2. Frangipani

283 29 18
                                    

Aku memandangi lagi cincin pemberian Kak Ivan yang melingkar di jari manisku. Entah sudah berapa kali aku melirikkan ekor mata ke arah benda itu sepanjang perjalanan dari bandara menuju makam Mbah Putri. Sebagian kecil hatiku belum bisa menerima ini semua. Ada sedikit rasa ragu bahwa nanti aku akan menyesalinya. Namun, ketika melihat senyum Kak Ivan dan ketulusannya selama bersamaku, keraguan itu menguap.

Bagian lain dari hatiku telah dicuri oleh dia. Sebuah bagian yang tidak bisa dimiliki oleh Kak Ivan, sebab telah dikuasai dia. Dia yang hingga kini masih menghilang tanpa kabar.

Aku menghela napas dalam-dalam. Pandanganku menerawang ke luar sana. Dari dalam angkutan bus cepat ini, aku memandang barisan gedung-gedung yang menjulang tinggi—meski tidak setinggi dan sebanyak di ibukota. Kota kelahiranku kini telah banyak berbenah rupa. Lima tahun aku meninggalkannya, selalu saja tampak ada gedung pencakar langit baru yang dibangun ketika aku berkunjung.

Butuh waktu satu jam menembus jalanan, sampailah aku di sebuah kompleks pemakaman. Wangi bunga kamboja terasa menusuk hidungku saat aku melangkah lebih dalam memasuki area ini. Sebuah pohon trembesi menjulang di tengah-tengah pemakaman dengan dahan-dahan yang melebar membentuk kanopi.

Aku menggerakkan kakiku ke pojok pemakaman, tempat di mana Mbah Putri disemayamkan—tepat di antara makam Mbah Kakung dan Bapak. Ketiga makam ini adalah keluargaku. Meski aku tidak terlalu dekat sosok Bapak—karena beliau bekerja di luar pulau dan hanya pulang setahun sekali saat lebaran, tapi paling tidak aku mengenalnya sebagai orang tuaku. Tidak seperti Ibu yang sama sekali tidak kukenal. Ibuku pergi entah ke mana saat umurku menginjak dua tahun. Para tetangga bilang, dia menjadi tenaga kerja wanita di Arab sana.

Aku mulai membersihkan rumput yang mulai memanjang di makam Mbah Putri. Hal yang sama juga kulakukan di kedua makam keluargaku yang lain. Ada rasa duka ketika mengingat bahwa aku kini sendirian tanpa ada keluarga sama sekali. Tidak terasa air mataku mulai meleleh.

“Maafkan Bitha yang tidak bisa mengunjungi kalian lebih sering,” lirihku menahan isak. Perasaan sendirian selalu begitu menyiksa batinku. Mungkin saat aku menikah nanti, tidak ada keluarga yang mendampingi.

Aku yakin, Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Aku bisa melewati masa-masa suram kehidupanku sebelumnya. Jadi, aku percaya, aku akan mampu menahan semua rasa sendirian ini.

“Kalian tenang saja, ya? Bitha yang sekarang sudah punya keluarga baru; keluarga Aryasatya dan Mbak Yasmin. Insyaallah mereka menyayangi Bitha,” monologku.

Aku tidak berbohong, kan? Mereka sudah menganggapku seperti keluarga sendiri, terutama  Keluarga Aryasatya. Meski mereka itu kaya raya, memiliki jaringan hotel dan sanggraloka di mana-mana, tetapi mereka tidak seperti keluarga konglomerat yang sering diceritakan di film atau drama. Mereka sangat baik dan bersahaja. Tidak pernah sekalipun mereka memperlakukanku secara buruk. Aku diterima di keluarga mereka dengan tangan terbuka, meski perbedaan strata sosial kami bagai langit dan bumi.

Selesai membersihkan makam Mbah Putri, aku pun tak lupa memanjatkan doa untuk mereka bertiga. Semoga Dia memberikan kelapangan kubur bagi orang-orang yang aku sayangi ini.

***

Andai saja aku tidak selalu mengingat pesannya saat itu bahwa aku harus hidup lebih berani dan bahagia, mungkin saat ini aku masih terpuruk dalam bayang-bayang masa lalu. Dia yang datang di hidupku hanya bagai angin menyejukkan di pagi hari yang sekadar lewat. Namun, ia mampu mengubah hidupku. Aku berani melawan perundungan yang menimpaku. Itu semua berkat dia.

Sudah sembilan tahun berlalu sejak dia menghilang. Tidak ada satu pun kabar yang kudengar tentangnya. Dia seperti ditelan bumi. Tiada jejak yang dia tinggalkan. Memang aku hanya sekejap mengenalnya, tapi dia sudah memberiku banyak hal. Keberanian dan cinta pertama.

Whispering Wind (republished) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang