Prolog

13K 384 30
                                    

Aku adalah dia. Jangan tanyakan namaku, sebab aku hanya akan memberitahu kalian saat sudah ingin kuberitahukan. Aku memang tipikal yang sulit dipaksa. Harap maklum, aku anak bungsu, jadi sifat manja sedikit melekat dalam diriku meski aku lahir dengan jiwa penuh ambisi.

Hidupku berjalan atas kehendak-Nya dan atas apa yang telah kuupayakan selama ini. Ketaatan adalah prioritasku. Merengkuh kecintaan Allah padaku, itu harapan yang selalu ingin kugenggam setelah kuraih.

Bagiku, life is anything about Allah, Rasulullah and anything about islam, also about Abi dan Umi. Hehe.

****

"Adek..." Kak Zidan berjalan ke arahku dan Ummi.

Kak Zi terlihat sangat khawatir, "eh kakak kenapa? tumben-tumbenan  terlihat gelisah gitu."

"Enggak kok Dek." jawabnya sebelum meneguk minumannya hingga tandas

"Berangkat sekarang ya Kak? Aku takut telat." ucapku menatap ke arah kak Zi yang melamun entah karena apa.

"Iya," jawabnya singkat.

"Lil Princess berangkat dulu ya Mi," ucapku seraya mengamit tangan Ummi kemudian mencium punggung tangannya. Kak Zi juga melakukan hal yang sama.

Ummi mencium kening dan kedua pipiku, "Hati-hati ya lil princess Ummi." ucap Ummi setelahnya.

"Zidan akan jagain adek kesayangan Zidan kok. Tenang aja." ucap kak Zi cepat sebelum Ummi melanjutkan ucapannya.

Sepertinya dia sudah bisa menebak apa yang akan Ummi katakan. Ya, apalagi jika bukan menyuruh kak Zi untuk menjagaku.

  ****

Karena aku kasihan jika harus membuat kalian penasaran, makanya aku akan mengungkap siapa aku sebenarnya. Maksudnya nama lengkap aku. Hehe.

Aku adalah Risya
Aku adalah Ramadhani
Aku adalah Zahra
Aku adalah Hermanto, eh salah. Itu nama Abiku.
Jadi, Aku adalah Risya Ramadhani Zahra Hermanto.

Orang banyak memanggilku rel kereta karena namaku yang panjang bak rel kereta, tapi tidak masalah, aku tidak keberatan.

Tapi itu hanya orang yang deket sama aku. Aku dari SD sampai sekarang kuliah, cuma punya 3 teman. Kami bareng terus dari SD sampai sekarang. Well, aku tidak suka orang baru. I don't know why, tapi itulah aku.

Nindita Syafira, Aya Azkia, Sistia Prima. Mereka adalah sahabat aku dari SD. Baiknya mereka tidak usah ditanyakan lagi. Kadang sih ada yang ambekan di antara mereka. But, me never. Ya, aku tidak pernah marah atau kesal ke mereka. Mungkin pernah, tapi kukubur saja dalam hatiku.

Perjalanan kami berbeda walaupun kami selalu bersama. Kami selalu menerima kekurangan masing-masing dan memperbaiki yang mesti diperbaiki.

Ketiga temanku mungkin sudah pernah mengalami dan menjalani hubungan pacaran, tapi aku tidak. Dan kupikir tidak akan pernah. Entah mengapa aku anti-pacaran. Kurasa aku juga belum pernah menemukan laki-laki jahat dalam hidupku.

Kak Zi yang baik dan sayang banget ke aku. Terlebih Abi yang tidak usah ditanyakan lagi sayang dan baiknya ke aku. Juga Ummi yang selalu menyayangi dan mengarahkanku ke arah yang baik agar mendapat Ridha Allah selalu.

Aku menyayangi mereka. Love much.

Keluaga dan sahabat adalah segalanya bagiku, tanpa mereka aku adalah sepi, dan dengan mereka hidupku adalah pelangi. Banyak warna yang kutemui dan kulalui hidup di muka bumi hingga saat ini, dan itu semua berkat izin Allah lewat kebaikan keluaga dan para sahabatku.

Hampir semua orang yang mengenal tahu bahwa aku gadis tangguh dengan kelihaian hampir di segala bidang yang ada dalam hidup. Tapi, mereka tidak tahu ada mimpi yang kerap kali bersamaku, membawaku pada gelapnya ketakutan, pada kerasnya dentuman yang membuatku berteriak memanggil Umi saat itu terjadi. Aku hidup dengan mimpi itu, tapi bukan untuk menjadi sosok lemah, akan aku buktikan bahwa aku bisa melawan segalanya.

Kenapa tidak? Allah selalu bersamaku, menemani ditiap cobaan yang ia berikan. Tugas manusia hanya memilih, ingin mengikuti kata hati yang datang dari bisikan malaikat, atau mengikuti ego pikiran yang dibisik oleh setan. Seperti aku, hatiku selalu meronta ingin melawan ketakutan pada phobiaku, tapi pikiranku selalu terasa ingin berdamai dengan hal mengerikan itu. Sejauh ini, aku berlindungan atas nama dan dengan izin Allah, aku mengikuti kata hatiku.

Tak jarang, bisik ego ingin menguasai, tapi relung hati meminta untuk kembali dipertimbangkan. Sudah kukatakan, setan punya banyak cara untuk mengganggu hidup manusia, itulah mengapa aku harus mempetimbangkan bisik relung hatiku untuk melawan ketakutan itu.

Kemarin, sempat aku hampir bermasalah dengan para sahabatku. Mereka terbawa emosi, terbawa pancingan sensitif dengan ingin bertindak egois. Aku disalahkan sebab memilih membantu seorang teman yang sakit, ketimbang melanjutkan ujian dalam kelas yang sedang berlangsung. Bukan tanpa alasan, mereka marah dengan dalih, kenapa aku yang begitu berambisi dengan nilai akademik bisa pergi begitu saja untuk orang yang bukan teman sejalan? Siapa dia? Memangnya dia yang akan memperbaiki nilaimu saat eror? Apa dia bisa memberi jaminan kamu akan dapat nilai A saat ketahuan begitu berempati pada teman yang sakit? Oh, ampun. Masih banyak lagi sindiran dari sahabatku. Tapi kutanggapi dengan senyum.

Nilai bisa kuperbaiki, tapi saat aku tidak menolong teman sekelasku, Dea. Apa aku bisa menebus rasa bersalah saat terjadi apa-apa padanya di kemudian hari? Enggak, kan. Makanya, semua butuh pertimbangan. Jangan berpikir bahwa aku tidak mempertimbangkannya. Tidak. Aku sudah memikirkannya matang-matang sebelum mengambil keputusan.

Pada akhirnya, sahabatku mengerti dan meminta maaf. Bahkan, mereka menjenguk Dea yang dirawat disalah satu rumah sakit terdekat dari kampus. Ah, senangnya. Satu kebahagiaan saat simpul erat kebersamaan ada di antara persahabatan. Jika satu berbicara, lainnya menjadi pendengar. Begitupun sebaliknya. Tidak ada yang salah dari sebuah persahabatan.

Pernah juga, setan hendak membuatku lepas kendali. Saat itu aku meminta izin pada Umi untuk jalan-jalan ke luar kota sebagai hadiah pencapaian nilaiku yang terus meningkat. Umi melarangku kala itu, aku pun mengurung diri di kamar. Saking dahsyatnya bisikan setan, aku tidak hanya sekali memikirkan untuk mengakhiri hidup--saat itu aku masih belum Risya yang terlalu paham akan syariat Islam, namun karena seperti biasa hatiku selalu menang atas egoku, aku pun tidak melakukan apa-apa. Lantas, aku meminta maaf pada Umi saat aku sudah sadar telah melakukan sebuah kesalahan. Aku benar-benar berharap hal itu tidak akan pernah lagi terjadi dalam hidupku.

Ini kisahku, kisah penuh teka-teki, namun aku yakin akan menemui pemecahan yang masih samar akhirnya jika dilalui sesuai dengan yang semestinya.

Aku pernah menjadikan nama seseorang sebagai nama yang selalu terikut serta dalam bait doaku, hingga dia memilih pergi. Apa yang harus kuperbuat? Saat ia kembali, kurasa hatiku akan kembali meminta untuk mengizinkan lisan bertuturkan namanya dalam doaku. Aku tidak tahu apakah 'kembali' masih ada dalam pikirannya, atau ia akan tetap bertahan; bersembunyi dengan harapan yang akan selalu bersamaku dalam penantian.

Tenang saja. Bagiku... Setiap cobaan dalam hidup, jika dilakukan; dilalui atas nama dan dengan izin Allah, maka sudah pasti akan terasa mudah.

Bismillah... Semoga aku tidak hanya meyakini itu dalam hati, tapi juga dapat merealisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Setulus Rasa (END)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang