Been Through

82 9 4
                                    


"Ansel, ini surat peringatan yang ketiga sekaligus terakhir. Aku tahu kau mengumpulkan banyak sekali uang namun ini lucu bahwa kau tak membayar sewa sama sekali" salah satu karyawanku menghampiri saat aku hendak melangkah ke pintu keluar.

"Sudah kukatakan jika harus tutup bulan depan maka akan kulakukan, kalian tak perlu takut dengan pesangon" jawabku enteng sambil melewatinya tanpa memedulikan surat yang sudah kuketahui isinya.

Kurapatkan mantelku sambil terus melangkah menuju cafe milik Eric, seniorku saat kuliah di Italia. Tak jauh letaknya, hanya berbeda 2 blok dari Cafe milikku. Kebiasaanku adalah menikmati secangkir Macchiato, dan hanya Cafe milik Eric lah yang menyajikan rasa paling mirip dengan yang biasa kunikmati, apalagi sudah sekitar 1 bulan aku tak berkunjung ke sana.

Surat peringatan yang diberikan Tom barusan tak kupedulikan. Aku memang tak peduli jika cafe yang sedang kujalankan saat ini akan disita bank. Itu semua akibat ulah ayahku yang,

jika saja mengutuk orang tua bukanlah merupakan perbuatan tercela maka aku akan mengatakan seluruh kalimat paling mengerikan hanya untuk menyebut namanya.

Singkat cerita ayahku pernah berselingkuh. Hal tersebut merupakan hal paling hina dalam hidupku sehingga membuatku untuk memaksa ibuku pindah dan menjaga jarak dengannya. Namun pria brengsek itu masih belum menyerah. Mengingat aku yang merupakan putra tunggal, dengan kekayaannya ia menyarankan untuk studi ke Italia karena kuliah di bidang kuliner adalah impianku. Sepulang studiku ia juga masih membujukku dengan memberikanku secara cuma - cuma sebuah bangunan untuk dijadikan sebuah Cafe, yang rupanya bangunan tersebut ia beli dengan uang yang ia pinjam dari bank. Hingga saat ini ia menghilang dan pihak bank mulai menagih tunggakannya kepadaku.

Ini sungguh gila. Aku bahkan tak tahu dan tak peduli dimana keberadaan pria tersebut, lalu bank menagih seluruh hutangnya padaku?

Tak bisa kupungkiri bahwa aku memiliki banyak sekali tabungan setelah beberapa kali bekerja saat kuliah yang sengaja tak pernah kubahas pada ibuku. Namun aku tak sudi mengeluarkan uangku hanya untuk melunasi hutang pria brengsek itu.

Sampainya di Cafe, kutemukan meja kosong di sebelah gadis yang duduk membelakangi sisi meja. Ia duduk di kursi menghadap kaca keluar, memakai jaket jins yang sedikit longgar yang setelah beberapa detik kuperhatikan sepertinya jaket yang ia kenakan merupakan jaket untuk laki - laki.

Mungkinkah jaket kekasihnya? Apakah dia diberi jaket itu lebih dulu sebelum kemari mengingat cuaca sedang dingin - dinginnya? Seperti di film - film romantis kebanyakan.

Sangat tidak penting untuk dipikirkan.

Namun satu hal lagi yang menarik perhatianku sampai pantatku benar - benar menduduki sofa adalah cara gadis itu duduk.

Ia tidak segan - segan menyilangkan kakinya di atas kursi.

Bagaimana bisa? Ah, maksudku bukannya tidak sopan. Seberapa besar percaya dirinya untuk melipat kakinya di atas kursi sedangkan ini merupakan tempat umum?

Lagi - lagi aku berusaha tak mempedulikan. Seorang pelayan sudah menungguku dan langsung bertanya apakah aku akan memesan minuman seperti biasanya. Kujawab ya hingga pelayan wanita yang sangat mengenaliku itu pergi.

Aku menoleh lagi menatap punggung gadis yang sudah tertutup oleh jaket kebesaran itu. Di sisi kanannya terdapat cangkir kopi Cappucino yang sejak aku tiba sudah menggelitik hidungku akibat jarak kami yang tak begitu jauh.

Been Through [1/1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang