Kebohongan Tidak Selamanya - Part 24

653 12 0
                                    

Hari Senin pagi, Joseph menyempatkan diri menuju kantor tempat ia bekerja. Ia mungkin akan segera mengundurkan diri. Karena ia harus segera pergi. Saat sampai di kantor koran harian lokal tersebut, Joseph mendapati sebuah judul kedua terbesar koran pagi ini. Anastacia Charlotte Berpakaian Mewah di Rumah Sakit. Joseph membacanya. Kemudian, bertanya pada rekan kerjanya, sekitar tiga orang yang sedang sibuk mengedit.

"Maksud kalian, Anastacia saat ini sedang dirawat di rumah sakit?" tanya Joseph pada ketiga wanita rekan kerjanya yang acuh tak acuh.

"Kau fans beratnya? Nampaknya kau begitu peduli," salah seorang dari mereka, yang rambutnya dikucir satu menanggapi.

"Rumah sakit mana?" Joseph berusaha tidak menanggapi.

"Nampaknya kau suka padanya," respon wanita itu dan segera berlalu. Baiklah, semua rekan kerjanya adalah stalker sosial media Anastacia dan selalu mencibirnya.

"Anastacia sakit apa?" Joseph bertanya pada dua orang lainnya.

"Berkas yang harus kau ketik ada di rak," jawab salah seorang yang sedang fokus pada layar laptopnya.

Joseph segera mengabaikan perintah itu. Ia meninggalkan koran itu di atas meja sembarang dan berlari keluar dari kantor, untuk mencari Anaz. Pasalnya, rumah sakit Anto dan Anaz adalah rumah sakit yang sama. Ia yakin itu.

Dengan seragam sekolah lengkap, ransel yang penuh buku, ia masuk kembali ke dalam mobil dan menyetir ke rumah sakit.

Sementara, Anaz yang sedang mengecek ponselnya di tangan kiri, sementara tangan kanannya sedang dikutek oleh orang yang sengaja dipanggil. Anaz mendecakkan lidahnya. Hazel menunggu Anaz dengan sabar.

"Hanya kau yang mengecat kuku bermotif marmer di rumah sakit," Hazel bergumam saat mendapati wanita itu membawa perlengkapan mengecat kuku yang lengkap dan mahal. "Aku yakin kartu kredit Ibumu bukan untuk hal semacam ini," Hazel menambahkan. Anaz mematikan ponselnya dan meletakkanya di atas meja.

"Aku bahkan sudah masuk koran pagi ini!" Anaz dengan bangga mengatakannya.

Terlihat wanita muda yang sedang fokus mengukir motif marmer di kuku Anaz tertawa sedikit. Tapi, ia menahannya.

"Oh, siapa tadi namamu?" Anaz menatap wanita itu. Dan ia mendongak. "Windy," jawabnya dengan ramah.

"Windy, kau sudah mengikuti di instagram? Kau boleh berbangga kepada seluruh temanmu karena Anaz memanggilmu," Anaz mengatakannya tanpa alasan yang jelas.

Sang pengecat kuku yang bernama Windy ini hanya mengangguk, tanpa berani membantah.

"Apa aku harus melakukan operasi pada rahangku? Aku merasa ini kurang menarik," Anaz menyentuh rahangnya dengan manja, dengan tangan kirinya.

"Ia tidak akan menyukaimu dengan melakukan semua ini," Hazel menjawab. "Kau terus menerus mengecek ponsel, jauh lebih sering, pasti karena berharap ia membaca koran itu dan menemuimu?"

Anaz mendengus, "Ia bekerja di sana. Tidak! Aku membaca komentar-komentar penggemarku."

"Aku yakin ia panik saat mengetahui ini," Hazel tersenyum.

"Bisakah kau tidak membuatku semakin percaya diri?" Anaz menahan senyumannya. Sesungguhnya, melegakan untuk mengetahui kalau pria itu khawatir padanya.

"Itu kenyataannya. Karena firasatku tetap mengatakan bahwa pria itu menyukaimu," dengan bangga, Hazel menyatakannya.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, kedua kuku tangan Anaz begitu indah dengan motif marmer berwarna merah tua dan serat emas. Semuanya sangat sempurna dengan mantel bulu yang dibawakan Hazel. Sambil menunggu Windy mengerjakan kuku kakinya, Hazel teringat sesuatu.

PAINFUL LIES (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang