terang benderang menyilaukan mataku diikuti oleh dobrakkan pintu yang ceroboh. Aku hanya bisa mendudukkan diri dengan wajah terkejut dan melihat ayah terengah-engah mencoba mengatakan sesuatu secepat-cepatnya nafas pria tua itu kembali.

Untuk beberapa alasan, ayahku yang histeris tak bisa aku dengar dengan jelas dan membuatku hanya mematung di atas tempat tidur. Dia terus berteriak dan menggerak-gerakkan tangannya dengan heboh namun aku hanya tak tahu apa maksudnya. Tanpa melihat opsi lain, ayah berlari dan merogoh bagian bawah ranjang kecilku, menggulingkan furnitur ini bersamaku di atasnya. Aku terduduk di lantai yang dingin. Ranjangku sekarang menghalangiku dari sorotan lampu bagaikan dinding dan juga menghilangkan pandanganku dari ayah.

Yang bisa aku lihat hanya sebuah celah kecil dan ujung kepala ibuku terlihat sekilas. Yang membuatku tahu adalah suara batuk wanita itu yang khas. Sebuah kilatan yang cepat memantul ke jendela namun aku tak bisa memastikan apa pun. Bahkan sekarang ibuku juga ada di kamarku.

Keseharianku di Hari yang BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang