Udah Mikir, Salah lagi

6 1 1
                                    

"Al, bisa nggak sih lo jaga jarak dari Brilian." Gumam Dendio masih sedikit kesal

"Gue nggak sengaja, Den. Udah, jangan emosi."

"Sebel aja liat gaya dia tengil begitu."

"Kaya baru tau Lian aja."

"Yaudah, yang penting kali ini lo aman dari dia." Ujar Dendio sambil mengacak rambut Alia.

"Dendio, bikin berantakan aja." Protes Alia.

"Hahaha..  Maaf deh maaf." Ujarnya.

Dendio mengalungkan lengan kirinya di bahu Alia.

"Eh iya Den. Ada Olimpiade Matematika, lo ikutan nggak?"

"Nggak"

"Kenapa?"

"Individu Al, nggak seru. Kan kalo tim bisa berdua sama lo."

"Emang gue lucky charm lo? Kalo ngga ama gue ngga menang gitu?"

"Emang lo lucky charm gue. Bukan masalah menangnya sih. Semangatnya nggak segede kalo lomba bareng lo."

"Heleh....."

"Lo ikutan?"

"Nggak."

"Kenapa?"

"Nggak aja."

"Alesan macam apa nih. Ngga seru ah..."

"Trus lo mau gue bilang apa? Gue ngga ikut karena bosen lihat rumus sama angka?"

"Emang bosen?"

"Kalo iya, emang bisa di skip?"

"Bisa"

"Gimana coba?"

"Kita ke Jepang."

"Di jepang nggak ada matem, fisika?"

"Ada."

"Trus?"

"Kenalan sama Nobita."

Alia diam sebentar, mencerna maksud sahabatnya. Kemudian tertawa.

"Oke, oke... Jadi, kita kenalan sama Nobita, terus minta tolong ke Doraemon ya. Bener..... Bener...... " Gumam Alia di akhir tawanya.

"Yah... Udah mikir, salah lagi."

"Ih, jahat. Kalo salah, terus yang benernya apa?"

"Kenalan sama Nobita, terus pesen 2 robot kaya Doraemon. Bisa di bawa pulang ke Indonesia."

"Kalo Nobita mau. Kalo nggak?"

"Ganti aja naskahnya, biar dia bilang mau."

Alia kembali tertawa.

Puas mereka tertawa. Dendio menurunkan lengannya yang sedari tadi menjadi beban di pundak Alia.
"Al, nanti malem free nggak? Gue mau ajak lo dinner."

"Nanti malem gue nggak bisa. Mama minta di temenin bikin kue."

"Trus bisanya kapan?"

"Lusa aja gimana?"

"Oke, lusa. Gue jemput ya."

"Jam berapa?"

"Lusa gue kabarin jam berapanya."

"Asekkk..... Di traktir critanya....."

"Iya gue traktir. Boleh makan sepuasnya." Gumam dendio dengan senyum cerahnya.

...................................................................

Matahari kini berkuasa dengan semua sinarnya. Berada tepat di atas kepala manusia seolah mengancam satu demi satu putra Adam dan Hawa.

Dan Brilian tengah di panggang di tengah lapangan, karena kenakalan barunya.

Membantu teman-temannya membolos.

Sekarang dia di hukum sendirian.

Alia melintas di belakang Brilian. Nuraninya terganggu karena peluh yang mengalir deras membasahi baju pemuda itu.

Ingin sekali ia sekedar menawarkan minum. Namun, ia urungkan. Ia tak mau mencari masalah lain.

Cepat-cepat Alia berlalu menuju kelasnya.

Waktu seolah berjalan lambat. Berjam-jam ia lewati dengan banyak pemikiran.

Seringkali tanpa sadar ia kehilangan fokus dan memandang penuh tanya ke arah pintu kelas. Seperti menanti saat untuk keluar dari ruangan tempatnya bernaung.

Bukan pertama kali memang Brilian di hukum seperti itu. Tapi ini pertama kali Alia melihat basah di baju Brilian. Sekuat dan sebiasa apapun dia. Alia yakin kakinya pasti sakit di hukum berjam-jam. Kepalanya pasti pening menatap mentari tanpa pertolongan topi. Dia pasti haus di bakar sang surya sekian lama. Sempat terbersit di benak Alia. Kenapa Brilian tak pura-pura pingsan saja, dari pada di siksa seperti itu. Tapi pengecut sekali melakukan hal semacam itu. Jelas Brilian tak kan melakukannya. Ego jamur itu tak kan membiarkannya terlihat lemah seperti itu.

Tapi kenapa Alia pedui.

Sudah berulang kali bayangan Brilian muncul di otaknya. Tiba-tiba dia jadi topik di pikiran Alia.

Kenapa pula harus Brilian yang di ingatnya.

Pemikiran tentang Brilian cepat datang, cepat juga pergi. Lebih tepatnya cepat-cepat ia usir dari benaknya.

Miss Tari mengakhiri kelas saat bel pulang berdering.

Alia membereskan peralatannya cepat-cepat.

"Al, mau pulang bareng gue nggak?" Tawar Dinda.

"Nggak deh Din. Gue naik angkot aja."

"Buru-buru banget sih, Al. Mau kemana? Udah bareng gue aja. Mulai mendung tuh di luar."

"Nggak dulu deh, Din. Makasih. Gue ada urusan." Balas Alia kemudian cepat-cepat keluar dari kelasnya.

Benar kata Dinda awan hitam perlahan berjalan ke arah mereka. Seperti ingin menantang sang Surya. Menggantikan kedudukannya. Tapi mana bisa. Sebenarnya ini salah awan atau sang bayu yang meniupnya semau-mau.

Alia berdiri di pinggir balkon.
Memandang Brilian yang mengusap peluhnya dan berjalan ke pinggir lapangan.

Alia menghembuskan napas lega tanpa sadar.

Dari kejauhan tampak Pak Gunawan datang dengan ekspresi marah sambil menunjuk-nunjuk kearah Brilian.

#ABCD

....................................

Hayoooolloooohhhhh.........

Briliannya di apain sama Pak Gunawan?????

Huhuuuuu......

Lalaland-nya BrilianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang