Anusapati tak lama kemudian menghunus pedang yang sedari tadi disarungkannya. Mahesa Kawulung mengikuti pimpinanannya. Brawok dan Jumpring yang sudah pulih memasang kuda-kuda bertarung.
Kasman menelan ludahnya yang kering. Tubuhnya bergetar hebat demi menanti tarung kanuragan yang bersiap meledak di depan matanya.
"Aku tidak menginginkan ini, Anakmas. Kalian yang memaksa," kata Kiai Srenggi sambil berjalan lantang menuju ke tengah gerombolan itu. Anusapati dan tiga anak buahnya siaga mengelilingi. Kasman mundur ke belakang ditemani sang pemuda penolongnya.
Cahaya bulan nampak menyinari arena laga. Kiai Srenggi duduk bersila. Kedua matanya terpejam. Kedua tangannya mengepal di atas paha. Kasman menelan ludahnya. Batinnya bergejolak hebat. Kenapa Kiai Srenggi malah duduk? Beliau akan jadi sasaran empuk begal-begal itu. Kasman kini dipenuhi rasa was-was.
"Rumeksa ing wengi1," sahut pemuda di samping Kasman tiba-tiba.
"Rumeksa ing wengi?" Kasman menatap pemuda tadi penuh heran.
"Konsentrasi penuh. Memohon perlindungan pada Yang Kuasa," ujar sang pemuda sambil menatap jalannya laga tanpa berkedip.
"Ciiiaaattt!"
Keempat begal tadi merangsek ke tengah dengan beringas. Brawok dan Jumpring melompat sambil mengeluarkan tendangan pamungkas mereka. Mahesa Kawulung mengayunkan pedang andalannya mengincar bagian leher. Anusapati menerjang tak kalah hebat dengan pedang terhunus sempurna. Jarak keempat perampok tadi dengan Kiai Srenggi hanya berkisar tiga jengkal saja. Tiba-tiba muncul empat pusaran angin kecil ...
Wuuuzzz!
Duggg!
YOU ARE READING
Sedulur Papat Kalima Pancer
Narrativa StoricaKeempat begal tadi merangsek ke tengah dengan beringas. Brawok dan Jumpring melompat sambil mengeluarkan tendangan pamungkas mereka. Mahesa Kawulung mengayunkan pedang andalannya mengincar bagian leher. Anusapati menerjang tak kalah hebat dengan ped...