Nyanyian Penghisap Jiwa

80 8 25
                                    

"Uughk". Dea perlahan membuka matanya. Ditemukannya dirinya ada di sebuah ruangan gelap.

Matanya nanar menyapu sekitar. Di ujung sana, Dea melihat ada setitik cahaya yang redup. Agaknya tempat itu tidaklah sejauh pemikirannya.

"Aku harus kesana!"

Lemah, Dea berdiri perlahan, kaki-kakinya bergetar menopang berat tubuhnya. Langkah Dea gontai menuju titik cahaya redup itu. Kiranya akan ada jalan keluar di ujung sana. Namun, semakin kukuh langkahnya, semakin tak tergapai tujuannya.

"Kenapa?"

Setelah cukup jauh, keadaan sekitar pun berubah juga. Dea yang tadinya berada di tempat tak bercahaya, kini secara ajaib telah berpijak di tepian pantai berpasir. Cahaya bulan menjadi temannya kali ini.

Sekali lagi, matanya tertuju pada titik cahaya jauh di depannya. Kiranya itu ada seungguk kayu yang terbakar, api unggun mungkin. Dicobanya lagi melangkah menuju cahaya jingga kemerahan itu. Langkah kaki Dea semakin berat rasanya. Apa yang terjadi sebenarnya?

Pijakan kaki Dea kembali bertukar. Sekarang dirinya ada di antara pepohonan yang membutahkan pandangan. Namun beruntung, nyala api yang sedari tadi dikejarnya sudah cukup dekat. Cahayanya sedikit menjilati kulit-kulit pohon di sekitarnya. Dea bergerak lamban di balik pepohonan. Tubuhnya disandarkan ke kayu raksasa itu.

Tidak ada lagi yang berubah. Rasanya ini adalah akhir perjalanannya. Dalam hatinya, Dea sangat yakin untuk menuju satu-satunya cahaya yang tampak.

(Suara nyanyian)

"Siapa itu?" Bisik Dea.

Suara perempuan yang khas merambat memasuki liang telinganya. Merdu, sekaligus menyahat. Nyanyiannya sangat khas layaknya nyanyian para Sinden Jawa terdahulu. Suaranya yang agak melengking, syair yang terkadang menenangkan, kadang juga memilukan bagi setiap pendengarnya.

Namun bagi Dea, apa yang didengarnya seperti umpama sembilu yang merobek-robek jiwanya, sakit.

Dea semakin mendekati sumber api itu. Dilihatnya ada siluet seseorang disana. Kiranya dialah yang sejak tadi melantunkan syair-syair mengerikan itu. Sedikit demi sedikit siluet yang dilihat Dea semakin jelas. Dia-yang-duduk adalah seorang berambut panjang yang rambutnya digerai berantakan dari atas kepala hingga ke pinggulnya.

Kepala Dia-yang-duduk mengayun ke kiri ke kanan mengikuti alunan syair yang dilantunkannya. Semakin lama, Dea pun merasakan kesakitan bersamaan tiap kata yang dinyanyikan oleh Dia-yang-duduk.

"Aaaaaaagghhh!!"

Dea berteriak sejadi-jadinya, sekujur tubuhnya terasa terbakar. Panas, sakit, tidak dapat dikatakan seberapa sakit yang dirasakan Dea.

Juga, Dia-yang-duduk kepalanya perlahan memutar. Berputar separuh lingkarang bak burung hantu. Matanya yang kosong memandang Dea yang berteriak memegangi kepalanya. Kemudian tertawa melengking layakanya seorang perempuan tua.

"Aaaaaagghhh!!"

Leher Dea terasa tercekik, sesak, sakit. Sekarang mata Dea seolah terbalik letaknya. Hanya ada putih tanpa hitam.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jangan Takut!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang