Prolog

61 4 5
                                    

Prolog

Suasana jalan raya Jakarta yang semula ramai-lancar, berubah ramai-mencekam. Langit-langit selain dipenuhi asap kendaraan dan klarkson, juga dijejali oleh suara raungan sirine polisi serta ambulans berebut menarik perhatian para pedestrian. Di trotoar, pekikan-pekikan ngeri silih berganti disuarakan sambil menunjuk ke tempat kejadian.

Dengan tubuh lemah dan gemetar karena syok, aku membuka mata lalu menyadari jika tubuh ini terkapar di samping trotoar. Kepalaku terasa berat, pandanganku mulai mengabur dan telingaku berdengung hebat. Aku lupa memerdulikan kondisiku sendiri, yang terlintas di benakku sekarang hanyalah bagaimana keadaan Mama. Di mana perempuan itu?

Sambil merintih aku berusaha menggerakkan tangan, meski hanya satu rasanya berat sekali. Hendak menyapu separuh wajahku yang terasa basah entah oleh apa—aku tak berani membayangkannya, menyadari bahwa helmku telah terlepas dan terlempar entah ke mana.

Teriakan masih berlanjut, kepanikan belum jua mereda di sekelilingku. Aku melihat banyak kaki berlarian di depan dan samping kepalaku. Sebagian lagi berhenti di tempatku dan mulai berkata sesuatu. Aku tidak mendengarkan, yang kutahu harus menemukan Mama!

Ketika mataku bergerak perlahan menyisir lokasi kecelakaan, di antara sebuah mobil dan sepeda motor yang terlibat dalam tabrakan ini, aku menemukan tubuh Mama terbaring tak berdaya beberapa meter di depan sana. Air mataku segera tergenang, dengan kondisi perut yang membuncit dan mata terpejam rapat, Mama terlihat menjadi korban paling parah. Darah mengalir dari kepala dan bagian bawah kakinya.

Aku ingin berteriak memanggilnya namun suaraku tak mau keluar. Tenggorokanku seolah disumbat atau lidahku yang tertarik ke dalam sehingga kehilangan fungsinya dalam waktu sekejap. Aku hanya mampu menggerakkan seujung jari sebelum visiku semakin dipenuhi keburaman.

Di tengah kekacauan situasi, dengung sirine yang tak kunjung berhenti, mendadak telingaku mendengar sayup-sayup suara tangisan bayi yang amat menyayat hati. Aku tak tahu suara tangisan bayi itu berasal dari mana, mungkin ada salah satu pengguna jalan yang ikut menonton di sini sambil membawa bayinya.

Seiring tangisan bayi misterius yang semakin panjang itu, kepalaku bertambah berat dan sakit berdenyut-denyut. Aku nyaris tak sanggup membuka mata lagi, hanya berdoa dalam hati demi keselamatan Mama dan calon adikku yang baru berusia tujuh bulan dalam perutnya.

Lama kelamaan kesadaranku mulai menurun dan penglihatanku semakin menggelap. Hanya perlu beberapa detik sampai aku terkulai tak sadarkan diri dalam kegelapan yang merengkuhku rapat-rapat.

***

Jingga: The Girl with CursedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang